Saturday, February 23, 2008

Agar Partai Islam Menjadi Besar



Oleh :Muhammad Qodari

Direktur Eksekutif Indo Barometer, Jakarta

Pengamat politik Indonesia dari Australian National University (ANU), Greg Fealy, menyatakan pesimistis terhadap prospek partai Islam atau partai berbasis massa Islam dalam Pemilu 2009 yang akan datang. Pesimisme Greg Fealy ini menarik karena kontras dengan target yang telah dicanangkan aneka partai Islam.

PKS, misalnya, menargetkan angka 20 persen semenjak tahun 2005 yang lalu. PPP mencanangkan 15 persen pada Juni 2007 lalu, sementara PAN mengincar 18, 2 persen pada April 2006. Yang paling fenomenal dari semua partai Islam adalah target PKB seperti dinyatakan Gus Dur. Gus Dur menargetkan perolehan suara PKB sebesar 61 persen.

Target-target yang dipasang partai-partai Islam sejauh ini memang jauh dari hasil-hasil survei beberapa lembaga. Survei Indo Barometer Desember 2007, misalnya, menunjukkan komposisi suara PDIP 25,3 persen, Golkar 18 persen, Demokrat 13,8 persen, PKB 7,5 persen, PKS 5,2 persen, PPP 3,5 persen, PAN 3,4 persen, partai lainnya 6 persen, dan 17,7 persen tidak menjawab atau belum memutuskan.

Hasil survei Desember 2007 itu memiliki persamaan dengan sejumlah survei sebelumnya. Pertama, tujuh partai dengan suara terbesar masih identik dengan tujuh partai terbesar pemilu 2004. Artinya, partai Islam baru seperti PKNU dan PMB belum masuk hitungan. Kedua, Demokrat adalah satu-satunya partai yang hasil surveinya selalu di atas perolehan suara pemilu 2004.

Partai-partai yang lain semuanya mengalami fluktuasi. Khusus partai Islam, tren umum angka mereka disurvei lebih rendah dari perolehan 2004. Ketiga, jajaran tiga besar selalu didominasi oleh partai 'nasionalis' (PDIP, Golkar, dan Demokrat) dan bukan partai-partai Islam atau berbasis massa Islam.

Dengan realitas politik seperti ini, sesungguhnya apa yang harus dilakukan partai Islam agar jadi partai besar? Pertama, menjual program-program kerja yang sesuai dengan kebutuhan publik luas. Menurut aneka survei, ternyata yang dibutuhkan masyarakat adalah program-program terkait masalah pengangguran dan ketersediaan sembako dengan harga yang terjangkau.

Melihat hal ini, untuk bisa besar partai-partai Islam tidak bisa berjualan syariat Islam atau negara Islam. Apalagi ada survei yang menunjukkan bahwa 85 persen pemilih Muslim menganggap Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan agama Islam dan hanya 3,5 persen yang menganggapnya tidak sejalan (LSI, Oktober 2006).

Kedua, melahirkan atau merekrut tokoh partai yang sangat populer di masyarakat. Populer di sini artinya dikenal oleh seluruh masyarakat, disukai oleh mayoritas, dan memiliki potensi elektabiliti yang tinggi dalam pilpres. Berdasarkan pengalaman 1999 dan 2004 serta aneka studi yang ada, ternyata di Indonesia faktor kesukaan atau identifikasi terhadap tokoh partai ini merupakan variabel yang paling mampu mendongrak suara partai dalam waktu singkat.

Kasus yang paling nyata tampak pada Partai Demokrat. Ketika ikut Pemilu 2004, Demokrat baru berusia dua tahun. Namun, perolehannya langsung melejit ke angka 7,5 persen. Bandingkan dengan PAN yang sudah berusia enam tahun, tetapi hanya memperoleh enam persen dalam Pemilu 2004.

Dampak dari variabel tokoh ini semakin nyata bila kita bandingkan usia Demokrat dengan Muhammadiyah, organisasi massa Islam yang dianggap menjadi basis massa PAN, yang notabene telah berdiri semenjak 90 tahun yang lalu. Peran dari tokoh itu semakin tampak ketika dilakukan survei dukungan partai pada awal tahun 2005.

