Friday, June 1, 2007

Tragedi Grati


Bak Api dalam Sekam

Bumi Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, yang bertahun-tahun seperti api dalam sekam, akhirnya meledak dahsyat, Rabu (30/5). Darah rakyat tumpah di tanah. Nyawa pun melayang. Tragedi ini mengingatkan falsafah masyarakat Jawa tentang tanah: sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati. Sejengkal tanah akan dibela sampai titik darah terakhir.

“Kalau tanah itu diambil, warga mau kerja apa? Warga mau makan apa? Makanya tolong mengerti kami," kata Kepala Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Imam Sugnadi, dengan bercucuran air mata.

Mayoritas dari warganya memang sangat bergantung kepada tanah karena pekerjaan yang mereka bisa hanyalah bertani. Salim (40), misalnya, adalah salah satu orang yang menggarap lahan seluas sekitar 20 meter persegi yang disengketakan itu. Lahan itu ditanami secara tumpangsari dan terdiri dari tanaman jagung, ketela pohon, dan singkong.

Hasil dari lahan ini dijadikannya untuk memenuhi kebutuhan hidup dia, istrinya, dan dua anaknya yang masih sekolah di sekolah dasar. Hasil dari lahan sebagian dijual dan sebagian lainnya dipakai untuk kebutuhan makan sehari-hari. Pada intinya, dia menghitung, hidup selama satu tahun dipakai untuk memenuhi hidup pada tahun berikutnya.

Kalau bagi masyarakat tanah itu sumber nafkah, tumpuhan hidup, bagi TNI AL tanah itu adalah asetnya. Pada tahun 1960, TNI AL membeli tanah di Grati seluas 3.569,205 hektar yang meliputi dua kecamatan yaitu Lekok dan Nguling untuk membangun Pusat Pendidikan TNI AL.

Pada tahun 1963 TNI AL menyelesaikan pembayaran tanah dan penggantian bangunan. Namun, masih ada beberapa penduduk yang belum pindah. Ternyata sejak dibebaskan tidak juga segera dibangun Pusat Pendidikan TNI AL. Malah sejak tahun 1966 digunakan jadi lahan pertanian untul palawija dan jarak.

Inilah yang mengusik hati rakyat bahwa mereka merasa dibohongi. Mereka mau melepas tanah karena untuk kepentingan pertahanan negara. Tetapi, ternyata untuk pertanian yang dikelola Puskopal. Apalagi setelah pada tahun 1984 “disewakan" kepada PT Grati Agung untuk perkebunan tebu, maka rakyat pun semakin merasa dibohongi. Mereka sakit hati karena status sosialnya merosot dari pemilik lahan menjadi buruh tani tebu.

Pada tahun 1993, BPN menerbitkan sertifikat terhadap 14 bidang. Kendati demikian warga yang merasa dibohongi tetap tidak mau pindah. Mereka sanggup mengembalikan uang yang sudah diterima dari TNI AL.

Melihat penderitaan warganya, Bupati Pasuruan pada 20 November 1993 mengusulkan ke Komandan Lantamal III Surabaya agar dimukimkam kembali warga bukan anggota TNI AL di daerah Prokimal Grati.

* * *

BAHANA reformasi berhembus juga ke Grati. Awal 1998 warga kembali menyerukan agar tanah mereka dikembalikan. Hal ini ditanggapi Buparti Pasuruan yang mengirim surat ke KSAL agar warga bukan anggota TNI diberi tanah seluas 500 meter persegi. Namun, usulan ini sampai sekarang tidak ditanggapi.

Warga menempuh jalur hukum tetapi mereka kalah di Pengadilan Negeri Pasuruan pada November 1999. Rakyat semakin kepepet. Urusan perut tidak bisa ditunda. Akhirnya 23 September 2001 mereka menebangi pohon mangga, mengambil alih tanah secara paksa. Warga pun mulai menggarap lahan itu.

Situasi bertahun-tahun bak api dalam sekam. Tanda-tanda akan terjadi tsunami sosial sudah tercium baunya. Untuk itulah 5 Februari 2007 lalu, Muspida Pasuruan bertemu dengan Pangko Armatim di Surabaya membahas masalah tersebut. Kedua belah pihak sepakat membawa permasalahan ke tingkat lebih tinggi. Pihak Armatim ke Mabes TNI AL, sedanh Bupati Pasuruan ke Gubernur Jatim dan Mendagri. Belum lagi ada keputusan apa-apa, meledaklah tragedi 30 Mei itu.

Antropolog Universitas Jember, Dr Latief Wiyata mengungkapkan, peristiwa tersebut merupakan reaksi dari kekecewaan yang terpendam. Emosi warga begitu mudah disulut akibat sampai sekarang belum ada figur yang bisa dijadikan panutan, baik di tingkat desa hingga nasional.

Dalam situasi yang serba tidak jelas menyangkut solusi atas sengketa tanah tersebut, kata Latief, warga terus dipertontonkan rekasi masyarakat yang kehilangan hak di berbagai daerah. “Perubahan dan informasi yang begitu cepat diterima masyarakat melalui media, juga salah satu pemicu reaksi destruktif penduduk Grati," ujarnya.

Kendati demikian jika ada tokoh panutan yang mampu memberikan jalan terbaik dalam sengketa tahan tersebut, peristiwa yang menewaskan warga tidak akan mungkin terjadi. “Semua pihak memang perlu arif, dan paling utama bagaimana figur panutan semua pihak, segera muncul dan mampu menyelesaikan perselisihan," kata Latief.

Tragedi Grati menambah deretan tragedi tanah di Jawa Timur. Seperti, Nipah (Madura), Jenggawah (Jember), Harjokuncaran (Malang), Nglegok (Blitar). Tragedi ini memperingatkan agar semua pihak berhati-hati dan arif menyikapi konflik pertanahan. (ETA/INA/APA/ANO)

No comments:

A r s i p