Friday, February 1, 2008

Sistem Pemilu Terbuka, 'Murni' atau 'Terbatas'?


Ani Soetjipto
Dosen FISIP UI

Pembahasan rancangan UU Pemilu Legislatif yang saat ini masih berlangsung di DPR, kembali memunculkan perdebatan mengenai pilihan terhadap sistem pemilu seperti apa yang paling baik diterapkan pada 2009. Meski ada kesepakatan menerapkan sistem proporsional, perdebatan terjadi pada masalah penetapan calon terpilih. Sebagian fraksi mendukung proporsional terbuka dengan menggunakan suara terbanyak dalam penetapan calon terpilih. Sebagian fraksi lainnya mendukung proporsional terbatas dengan menggunakan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) untuk menetapkan calon terpilih.

Apa sesungguhnya perbedaan di antara keduanya dan apa implikasi dari desain model pemilu tersebut pada sistem kepartaian maupun kualitas demokrasi yang hendak dibangun di Indonesia?

Proporsional 'terbuka' vs 'terbatas'
Tidak ada satupun sistem pemilu di dunia ini yang netral. Pilihan terhadap sistem apa yang hendak diadopsi tergantung apa sesungguhnya tujuan akhir yang ingin dicapai dari para pengambil kebijakan.

Pada umumnya kalangan ahli ilmu politik sepakat bahwa sistem pemilu dengan representasi proporsional dianggap lebih adil, dibandingkan dengan sistem majoritarian karena perimbangan kursi yang diperoleh partai politik akan sepadan dengan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu. Misalnya Partai A memperoleh total suara 60 persen dari pemilih maka Partai A akan mendapat 60 persen dari total kursi di parlemen.

Sistem proporsional juga memiliki keunggulan lain karena dimungkinkan bagi kelompok minoritas dan marginal mendapatkan keterwakilan. Upaya bagi peningkatan keterwakilan perempuan misalnya akan lebih efektif diperjuangkan lewat adopsi sistem representasi proporsional. Sistem ini memberi peluang bagi tumbuhnya lebih banyak partai politik dan mendorong terciptanya pemerintahan koalisi jika tidak ada partai mayoritas yang bisa memenangkan pemilu dengan suara mayoritas. Sistem ini juga biasanya dicirikan dengan higher vote turnout atau tingkat derajat partisipasi masyarakat yang lebih besar.

Sistem majoritarian sebaliknya sering dianggap memiliki derajat akuntabilitas yang lebih kuat dan dianggap lebih bisa mendorong terbentuknya pemerintahan yang efektif dan stabil karena akan menyederhanakan sistem kepartaian dan akan mendorong munculnya sistem dua partai dominan. Dalam perkembangannya varian dari sistem pemilu telah berkembang dan tidak lagi sederhana seperti gambaran tersebut. Sistem pemilu dengan daftar proporsional juga mempunyai varian proporsional yang sangat terbuka, semi terbuka dan proporsional yang tertutup.

Sistem pemilu proporsional daftar terbuka yang sangat terbuka membuka peluang bagi pemilih tidak hanya memilih tanda gambar partai (seperti sistem pemilu proporsional tertutup) tetapi juga mencoblos nama atau foto kandidat yang diajukan oleh partai politik yang bersangkutan. Tingkat keterbukaan juga bisa diukur dari proses nominasi kandidat yang dilaksanakan oleh partai, yaitu apakah dilakukan melalui mekanisme yang transparan, terbuka melalui konvensi atau penominasiannya hanya ditentukan oleh segelintir elite partai.

Ukuran lain dari tingkat keterbukaan juga ditentukan oleh ukuran daerah pemilihan (dapil). Ukuran dapil yang lebih besar akan membuka peluang untuk kompetisi yang lebih besar dibandingkan dengan dapil yang lebih kecil. Ukuran dapil sesungguhnya telah memuat threshold tersembunyi bagi partai. Dengan ukuran dapil 3 misalnya suatu parpol minimal harus mendapatkan 100:3 = 33,3 persen suara pemilih untuk bisa mendapatkan satu kursi. Sementara dengan ukuran dapil 12, hanya dengan 100:12 = 8,1 persen suara pemilih suatu partai bisa mendapatkan kursi sehingga membuka peluang untuk lebih banyak partai berkompetisi dan mendapatkan kursi.

