Wednesday, June 6, 2007

Sebagian Anggota DPR Kecewa
Presiden Yudhoyono Bersedia Berkomunikasi dengan Wakil Rakyat

Jakarta, Kompas - Sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat kecewa dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tak hadir langsung pada rapat paripurna untuk menjelaskan persetujuan pemerintah atas Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa Nomor 1747 tentang Perluasan Sanksi bagi Iran.

Kekecewaan tersebut terlihat dalam jalannya Rapat Paripurna DPR, Selasa (5/6). Begitu Ketua DPR Agung Laksono membuka rapat, Agung langsung dihujani interupsi.

Presiden Yudhoyono tak hadir. Ia diwakili Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS, Menko Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, serta Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar.

Berdasarkan catatan Kompas, sebanyak 26 wakil rakyat mengajukan interupsi selama rapat yang berlangsung kurang dari lima jam itu. Sebanyak 15 anggota dari tujuh fraksi menyesalkan ketidakhadiran Presiden Yudhoyono dan meminta rapat ditunda. Tujuh anggota dari dua fraksi bisa memahami ketidakhadiran Presiden.

Anggota DPR yang meminta Presiden hadir memiliki segudang alasan. Mereka menilai DPR dan pemerintah berada dalam posisi sejajar. "DPR lembaga tinggi negara yang sejajar dengan Presiden, bukan lebih rendah," ucap Yuddy Chrisnandy dari Fraksi Partai Golkar (F-PG), yang didukung anggota DPR lainnya.

Mereka berpendapat, Presiden perlu hadir karena menteri telah menjelaskan materi interpelasi itu pada rapat komisi. Penjelasan itu tak bisa diterima. Presiden di negara maju pun sering memberi penjelasan di depan parlemen.

Mereka menilai ketidakhadiran Presiden sebagai bentuk pelecehan kepada DPR karena interpelasi itu ditempuh dengan proses yang panjang.

Dari sisi substansi pun penting karena menyangkut kebijakan politik luar negeri yang dalam konstitusi dinyatakan bebas aktif dan menjamin kemerdekaan semua bangsa. "Ini jangan direduksi jadi sekadar tata tertib," ungkap Andi Rachmat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS).

Sementara mereka yang memahami ketidakhadiran Presiden berlindung pada Tata Tertib DPR Pasal 174 Ayat 4 yang menyebutkan keterangan dan jawaban Presiden bisa diwakilkan kepada menteri. "Inti interpelasi minta keterangan presiden, bukan undang presiden," ucap Ferry Mursyidan Baldan dari F-PG.

Mereka juga mengacu pada preseden sebelumnya, yaitu interpelasi kasus Sipadan Ligitan pada era Presiden Megawati Soekarnoputri yang dihadiri Menko Polkam. Interpelasi soal busung lapar juga cukup dijelaskan oleh Menko Kesra.

Menyangkut Tata Tertib DPR, mereka yang meminta Presiden datang memiliki penafsiran lain. Keterangan pertama harus disampaikan Presiden. Jika muncul pertanyaan, barulah Presiden dapat mewakilkannya.

Panda Nababan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) mengutip Pasal 104 Tata Tertib DPR yang membolehkan mengajukan usul perubahan acara rapat paripurna jika keadaan memaksa.

Perbedaan pendapat ini membuat rapat sempat memanas, terlebih saat Agung Laksono hendak mempersilakan menteri menjelaskan. Sejumlah peserta langsung berdiri memprotes Agung.

Lampu utama ruangan juga tiba-tiba padam. Anehnya, lampu samping dan mikrofon tetap menyala. Karena rapat tak kondusif, Agung menskors rapat. Lobi pimpinan fraksi juga menyepakati rapat itu ditunda.

Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar mengatakan, penundaan rapat paripurna terjadi karena tak ada kesepakatan anggota untuk melanjutkan rapat. Macetnya persidangan terjadi akibat adanya multitafsir terhadap Tata Tertib DPR. Sidang berikutnya akan diagendakan kembali setelah persoalan itu dibawa ke Badan Musyawarah DPR, minggu ini.

Secara terpisah, Ketua Bidang Politik Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyesalkan penundaan rapat paripurna itu, apalagi alasan penundaan yang diperdebatkan anggota DPR itu bukanlah alasan yang substansial.

Bersedia berkomunikasi

Presiden Yudhoyono di Kantor Kepresidenan, Selasa, mengatakan, banyak tugas dan kewajiban pemerintah dan DPR untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Politik luar negeri penting, tetapi agenda dalam negeri, seperti peningkatan kesejahteraan rakyat, juga tidak kalah penting.

Presiden dalam jumpa pers itu menjawab perkembangan rapat paripurna di DPR, terkait hak interpelasi. Ia mengaku interpelasi dan penundaan rapat tidak membuatnya heran. Ia melihat itu sebagai realitas dari kehidupan demokrasi.

Presiden berharap pemerintah dan DPR dapat mengelola masalah interpelasi tanpa harus merusak atau mengganggu stabilitas politik yang harus dijaga sebagai prasyarat pembangunan. Masalah dalam negeri yang tak kalah penting adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan pendidikan, kesehatan, serta usaha kecil dan menengah; mengurangi dampak kemiskinan; menciptakan lapangan kerja; dan membuat undang-undang.

Presiden juga menegaskan, pada dasarnya pemerintah siap berkomunikasi dengan DPR setiap saat, tetapi tidak boleh menimbulkan sesuatu yang tidak baik di negeri ini.

"Kasihan rakyat. Mudah-mudahan dengan komunikasi antara pemerintah dan DPR akan didapatkan solusi terbaik," ujar Presiden. (INU/MZW/HAR/MAM/SUT)

No comments:

A r s i p