Wednesday, February 6, 2008

Menjadi "Ghost Writer" Buku Pak Harto


AP PHOTO/FIRDIA LISNAWATI / Kompas Images
Soeharto, Presiden Indonesia periode 1967-1998, yang meninggal pada hari Minggu, 27 Januari 2008, dan dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah, keesokan harinya .
Rabu, 6 Februari 2008 | 01:47 WIB

Julius Pour

Suatu hari, sekitar awal Mei 2001, seorang sahabat saya tiba-tiba menghubungi. Dia mengajukan tawaran, apakah saya bersedia untuk menulis buku yang khusus akan diterbitkan dalam rangka merayakan ulang tahun ke-80 Pak Harto. Gagasan awal untuk menulis buku tersebut sebenarnya berasal dari salah seorang putri beliau, yang kemudian ternyata langsung disetujui semua saudaranya.

Terus terang, semula saya merasa agak bimbang menerima tawaran tersebut. Ingatan saya masih segar dengan pengalaman pahit sekitar lima tahun sebelumnya. Waktu itu seorang teman, anggota panitia sebuah lomba busana, mengajak saya datang ke Cendana untuk ikut menemui Ibu Tien Soeharto. Mereka perlu menghadap Ibu Negara, dalam rangka meminta restu berikut memohon kesediaan beliau untuk bertindak menjadi pelindung kegiatan termaksud.

Kami diterima di Cendana dan Ibu Tien menerima dengan sangat ramah. Sudah lama saya tidak berjumpa dengan beliau. Sewaktu saya sebutkan bahwa saya berasal dari Solo dan dulu sekolah di Taman Kanak-Kanak Tumenggungan serta sekolah dasar di Siswo Mangkunegaran, beliau semakin lepas dalam berbicara. Saya sengaja menyebutkan lokasi sekolahan tersebut karena sebagai kerabat Mangkunegaran saya tahu Ibu Tien pernah tinggal ikut orangtuanya di kompleks Tumenggungan.

Pancingan saya berhasil. Mungkin Ibu Tien menganggap diri saya sebagai kerabatnya sehingga beliau bebas berbicara dan mengeluh. Melihat rambut saya berantakan dia langsung mengkritik kebiasaan buruk anak laki-laki, menyisir rambut dengan tangan, dilanjutkan dengan nasihat dalam memilih busana. Bahkan, tanpa pernah saya duga, beliau mengungkapkan bahwa sebenarnya dia tidak setuju ketika putra-putrinya terjun dalam bisnis. ”Lha nanti kalau terjadi apa-apa, seperti misalnya membangun jembatan dan jalannya ambruk, apa mereka bisa melepaskan diri dari tanggung jawab?”

Tanpa menunggu jawaban, beliau malah langsung menambahkan, ”Saya sudah melarang. Tetapi, tahu sendiri kan anak-anak masa kini, mereka mungkin menganggap ibunya terlampau cerewet…”. Sebenarnya sebuah keluhan biasa, yang bisa dilakukan oleh setiap ibu, yang sedang risau dengan tingkah anak-anaknya. Meski dari sumber lain, saya mendengar bahwa secara kebetulan saat itu sedang berlangsung perang dingin antara beliau dan sebagian putra-putrinya.

Paginya, percakapan di Cendana tersebut saya tulis sebagai features dan dimuat di pojok kiri bawah edisi Sabtu Harian Kompas. Meski waktu itu saya anggota redaksi, terus terang saya tadinya kurang yakin bahwa Kompas akan bersedia memuat tulisan ringan sekitar Ibu Tien. Sebab pesona beliau terus terang sudah menyusut dan kritik yang disampaikan masyarakat terhadap keluarga Cendana sedang bertambah marak.

Benar saja, ketika tulisan tersebut dimuat, banyak kritik pedas ikut dilontarkan kepada diri saya. Dari para aktivis sampai teman-teman dekat, mulai dari ejekan mengapa tulisan semacam itu dimuat sampai kepada tuduhan menyakitkan hati, bahwa saya pasti telah menerima ”sesuatu” dari lingkungan Cendana.