Selain dapil, besaran threshold yang diterapkan juga akan membatasi peluang satu partai untuk mendapatkan kursi atau sebaliknya memperbesar peluang partai lain untuk memenangkan kompetisi.

Cara bagaimana dapil itu dibuat juga akan menentukan peluang partai untuk meraup suara. Dapil yang dibuat berdasarkan kriteria jumlah penduduk dan batas geografis wilayah (batas alam) yang dikombinasi dengan faktor etnis, sejarah, agama, dan kondisi sosial transportasi atau infrastruktur akan berbeda dengan dapil yang dibuat berdasarkan kriteria jumlah pemilih dan batas administratif.

Jadi bentuk penerapan sistem proporsional juga beragam. Mulai dari yang hampir tidak memberi batasan dan hambatan pada partai kecil, penerapan yang moderat dengan membatasi pengaruh partai kecil lewat penentuan dapil, electoral threshold, dan yang sangat membatasi lewat kombinasi sistem pemilu dengan sistem ketatanegaraan yang berciri presidensial atau parlementarian, dan dengan sistem parlemen yang bikameral atau unikameral dengan sistem registrasi pemilih tertentu.

Sistem proporsional daftar terbuka dan sistem proporsional daftar terbuka terbatas yang diusulkan oleh partai politik dalam daftar isian masalah (DIM) mereka berbeda dalam hal penentuan calon terpilih. Semua partai politik sepakat dalam Pemilu 2009 mendatang yang akan digunakan adalah proporsional dengan daftar calon terbuka. Artinya dalam kertas suara, pemilih nanti akan disodori tidak saja nama partai dan lambangnya tapi juga daftar nama calon yang diajukan oleh partai tersebut (sama seperti Pemilu 2004).

Perbedaan terletak pada cara penentuan calon terpilih. Sebagian parpol menginginkan calon terpilih itu ditentukan berdasarkan suara terbanyak, artinya kursi yang diperoleh oleh suatu partai, pengisian siapa yang berhak duduk menjadi wakil rakyat ditentukan oleh calon dari partai tersebut yang memiliki suara terbanyak.

Sementara sebagian partai yang lain (Golkar dan PDIP) menginginkan agar penentuan calon terpilih ditentukan lewat kriteria apakah si calon telah melampaui bilangan pembagi pemilih (BPP atau kuota kandidat) yang diterapkan. Jadi prinsipnya mirip dengan Pemilu 2004 lalu di mana calon yang walaupun memperoleh suara terbanyak jika tidak bisa melampaui angka BPP maka yang akan dipilih adalah yang berada pada nomor urut atas.

Implikasi
Dalam terminologi ilmu politik sering kali dikatakan bahwa desain sistem pemilu bisa dikatakan bersifat demokratis jika memenuhi kriteria akuntabilitas, keadilan, keterwakilan serta mengikutsertakan partisipasi yang luas dari masyarakat. Pertanyaannya apakah dua desain sistem pemilu yang diajukan memenuhi kriteria itu?

Beragam studi yang dilakukan sebagai evaluasi pelaksanaan Pemilu 2004 menunjukkan bahwa sistem pemilu proporsional daftar terbuka telah memberikan ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat, di mana derajat keterwakilan terhadap kelompok marginal dan minoritas juga bisa diakomodasi. Persoalan yang banyak dikeluhkan adalah penerapan sistem proporsional terbatas yang dianggap tidak adil bagi calon yang memperoleh suara terbanyak tapi tersingkir karena tidak dapat memenuhi BPP dan harus tergusur oleh mereka yang berada di nomor urut atas walaupun suara yang diperoleh lebih kecil. Penerapan sistem pemilu 2004 dianggap mencederai prinsip keadilan dan akuntabilitas karena sesungguhnya menempatkan kandidat yang tidak dipilih oleh pemilih (konstituen).

Berbagai catatan kritis inilah yang kemudian memunculkan gagasan penerapan sistem pemilu proporsional daftar terbuka yang lebih ''murni''. Pertanyaan kritis yang harus diajukan kepada para pengambil kebijakan saat ini adalah apa implikasi penerapan dua sistem itu bagi perkembangan sistem kepartaian di Indonesia? Apa implikasinya bagi prinsip keterwakilan kelompok marginal dan minoritas? Bagaimana kita harus mendudukkan prinsip keadilan dalam konteks ini?

