Friday, February 1, 2008

Revitalisasi Peran Politik NU



Yanuar Arifin
Pemerhati Sosial Politik dan Keagamaan pada Hasyim Asy'ari Institute, Yogyakarta.

Ketika organisasi massa Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada 31 Januari 1926 oleh KH Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan sejumlah kyai pesantren dari Jawa dan Madura, Indonesia saat itu berada cengkeraman kekuasaan Belanda. Jika pada 1908 muncul gerakan Kebangkitan Nasional yang digawangi para pemuda, khususnya intelektual dan pelajar yang mengusung ideologi nasionalisme guna merespons keterbelakangan, ketertindasan, dan keterpasungan mental dan ekonomi rakyat Indonesia sebagai akibat dari penjajahan, maka respons yang sama lahir dari rahim pesantren yang berideologi Islam.

Kalangan pesantren merespons dengan membentuk organisasi pergerakan yang beraliran keagamaan Islam, yaitu Nahdlatul Wathan pada 1916. Pada 1918 berdiri Taswirul Afkar (Nahdlatul Fikri) yang dianggap sebagai wahana pendidikan, sosial politik kaum pesantren.

Selanjutnya, didirikan Nahdlatut Tujjar yang dijadikan basis memperbaiki kehidupan ekonomi umat. Ketiga organisasi pergerakan inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya organisasi massa Islam terbesar Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU).

Apabila berbicara NU, kita tak dapat memisahkannya dari sosok kyai sepuh pesantren. Kyai tokoh sentral yang memegang otoritas tertinggi keagamaan, sosial, maupun politik umat. Mereka faktor utama keberhasilan organisasi yang berasal dari kalangan ulama tradisional hingga menyedot banyak massa.

Dari aspek sosiologis, mayoritas rakyat, khususnya yang beragama Islam, orang-orang yang bertempat tinggal atau berasal dari wilayah pesisir atau pinggiran. Dalam ritual keagamaannya, mereka kuat memegang tradisi. Salah satunya pengultusan ulama.

Realitas inilah yang turut menguatkan stereotip bahwa NU kumpulan orang-orang konservatif dengan terus memegang tradisi-tradisi keagamaan yang jumud. Meskipun demikian, fenomena menarik yang seolah menjadi tren dalam masyarakat secara keseluruhan adalah keberadaan intelektual maupun politisi yang lahir dari rahim NU lebih banyak membawa misi-misi pembaruan, baik dalam ranah keagamaan, pemikiran, politik, maupun pendidikan.

Ini seakan kontras dengan penggambaran pertama saya bahwa kalangan NU lebih kental dengan aroma tradisional dan konservatif. Sebut saja Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), almarhum Nurcholis Madjid, Ali Yafie, Masdar Farid Mas'udi, Sahal Mahfudz, Tolchah Hasan, dan yang terakhir Ulil Absar Abdallah. Mereka tokoh cendekiawan Muslim binaan NU yang memiliki pemikiran yang cenderung liberal dan moderat.

Lebih menarik lagi, sebagai pembaharu dalam NU maupun Islam, beberapa orang turut berupaya membawa NU ke dalam garis politik praktis sebagaimana pernah terjadi pada periode kepemimpinan KH Idham Chalid. Meskipun mereka tidak menyatakan upayanya secara literal, ketika PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) lahir, secara tidak langsung orientasi untuk membawa NU ke garis politik telah bergulir. Padahal, seruan untuk 'kembali ke Khittah 1926' pada Muktamar Situbondo 1984 telah menjadi kesepakatan ulama NU untuk mengembalikan NU sebagai organisasi massa nonpolitik.

Tentu upaya cendekiawan Muslim dari NU ini sering dicekal oleh kyai sepuh. Lantas, bagaimana peran politik NU sekarang, ketika umat Islam dalam kondisi yang membutuhkannya?

Revitalisasi peran politik
Harus disadari bahwa NU salah satu pergerakan, akan selalu dinanti-nanti perannya dalam membawa perubahan dan perbaikan berbagai sektor kehidupan. Tak tertutup kemungkinan ketika NU berani merangkul umat agama lain ataupun kalangan lain, ia akan menjadi penggerak gerbong-gerbong transformasi sosial dan penguatan civil society.

