Saturday, February 2, 2008

NU, Politik, dan Peradaban



Sabtu, 2 Februari 2008 | 07:48 WIB

Rumadi

Nahdlatul Ulama, yang dilahirkan pada 31 Januari 1926, genap berusia 82 tahun. Bagi manusia, 82 tahun adalah usia uzur dan renta. Namun, NU tidak bisa dianalogikan dengan tubuh manusia karena NU adalah gerakan sebuah cita-cita.

Karena itu, 82 tahun usia NU harus dilihat sebagai pergulatan membangun sebuah peradaban. Banyak hal bisa direfleksikan di usia NU menjelang satu abad itu. Oleh lawan-lawan politiknya, NU pernah disebut sebagai organisasi oportunis secara politik karena mudah ”berdamai” dengan kekuasaan.

Pada 1954, misalnya, NU pernah memberi gelar kepada Presiden Soekarno waliyyu al-amri al-darûri bi al-syaukah. Pada 1960 ketika Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin dan melarang Masyumi, NU tergabung dalam nasakom (nasionalisme, agama, komunisme), di mana NU merepresentasikan dirinya sebagai kelompok agama, tepatnya Islam.

Pada 1983 ketika pemerintahan Orde Baru memperkenalkan asas tunggal Pancasila, NU juga merupakan organisasi Islam yang tidak mengalami hambatan teologis untuk menerimanya.

Warna-warni politik NU

Sikap politik seperti itu tentu menimbulkan banyak penilaian. Orang yang tidak suka dengan NU akan mengatakan, sikap itu cermin oportunis dan mencari keuntungan sendiri. Namun, orang yang mau sedikit empati akan mengatakan, itu cermin sikap akomodatif NU. Sikap akomodatif dan kelenturan itu dimungkinkan karena sikap politik NU senantiasa diukur dengan menggunakan kerangka nalar fikih. Karena itu, sikap politik NU pada dasarnya merupakan cermin dari paham keagamaan NU sendiri.

Perjalanan politik NU amat warna-warni, berkelok-kelok, tidak monoton. NU pernah menjadi kekuatan politik formal yang amat diperhitungkan setelah Pemilu 1955. NU pernah menjadi bagian Masyumi dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). NU mengalami diaspora politik saat muncul masa reformasi. NU juga pernah mengalami masa di mana selalu menjadi kekuatan politik pinggiran sampai masuk inti kekuasaan negara. Singkatnya, sejarah politik NU hampir ”sempurna”, dari masa sulit sampai ”keemasan”.

Dari hiruk-pikuk politik itulah, belakangan menjadikan orang suka melihat NU. Kita mulai bisa menikmati banyak karya intelektual tentang NU, baik yang ditulis peneliti asing maupun pribumi. Pada awal tahun 1990-an, kita masih sulit menemukan karya-karya tentang NU, tetapi kini karya tentang NU seperti ”kacang goreng”, bertebaran di mana-mana. Sayang, karya-karya itu lebih memberi bobot politik daripada soal-soal kebudayaan dan intelektual.

Kenyataan itu tentu memprihatinkan dan tidak menguntungkan bagi NU karena akan menimbulkan kesan seolah NU, baik secara organisatoris maupun kultural, merupakan komunitas yang sepanjang sejarah kehidupannya selalu disibukkan oleh berbagai masalah politik dan mengabaikan aspek intelektual. Asumsi semacam ini tentu bertolak belakang dengan kenyataan bahwa NU, di mana ulama sebagai tulang punggungnya, mengemban misi sebagai jembatan penyambung khazanah intelektualisme Islam klasik.

Diversifikasi pengetahuan

NU mempunyai dasar-dasar dan kekayaan intelektual luar bisa yang senantiasa diwariskan dari generasi ke generasi berikut melalui lembaga pesantren. Kekayaan itu menjadikan NU amat apresiatif terhadap berbagai pemikiran lama meski oleh kalangan tertentu diklaim sebagai bidah dan khurafat.

Sayang, dalam waktu cukup lama, kekayaan intelektual yang dimiliki NU tidak mengalami perkembangan signifikan. Akibatnya, NU dengan berbagai tradisi dan lembaga pendidikannya (pesantren) hanya menjadi semacam ”dapur pengawet” ilmu-ilmu keislaman dan tidak ada upaya serius untuk merevitalisasi, apalagi melakukan transformasi terhadap khazanah itu. Hal ini bisa dipahami karena ulama NU umumnya mempunyai pengetahuan keagamaan yang hampir seragam, baik di bidang teologi, tasawuf, maupun fikih.

Sumber pengetahuan yang digunakan, baik dalam arti genealogi intelektual maupun kitab-kitab yang menjadi rujukan, juga dapat dikatakan sama sehingga belum terjadi apa yang disebut ”diversifikasi pengetahuan”. Namun, perkembangan kontemporer pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan fenomena menarik, terutama yang digalang kader-kader muda.

Mereka mempunyai gagasan-gagasan keagamaan progresif dalam merespons modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki setelah bersentuhan dengan pengetahuan baru dari berbagai khazanah modern. Mereka tidak hanya peduli dengan modernitas yang terus dikritik dan disikapi secara hati-hati, tetapi juga melakukan revitalisasi tradisi. Proses revitalisasi tradisi yang mereka lakukan tidak sekadar mengagung-agungkan dan menyakralkan tradisi, tetapi juga melakukan kritik secara mendalam atas tradisinya sendiri, baik yang terkait perilaku maupun pemikiran. Bahkan, sendi-sendi doktrinnya sendiri, ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah, tidak lepas dari sasaran kritisismenya.

Pikiran dan sikap mereka secara umum lebih responsif dibanding seniornya dalam menghadapi tantangan modernitas.

Gerakan progresif

Melihat kenyataan itu, masa depan intelektualisme NU, selain akan menampakkan wajah yang kian dinamis, juga akan diwarnai desakan yang semakin kuat dari pemegang struktur NU. Meskipun pemegang struktur NU tidak secara langsung melakukan kontrol atas pemikiran yang berkembang, para kiai yang selama ini dikenal berada dalam kubu konservatif akan selalu ”mengawasi” orang-orang yang dianggap ”membahayakan”.

Bila hal ini terjadi, komunitas NU yang mengembangkan pikiran-pikiran keislaman progresif akan kian menghadapi banyak kendala. Meski demikian, hal ini tidak akan sepenuhnya bisa mematikan gerakan progresif. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan antara kelompok progresif dan konservatif. Keduanya tidak boleh saling menafikan dan mematikan. Keseimbangan inilah yang akan menentukan masa depan NU dalam membangun peradaban.

Rumadi Peneliti The Wahid Institute; Staf Pengajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No comments:

A r s i p