Mendadak meninggal

Persis lima hari sesudah tulisan tersebut muncul di Kompas, dengan mendadak Ibu Tien Soeharto meninggal dunia, setelah siangnya bertamasya di Taman Buah Mekarsari. Berita meninggalnya Ibu Tien langsung saya dengar, meski pada saat itu saya sedang berada di Fremantle, Australia Barat. Bukan dari radio atau melihatnya dalam siaran televisi, melainkan dari telepon istri saya karena rumah kami sejak pagi hari tiba-tiba saja disambangi berbagai kesatuan ABRI, mulai petugas Bakin, Kodam Jaya, sampai Paspampres. ”…Mereka semua menanyakan, di mana kau simpan rekaman wawancara dengan Ibu Tien? Mereka ingin tahu, apa saja yang dikatakan Ibu Tien tetapi belum kamu tulis….”

Saya kaget, mengapa bisa demikian?

Terpaksa saya jelaskan, andaikan seluruh isi kamar diobrak-abrik dan dibongkar, rekaman tersebut tidak akan ditemukan karena tanpa sengaja terbawa ke Australia bersama alat perekamnya. Akhirnya istri saya berkata, ”Pulanglah hari ini juga. Sebab, hanya rekaman itu yang menyelamatkan rumah kita dari serbuan mereka….”

Baru keesokan harinya saya pulang karena hanya itu penerbangan paling cepat dari Perth ke Jakarta. Saya ingat, untuk pertama kalinya saya terbang dengan mendapatkan perlakuan khusus. Bukan sekadar di-up grade ke kelas eksekutif. Namun, begitu pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, saya dijemput di tangga pesawat oleh anggota Paspampres, yang dengan sigap langsung mengamankan kaset berisi rekaman wawancara Ibu Tien Soeharto. Ketika masuk ke terminal kedatangan, orang berkerumun di depan pesawat televisi, menyaksikan upacara pemakaman Ibu Tien di Astana Giribangun. Saya dengar penyiar TVRI Usi Karundeng asyik membacakan narasi dari features saya di Kompas, tanpa sekali pun dia menyebut nama penulisnya.

Pengalaman pahit

Pengalaman pahit akibat wawancara dengan Ibu Tien sebagaimana saya kemukakan di atas menyebabkan saya berpikir ulang ketika mendadak ditunjuk untuk menulis buku tentang Pak Harto. Akhirnya, sesudah didesak berulang kali dan dijanjikan nama saya tidak bakal dicantumkan, saya memutuskan setuju. Maka jadilah sebuah buku yang dicetak sangat mewah, terbit dalam edisi terbatas, berhiaskan sejumlah foto berikut teks yang mengisahkan seluruh perjalanan karier Pak Harto.

Saya tidak bertemu Pak Harto dan saya sudah nyaris lupa mengenai buku tersebut. Ketika beberapa minggu kemudian, sewaktu saya sedang asyik menikmati malam di Jalan Alor, Kawasan Bukit Bintang, Kuala Lumpur, Malaysia, tiba-tiba saja telepon genggam saya berbunyi. Saya agak malas menerima panggilan telepon tersebut karena pasti harus membayar bea roaming. Apalagi setelah melihat jarum jam sudah melewati angka sebelas. Namun, mendadak saya terkejut ketika terdengar suara dengan nada berat, tetapi sangat khas, ”Julius, saya senang membaca buku tulisanmu. Terima kasih….”

Saya tidak tahu dari mana Pak Harto bisa mengetahui nomor telepon seluler milik saya. Saya juga tidak pernah tahu, dari mana beliau mengetahui bahwa saya adalah ghost writer di balik buku peringatan ulang tahun beliau yang ke-80. Namun, bagaimanapun, saya kemudian merasa senang bahwa akhirnya beliau tahu, saya penulis buku termaksud. (Julius Pour, Wartawan dan Penulis Biografi)

1 comment:

fatah said...

You are a great writer Julius!

A r s i p