Pada saat itulah NU harus berupaya merevitalisasi peran politiknya. Namun, upaya itu harus mempertimbangkan citra NU sebagai organisasi yang memiliki kekuatan massa terbesar yang otonom dan terbebas dari kooptasi kekuatan politik.

Menurut Greg Barton, salah satu upaya yang harus ditempuh oleh NU dalam merancang kembali visi, misi, dan strategi sebagai upaya revitalisasi peran politiknya adalah dengan merevisi beberapa pandangan NU atas beberapa aspek kehidupan umat. Artinya, peran politik NU tidak hanya dibatasi pada tataran politik praktis semata.

Lebih dari itu, peran politik NU harus dapat tecermin dalam sektor yang lain. Ada beberapa upaya perbaikan. Pertama, merevisi pandangan politik NU. Politik yang dikembangkan seharusnya berbasis kultural, bukan politik praktis.

Pada konteks ini, NU harus kembali sadar bahwa ia terlahir sebagai ormas yang memang berbasis kultural kemandirian. Ia harus benar-benar dapat mengelola masyarakat secara efektif dan dinamis tanpa terintervensi oleh kekuatan penguasa.

Kedua, merevisi pandangan keagamaan. Di tengah gencarnya pandangan keagamaan yang kaku, keras, jumud, dan rigid, NU semestinya memosisikan diri sebagai organisasi keagamaan yang inklusif, pluralis, dan emansipatoris. Agama tidak lagi dimaknai sekadar ideologi politik, tetapi kekuatan moral yang membebaskan.

Dalam konteks ini almarhum Cak Nur juga mengingatkan bahwa ajaran-ajaran Islam merupakan ajaran yang memiliki nilai-nilai universal. Sebagaimana KH Hasyim Asy'ri dahulu juga pernah mewanti-wanti kaum nahdliyyin agar dapat menerima perbedaan terkait dengan persoalan keagamaan, baik yang terjadi di kalangan umat Islam atau di luar. Seruan KH Hasyim ini bertujuan untuk membangun tali persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia dan terhindar dari konflik antarumat.

Ketiga, merevisi pandangan ekonomi dan terutama sekali soal pendidikan. NU sejatinya dapat memanfaatkan potensi ekonomi masyarakat yang begitu besar. Kegagalan NU dalam mengelola potensi ekonomi disebabkan minimnya visi ekonomi.

Dalam sektor ekonomi, NU hampir mengalami kegagalan. Lembaga-lembaga perekonomian NU tidak berfungsi maksimal karena besarnya perhatian NU pada aspek politik praktis.

Dalam persoalan ekonomi, NU harus banyak belajar dari saudara tuanya, yakni organisasi massa Muhammadiyah yang para kadernya terkenal dengan visi dan misi ekonominya yang terstruktur dengan jelas dan baik.

Oleh karenanya, tiada jalan lain bagi NU untuk segera merevitalisasi peran politiknya, seraya merevisi kembali pandangan-pandangannya agar gerbong lokomotif transformasi sosial dan keagamaan di negara kita tidak berhenti di tengah rel kebobrokan dan krisis multidimensi yang telah menyita waktu sangat lama.

Bagaimana pun, seruan agar NU kembali ke Khittah 1926 yang pernah dicetuskan para kyai NU dari kalangan pesantren kiranya menjadi perhatian bagi kader NU sekarang. Pada dasarnya NU tidak pernah menghalangi dan tidak memiliki otoritas untuk mencekal para kadernya untuk terjun ke panggung politik praktis meskipun mereka memakai atribut yang berlainan.

Dalam sejarah perjalanannya sebagai organisasi massa dan keagamaan, NU adalah organisasi yang beraliran moderat dalam berpolitik dan beragama meskipun ia lahir dari rahim kalangan tradisionalis.

Ikhtisar
- Kalangan NU terkesan menjadi kumpulan orang-orang konservatif dengan memegang tradisi-tradisi keagamaan yang jumud.
- Banyak anggota turut berupaya membawa NU ke dalam garis politik peraktis.
- NU sejatinya dapat memanfaatkan potensi ekonomi masyarakat yang begitu besar.

1 comment:

Anom Surya Putra said...

saatnya memang menempatkan sejarah sebagai alat untuk bergerak di perekonomian rakyat, baik industri kecil menengah maupun usaha kecil menengah.

salam
http://nahdlatuttujjar.com

A r s i p