Desain sistem pemilu berkorelasi sangat erat dengan sistem kepartaian seperti apa yang hendak kita bangun ke depan. Partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi saat ini mengalami situasi rendahnya legitimasi dan tingkat kepercayaan masyarakat, padahal kita semua mengetahui bahwa dalam negara demokratis partai politik memainkan peran politik yang tidak sederhana. Kita dihadapkan pada tantangan mengembalikan kepercayaan publik kepada partai politik.

Di sisi lain, kita semua sangat mengetahui karakteristik partai politik di Indonesia yang hingga kini masih ditandai dengan underinstitutionalization (tidak terinstitusionalisasi dengan baik), pengorganisasian yang buruk, minim sumber daya, tidak berpengalaman dan lemahnya hubungan antara partai dengan konstituen. Semua kelemahan ini tidak dapat dilepaskan dari situasi kepartaian di negara transisi demokrasi dimana instrumen dan sistem belum sepenuhnya bisa berjalan baik dan tidak terdapat pengalaman menjalankan sistem demokrasi multipartai yang efektif.

Adopsi sistem pemilu sesungguhnya bisa dirancang untuk mengembalikan kepercayaan pemilih sekaligus sebagai arena dan instrumen untuk institusionalisasi, penguatan dan reformasi internal sistem kepartaian. Selain juga untuk membangun sistem multipartai yang efektif dan stabil di negara yang heterogen seperti Indonesia.

Desain sistem pemilu sebaliknya juga bisa dirancang untuk tujuan di luar kepentingan tersebut. Dalam kondisi kerapuhan sistem multi partai, desain sistem pemilu juga bisa dirancang untuk keuntungan dan penguatan bagi partai besar yang lebih terkonsolidasi karena pengalaman panjang sebelumnya, serta menyederhanakan sistem kepartaian.

Electoral strategy juga punya efek tertentu pada kandidat yang akan ditawarkan partai pada konstituen. Dalam sistem proporsional murni, bisa muncul kecenderungan munculnya political entrepreneur dalam partai yang dicalonkan demi meraih kursi bagi partai tanpa mempertimbangkan kualifikasi si kandidat. Situasi ini tidak saja akan menghancurkan partai dan mendorong perpecahan internal, tapi juga merusak hubungan partai dengan konstituen yang diwakilinya. Pemilu 2004 lalu telah memunculkan banyak kandidat yang dicalonkan partai karena popularitasnya atau kemampuannya membeli nomor dalam daftar calon yang diajukan partai. Akibatnya kita sudah menyaksikan mereka tidak bermanfaat baik untuk partai maupun untuk masyarakat.

Pertimbangan lain yang tidak kalah penting yang juga menjadi kepedulian bagi penguatan demokrasi di Indonesia adalah penguatan keterwakilan kelompok marjinal termasuk perempuan. Studi terhadap kinerja perolehan suara caleg perempuan pada Pemilu 2004 menunjukkan tingkat kesulitan caleg perempuan untuk terpilih lewat kompetisi 'bebas'. Masih dibutuhkan 'perlindungan' berupa kebijakan afirmatif melalui mekanisme internal di partai yang memungkinkan caleg perempuan ditempatkan pada posisi dan urutan teratas. Jika sistem proporsional terbuka murni yang diadopsi, jaminan bagi kebijakan afirmatif dalam pencalonan kandidat perempuan dan gagasan untuk mendorong peluang terpilihnya kandidat perempuan lewat mekanisme penempatan dalam daftar calon yang diajukan parpol akan kehilangan relevansinya.

Kombinasi sistem pemilu terbuka terbatas dengan BPP di bawah 25 persen, saya yakini bisa mendorong tidak saja peningkatan keterwakilan kelompok marjinal tapi sekaligus mengembalikan kepercayaan konstituen sekaligus tidak melepas semua kewenangan pengurus partai pada pilihan masyarakat yang untuk tujuan akumulasi meraih kursi dalam jangka pendek tapi berpotensi menghancurkan institusionalisasi sistem kepartaian di jangka panjang.

No comments:

A r s i p