Thursday, February 28, 2008

Jika Ulama Memilih Jalur Politik


Oleh Mu'arif


Selasa, 26 Februari 2007
Akhir-akhir ini, fenomena keterlibatan kaum ulama ke dalam politik praktis (partai) mulai marak. Fenomena semacam ini jelas mengundang sejumlah kritik dan tanggapan. Jika ulama berpolitik praktis, apalagi sampai membentuk partai berbasis ulama, identitas dan fungsinya menjadi hilang. Sebab, yang namanya politik praktis selalu berorientasi kepada kekuasaan. Ulama yang masuk ke dalam partai politik, maka identitasnya sudah bukan lagi sebagai "tempat bertanya" (ahlu adz-dzikr) bagi umat. Fungsinya pun berubah menjadi "ulama partisan".
Kata ulama, dalam bahasa Arab, berasal dari kata 'alim (orang yang berilmu). Bentuk pluralnya (jamak) berubah menjadi kata 'ulama. Secara harfiah, kata ulama berarti "orang-orang yang berilmu." Di samping itu, kata 'alim juga sering digunakan untuk menyebut orang yang memiliki kapastitas keilmuan tertentu (Nurcholish Madjid, 1994: 96).
Peran ulama makin kentara pascawafat Nabi Muhammad saw. Bersamaan dengan wafat Nabi Saw, wahyu Tuhan terputus. Tetapi, kebenaran wahyu terus memancar di Bumi. Tidak pernah redup apalagi sirna. Sebab, Nabi saw telah mewasiatkan bahwa peran menyampaikan kebenaran Tuhan diteruskan oleh ulama. Dalam sebuah hadis menyatakan bahwa "Ulama adalah pewaris para nabi" (Al'ulama warasatul anbiya).
Konsep ulama, dalam tradisi Islam, berbeda dengan rahib (Yahudi). Jika dalam tradisi Yahudi, rahib memiliki institusi formal. Institusi kerahiban memiliki kekuatan politik tertentu, dan peran institusi kerahiban pun tidak netral. Tetapi, dalam tradisi Islam tidak mengenal konsep semacam itu. Ulama hanya berperan lewat proses penyadaran, bimbingan, dan peneguhan, tetapi tanpa melalui institusi keagamaan yang memborong seluruh kebenaran. Dalam catatan sejarah umat Islam, peran ulama melewati jalur-jalur kultural untuk melakukan proses penyadaran, bimbingan, dan peneguhan terhadap umat.
Memang selama ini terdapat penyempitan makna di kalangan umat Islam dalam memahami peran dan fungsi ulama. Peran dan fungsinya lebih dikonotasikan sebagai pakar atau ahli agama. Padahal sesungguhnya peran dan fungsi ulama lebih luas dari sekedar mengurusi persoalan-persoalan keagamaan. Peran dan fungsi ulama ialah sebagai tempat bertanya (ahlu adz-dzikr) bagi umat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi. Di sinilah ulama menjalankan fungsinya lewat proses penyadaran, bimbingan, dan peneguhan. Dalam posisi seperti ini, ulama harus netral dan menempatkan diri di tengah-tengah umat.
Dalam tradisi Islam di Indonesia, peran ulama sering dipadankan dengan "kiai". Secara harfiah, istilah kiai memang lebih tepat untuk menunjuk kepada seorang syaikh. Yaitu tokoh terhormat (status sosial) yang memiliki peran penting dalam sebuah masyarakat.
Akan tetapi, dalam konteks keindonesiaan, istilah kyai atau syaikh sepadan dengan ulama. Bahkan, peran ulama sudah menjelma menjadi "status sosial" sekaligus berfungsi sebagai "tempat bertanya" (ahlu adz-dzikr) untuk permasalahan-permasalahan keumatan. Dalam tradisi di pondok pesantren, peran kiai sebagai pemangku pondok sekaligus pendidik dan pembimbing umat merepresentasikan peran dari ulama sekaligus sebagai tokoh terhormat yang amat disegani.
Fenomena keterlibatan para ulama atau kiai ke dalam politik praktis tampak jelas sekali akhir-akhir ini. Kelahiran PKNU, misalnya. Sekalipun di kalangan NU sendiri partai ini masih menjadi polemik, tetapi beberapa ulama berpengaruh turut andil dalam membesarkan partai ini. Pertanyaannya kemudian, apakah ulama yang terlibat dalam politik praktis akan mampu menjalankan fungsinya atau malah larut dalam ingar-bingar kekuasaan?
Baru-baru ini, KH Abdul Muhaimin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Yogyakarta, lewat statement-nya menyesalkan keterlibatan para ulama dalam politik praktis ini. Menurut dia, jika sebuah partai lahir karena aspirasi rakyat, maka itu sudah wajar. Tetapi, kelahiran sebuah partai karena kekecewaan para ulama, maka itu menjadi tidak wajar. Apalagi perjuangan para ulama bukan lewat jalur politik praktis (Suara Muhammadiyah, 16-29/2/2008).
Dengan demikian, adalah sebuah tantangan berat bagi para ulama ketika memasuki dunia politik praktis (kekuasaan). Terdapat beberapa konsekuensi yang harus dipikul sekalipun secara terpaksa dan harus mengingkari hati nurani. Pertama, seorang ulama yang terlibat dalam politik praktis dikhawatirkan bakal memanfaatkan agama sebagai legitimasi politik. Yang demikian jelas cukup riskan bagi umat Islam sendiri.
Kedua, ulama harus tunduk kepada kebijakan partai. Inilah yang kemudian mengubah posisi seorang ulama dari sikap netral menjadi partisan. Ulama sudah bukan menjadi milik umat, tetapi milik partai politik tertentu.
Ketiga, dalam dunia politik terkait dengan prinsip-prinsip moral yang sering diabaikan. Kalkulasi-kalkulasi politik sering mengaburkan komitmen seseorang. Seorang ulama yang terlibat dalam politik praktis, komitmennya sering menjadi tidak jelas. Integritas-moralnya pun jadi buram.
Di samping itu, keterlibatan para ulama ke dalam politik praktis juga mencerminkan bahwa mereka telah kehilangan identitas dan jati diri. Sebab, para ulama yang terlibat di partai politik sudah menjadi milik partai, bukan milik umat secara keseluruhan. Identitas mereka pun sudah menjadi ulama partisan. Sementara jati diri ulama sebagai ahlu adz-dzikr bagi umat sudah hilang. Ulama yang terlibat politik praktis sudah tidak lagi melakukan proses penyadaran, bimbingan, dan peneguhan, tetapi malah melakukan pembodohan dan memecah-belah umat.
Oleh karena itu, benar pesan KH. Abdul Muhaimin. Kepada para ulama, ia berpesan agar tetap menjadi kekuatan moral yang konsisten. Sebab, dunia politik itu penuh dengan intrik, di samping memang dapat mendatangkan materi yang amat menggiurkan. Tetapi, peran dan fungsi keulamaan harus selalu netral agar umat tidak terpecah-belah.***
Penulis adalah Ketua Bidang Kader Dewan Pimpinan Wilayah
Partai Matahari Bangsa (PMB) DIY

1 comment:

Our Education said...

Maaf ya mas, setahu saya pendiri NU itu KH. Hasyim Asy'ari, bukan anaknya KH. Wahid Hasyim. Nah, kalau KH. Hasyim termasuk Panitia sembilan, yang ikut merumuskan dasar negara.

A r s i p