Monday, June 4, 2007

Bencana "Masyarakat Massa"

Toto Suparto

Secara harfiah, bencana diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Saat "masyarakat massa" disandingkan dengan kata "bencana", konsep itu menjadi sesuatu yang merugikan.

Memang begitulah adanya. Filsuf Hannah Arendt menggambarkan konsep masyarakat massa sebagai "sebuah masyarakat manusia, yang tanpa dunia bersama, yang sesekali menghubungkan dan memisahkan mereka, hidup dalam sepinya pemisahan yang menyedihkan atau tertekan menjadi massa. Karena masyarakat massa tak lain jenis kehidupan formal yang secara otomatis menegakkan dirinya di antara umat manusia yang masih terkait satu sama lain, tetapi telah kehilangan dunia yang dimiliki bersama".

Kita bisa membaca pemikiran Arendt, masyarakat massa adalah masyarakat yang hidup bersama dalam ketertekanan. Mereka merupakan masyarakat yang terasing dari dunianya. Mereka hidup bersama, tetapi kehilangan kebersamaan. Mereka mengabaikan struktur kolektif, solidaritas yang meredup, dan hilangnya empati.

Adalah bencana besar, saat masyarakat kehilangan empati dan solidaritas di antara kita lenyap? Inilah bencana besar yang nyaris tidak disadari. Selama ini kita lebih disibukkan mengatasi dampak bencana alam, tetapi mengingkari yang terjadi pada sendiri.

Tragedi manusia modern

Mari kita lihat bencana masyarakat massa dalam kehidupan sehari-hari. Seorang ibu terpaksa menjadi tukang becak hanya demi menjaga kelangsungan hidup keluarga, tubuh seorang anak balita di sudut Jakarta kurus kurang gizi karena tidak pernah menikmati susu formula, anak-anak di penampungan pengungsi korban lumpur panas tidak bisa sekolah, dan sederet tragedi lainnya.

Ibu itu bukan memperjuangkan emansipasi. Kalau boleh memilih, tentu ia lebih baik menjadi tukang cuci ketimbang tukang becak. Ibu itu menjadi korban ketidakpedulian masyarakat, setidaknya dari kaum ibu lainnya. Nasib ibu itu menjadi kontras saat melihat gaya hidup ibu-ibu lain. Banyak ibu menghambur- hamburkan uang suami demi hasrat konsumtifnya. Mereka tak mau tahu bagaimana "jatuh bangun" sang suami mencari uang. Anehnya, di antara para ibu beruntung itu tak pernah menawari si ibu tukang becak tadi, semisal, "Bu, mari bantu saya ngurusi rumah daripada mengayuh becak!" Para ibu telah kehilangan empati dan solidaritas kian meredup. Para ibu itu adalah bagian dari masyarakat massa.

Kekontrasan itu terjadi pada tragedi kehidupan anak balita yang kekurangan gizi. Di satu sudut Ibu Kota, ibu dari anak balita kesulitan mencari uang demi susu bagi anaknya. Namun, di sudut lain, pasangan selebriti menghabiskan dana Rp 500 juta untuk pesta pernikahan kedua. Selebriti itu menjadi bagian masyarakat massa.

Para ibu beruntung dan pasangan selebriti itu mewakili kelompok egois. Jelas disebutkan Erich Fromm, egois merupakan ciri individualisasi. Egois pula menjadikan manusia sekadar instrumen dalam pandangan satu sama lain. Mereka menilai satu manusia dan lainnya sebagai benda atau instrumen yang digunakan demi maksud-maksud egoistis mereka sendiri.

Lihat, para kandidat pilkada di Jakarta tiba-tiba merangkul rakyat kecil, tetapi tindakan itu hanya untuk maksud egoistis si kandidat. Jangan kaget, kelak jika maksud egoistisnya telah tercapai, rakyat kecil kembali disisihkan. Rakyat kecil adalah instrumen untuk merengkuh kekuasaan kandidat.

Itulah tragedi manusia modern. Kata Arendt, manusia modern menjadi individualis, maunya dunia untuk dirinya sendiri, bukan untuk kehidupan bersama. Masyarakat massa merupakan gambaran tragedi manusia modern tersebut.

Privatisasi ruang publik

Bagaimana mengatasi bencana masyarakat massa ini? Salah satu konsep yang dikemukakan Arendt adalah menjadikan ruang publik lebih bermakna. Salah satu penyebab meredupnya solidaritas lantaran orang enggan "meloncat" dari ruang privat ke ruang publik. Di ruang privat orang melulu bekerja, tetapi di ruang publik orang bisa berkarya. Hakikat berkarya adalah bagaimana berbuat demi keuntungan orang banyak, sementara bekerja melulu untuk diri sendiri. Ruang privat identik dengan "saya" dan ruang publik lebih kepada "kita".

Gambaran paling mudah tentang keengganan "meloncat" dari ruang privat menuju ruang publik bisa dilihat dari keengganan orang keluar dari rumahnya. Banyak orang mati-matian membangun rumahnya demi simbol, tetapi begitu meninggalkan pagar rumah, ia tak peduli lingkungan. Korupsi dilakukan untuk rumah senilai Rp 9 miliar dan tak peduli telah merugikan masyarakat. Dalam pengertian sebenarnya, banyak orang bertahan di rumahnya ketimbang bergabung pada ruang-ruang kolektif.

Celakanya, belakangan ini ruang-ruang kolektif juga kian menyempit. Padahal, ruang publik itu diperlukan sebagai tempat yang bisa diakses publik di mana orang bisa bertemu, berjalan, berbicara, dan berpartisipasi dalam budaya yang sama. Di sini kita bisa melihat ketidakmampuan dan keengganan pemerintah kota untuk mendanai dan merawat ruang-ruang publik.

Justru yang terjadi, menurut Zukin (1996), adalah privatisasi ruang publik, di mana pertemuan publik terjadi pada ruang komersial milik pribadi, semisal mal atau taman hiburan. Sebenarnya mal atau taman hiburan merupakan ruang publik yang disimulasikan. Lagi pula privatisasi ruang publik telah menyaring orang- orang yang bisa mengaksesnya. Mana ada orang miskin bisa berinteraksi di mal?

Sebenarnya yang dibutuhkan adalah semacam alun-alun, di mana orang berbagai lapisan sosial bisa saling berinteraksi. Di sinilah akan tumbuh empati saat si kaya menyaksikan penampilan si miskin. Adalah tanggung jawab pemerintah untuk mempertahankan makna ruang publik jika ingin mengurangi bencana masyarakat massa! Bukan sebaliknya, justru gencar "menghabisi" ruang publik.

Toto Suparto Peneliti Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab) Yogyakarta

No comments:

A r s i p