Mungkin karena euforia kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam survei tersebut Demokrat melejit menjadi partai yang paling banyak dipilih (24 persen). Bahkan, ketika popularitas Pemerintahan SBY menurun pada masa sekarang ini, dukungan terhadap Demokrat telah meningkat dua kali lipat dibanding 2004.

Kita belum tahu pasti berapa perolehan suara Demokrat dalam pemilu tahun depan. Namun, jelas teori 'determinisme tokoh' berlaku dalam politik elektoral Indonesia masa kini.

Ketiga, citra partai yang positif dan kuat di masyarakat. Karena pasar politik begitu ramai dan masyarakat membutuhkan shortcut untuk mengingat partai, citra yang melekat pada partai tertentu sangatlah membantu dalam kompetisi pemilu. Itulah mungkin yang menjadi salah satu alasan mengapa PDIP menjadi partai yang sekarang paling populer di Indonesia.

Di satu sisi, pilihannya sebagai partai oposisi membuatnya menjadi kontras dengan partai lain dan pemerintah berkuasa. Di sisi lain, hal ini mengembalikan citra PDIP sebelumnya sebagai partainya wong cilik.

PKS sebagai salah satu partai baru termasuk partai yang pernah diuntungkan oleh citra politik dan politik citra yang baik. Pada periode 1999-2004, PKS berhasil membangun reputasi sebagai partai yang bersih dan peduli. Pada periode 2004-2009 citra ini masih perlu dipertahankan, baik karena kebutuhan objektif partai dan masyarakat maupun alasan strategi pemasaran di mana kedua citra ini merupakan kompetensi inti dari PKS. Namun, di sisi lain PKS perlu membangun citra lain untuk memperluas pasar sekaligus menghindari stigmatisasi politik oleh lawan.

Citra itu misalnya profesional untuk membangun kepercayaan bahwa PKS mampu memegang amanat pemerintahan atau terbuka untuk menghilangkan hambatan psikologis dari orang-orang yang simpati pada citra bersih, peduli, dan profesional dari PKS, tetapi tidak jadi memilih PKS karena takut PKS akan menjadi 'taliban ala Indonesia' kalau menang pemilu. Pilihan menjadi partai terbuka tidak menjamin PKS untuk mencapai target 20 persen.

Namun, pilihan itu menjadi prasyarat dasar bagi PKS untuk bisa menjangkau pemilih yang lebih luas dari sekarang. Survei yang dilakukan LSI pada Oktober 2007 menunjukkan bahwa pada pada tahun 2006 sebanyak 1,5 persen responden mengaku menjadi anggota aktif dan tidak aktif dari PKS. Jika pemilih Muslim Indonesia ada 130 juta maka angka 1,5 persen itu sama dengan 1,95 juta orang. Pada 2007 angka itu menjadi 2,2 persen atau setara dengan 2,86 juta orang.

Angka-angka itu menunjukkan bahwa jika PKS hanya berkonsentrasi pada aktifisnya yang pernah mengaji (ikut mentoring agama di kampus yang dikenal sebagai usrah, liqa, atau tarbiyah), maka suara PKS akan sangat terbatas. Pada periode 1999-2004 PKS besar bukan karena identitas keislamannya, melainkan identitas moral yang universal.

Fakta bahwa suara PKS sampai akhir 2007 masih jauh dari target 20 persen, bahkan mengalami penurunan, mengundang pertanyaan. Jangan-jangan hal ini terkait dengan makin berkembangnya pencitraan PKS sebagai partai yang eksklusif, bahkan taliban.

Akhirnya, memang tidak mudah bagi partai-partai partai-partai Islam untuk bisa menjadi partai besar seperi dulu pernah dicapai oleh Masyumi dalam Pemilu 1955. Namun, syarat dan peta jalan ke arah tujuan itu sebetulnya telah dapat diidentifikasi dan dipahami. Apakah partai Islam mau mengadopsi dan melakukannya? Umat menyaksikan dari sekarang sampai 2009.

Ikhtisar:

- Target partai Islam jauh dari hasil-hasil survei beberapa lembaga.
- Masyarakat membutuhkan realisasi program yang terkait dengan pengangguran.
- Survei menunjukkan 85 persen pemilih Muslim menganggap Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan Islam.

No comments:

A r s i p