Monday, June 4, 2007

Pandangan Seorang Profesor Cetak E-mail
Oleh: KH Abdurrahman Wahid��

Prof Dr Mahfud MD, SH, SU memang sangat menarik untuk diikuti pandangan-pandangannya. Pengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga pernah kuliah di Fakultas Sastra Arab Universitas Gajah Mada (UGM) ini adalah doktor ilmu hukum tata negara dari UGM.

Ia masih mengajar di sana dan menjadi profesor ilmu hukum pada usianya yang ke-42. Tetapi, di balik gelar-gelar akademisnya itu, ia juga mampu mengomunikasikan pemikiran-pemikirannya kepada publik, seakan-akan ia adalah seorang sarjana ilmu komunikasi. Padahal, banyak sarjana ilmu komunikasi yang tidak mampu mengomunikasikan pemikiran-pemikiran mereka kepada masyarakat. Nah, kemampuan komunikasi profesor kita itu sangat baik. Ini terbukti dari kemampuannya �memasarkan� pikiran-pikirannya selama ia menulis �sekitar 17 tahunan. Bahkan, beberapa kalangan profesor, terlepas dari perbedaan pemikiran dengannya, juga sering memanfaatkan hal itu.

Dalam peringatan ulang tahunnya yang ke-50, ia memperkenalkan tiga buah buku. Dua buah di antaranya adalah kumpulan tulisannya di berbagai media massa. Di samping itu, ia juga memperkenalkan sebuah buku terbitan UII Press tentang situasi kita saat ini. Sebagai seorang aktivis, Mahfud mengajar di beberapa fakultas hukum, baik di Pulau Jawa maupun di luarnya. Kolega-koleganya yang berserak di Tanah Air, pada tanggal 22 Mei 2007, berkumpul pada peringatan hari kelahirannya itu di Hotel Garuda,Yogyakarta. Karena ia seorang ahli hukum dan itu pun lebih terarah kepada hukum tata negara, kita tidak heran jika kemudian kedua bukunya itu berbicara tentang masalah demi masalah yang terkait dengan Undang-Undang Dasar (UUD).

Dalam pembahasan pada hari itu, mula-mula ia memaparkan salah satu teori tentang UUD kita. Uraian Mahfud itu kemudian �ditimpali� mantan Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi yang juga menjabat Ketua Forum Rektor. Dia mengemukakan pandangan-pandangan tentang konstitusi kita. Tak lama kemudian, penulis artikel ini diminta berpidato oleh Mahfud. Penulis sengaja tidak ingin berpolemik secara langsung. Karena itu, ia ingin �menyoroti� UUD dari sudut prosedural. Secara prosedural, menurut kajian sejarawan Prof Usep Ranuwijaya dan Drs Ridwan Saidi, UUD hasil amendemen hingga tahun 2002 belum diundangkan dan belum masuk lembar negara karena kelalaian Ketua MPR-RI waktu itu, Prof Dr Amien Rais.

Lebih-lebih lagi, UUD 1945 belum pernah dinyatakan batal dan dicabut. Karenanya, sesungguhnya yang masih pantas menjadi instrumen dasar bagi negara kita adalah UUD 1945. Namun, MPR-RI yang sekarang menganggap UUD yang berlaku adalah hasil amendemen yang diresmikan dalam Sidang Umum MPR tahun 2002. Instrumen dasar itu oleh penulis dinamai UUD Perubahan. Semua pihak sekarang memandang perlu ada amendemen; sebenarnya amandemen terhadap prosedur yang dipaksakan itu.

Mahfud adalah anggota MPR yang semestinya terikat kepada pandangan anggota-anggota lain di MPR-RI dan bersama-sama dengan mereka menganggap bahwa prosedur di atas tidak dipaksakan dalam membahas UUD. Dengan kata lain, kita masih bermain-main saja dengan instrumen dasar negara. Namun, mereka menghadapi kesulitan ketika pimpinan DPR menyatakan, kita sudah berada pada masa UUD Perubahan dan masa UUD 1945 adalah masa lampau yang tidak perlu dikaji ulang. Sebagai seorang intelek, Mahfud tentu mendudukan UUD pada tempat yang semestinya, yaitu sebagai produk yang dapat saja diteliti kembali.

Namun, ia adalah seorang politikus, yang harus pandai mengikuti� "ritme permainan". Karenanya, ia menggunakan cara pendekatan yang seolah-olah "jalan Tuhan", yaitu hal yang terabaikan di lembaga legislatif tadi dibahasnya kembali dengan melakukan amendemen atasnya. Gaya inilah yang kemudian memunculkan muka baru di masa lama. Walaupun tampaknya sederhana saja, pendapat di tengah ini dituruti oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam percakapan pribadi dengan pimpinannya seperti Dr La Ode Ida dari Sulawesi Selatan, tampak jelas kegembiraan mereka dapat menemukan jalan luar biasa itu.

Penulis diminta dukungannya untuk memperkuat pembentukan pendapat seperti itu. Tentu saja penulis yang menginginkan perubahan UUD melalui dialog yang sehat, sudah tentu setuju.Yang terpenting semuanya harus berjalan sesuai dengan ketentuan undang- undang. Apakah itu melalui DPD, DPR ataupun MPR tidaklah begitu penting benar bagi penulis. Sebenarnya, jika prosedur itu diterima sebagai kebulatan bagi seluruh bangsa kita, baik dalam pemerintahan maupun di luarnya, hasilnya tentulah akan semakin menunjukkan popularitasnya. Dalam kenyataan, hal itu tidak terjadi.

Kalau memang demikian, kita menempuh cara terbaik untuk mencapai prosedur yang benar, sebagai apa yang oleh bahasa Arab dikatakan sebagai akhaf al-dhararain (lesser of two evils). Kalau kita konsekuen dengan prinsip terakhir ini, yang terpenting adalah masih berlakunya prosedur di atas.Yang terjadi adalah bukan dibatalkannya prosedur itu, melainkan menyempurnakan rangkaian prosedur yang tidak sempurna (fasid/rusak). Maka menggunakan sesuatu yang rusak masih lebih baik daripada menggunakan yang ideal, tapi membawa kerusakan. Ini adalah esensi yang sama dalam bentuk yang berlainan dari apa yang dilakukan oleh profesor kita itu. Ini adalah persoalan yang sering terjadi dalam hidup kita. Ketika Presiden AS Abraham Lincoln memenangi pertempuran melawan tentara Konfederasi di Gettysburg, segera ia dielu-elukan sebagai jenius militer. Coba kalau ia kalah, tentu ia dimaki-maki oleh sejarah. Kita patut belajar banyak dari sejarah bangsa-bangsa lain, bukan? Prof Mahfud menunjukkan ia mampu melakukan hal itu. (*)

KH Abdurrahman Wahid�
Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB

No comments:

A r s i p