Friday, February 8, 2008

TAJUK RENCANA


Jumat, 8 Februari 2008 | 03:07 WIB

Respons terhadap Alam

Setelah berhari-hari memusatkan pemberitaan terhadap sakit dan wafatnya presiden kedua RI, media secara faktual dan komprehensif melaporkan banjir.

Banjir di ibu kota negara tahun ini luar biasa. Daya tarik semakin besar karena banjir kali ini melumpuhkan penerbangan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng. Jalan tol ke bandara itu juga terendam air bah dan menghambat perjalanan penumpang pesawat. Pada waktu yang sama, laporan banjir dan longsor dari sejumlah tempat di Tanah Air susul-menyusul. Alam sungguh semakin ganas perubahannya. Lagi-lagi kita diingatkan akan perubahan lingkungan hidup.

Masalah dan tantangan mendasar itulah yang ingin kita ingatkan bersama. Pemahaman, sikap, dan jawaban kita terhadap perubahan ekologis yang juga disebut pemanasan global itu menentukan perikehidupan kita bersama selanjutnya. Ambillah contoh sederhana jika dihadapkan pada jalan becek, kita akan mencari jalan melipir. Itu langkah pertama. Langkah berikutnya, kita akan dan harus memperbaiki jalan becek itu. Jalan yang terendam air ke bandara kita terobos dengan menggunakan perahu karet. Itu langkah darurat. Selanjutnya kita jawab dengan memperbaiki dan membangun kembali Jalan Tol Prof Sedyatmo itu. Bahkan harus masih ada tindak lanjutnya, yakni memelihara dan mengawasi lebih efektif kondisi jalan itu secara terus-menerus.

Pemahaman, sikap, dan jawaban terhadap bencana alam serta terhadap perubahan alam itulah gagasan sentral yang kita kemukakan. Suatu sikap yang mencakup, yang proaktif, dan yang berkelanjutan. Perubahan sikap itu semakin penting dan menentukan karena selama ini kita cenderung lekas melupakan pengalaman. Kita sibuk dan peduli ketika bencana tiba. Begitu bencana berlalu, kita kembali alpa. Hal ini termasuk persoalan yang menyangkut sikap serta karakter kita sebagai bangsa. Dari pengalaman bangsa-bangsa lain termasuk yang di sekitar kita, perubahan sikap itu juga menentukan kita akan lebih cepat melangkah sebagai bangsa yang maju atau terus terseok dan ketinggalan.

Melalui periode reformasi ini, sesungguhnya kita bangkit dan beranjak sebagai bangsa yang melakukan perubahan, pembaruan, dan kemajuan. Jangan kita biarkan reformasi merosot bermakna ”tong kosong berbunyi nyaring”. Jangan hanya bunyi slogan dan sebatas omongan dan wacana, tetapi benar-benar perubahan dan pembaruan sikap.

Siapa yang harus menggerakkan dan melaksanakannya? Pemerintah, memang. Namun, sesuai dengan prinsip, hak, dan kewajiban demokrasi, kita masyarakat juga harus ikut serta secara aktif. Organisasi kemasyarakatan, partai-partai politik yang adalah perangkat demokrasi, masyarakat madani. Badan dan lingkungan pendidikan pemerintah maupun swasta. Tak boleh ketinggalan para pelaku bisnis yang karena profesinya sangat harus melakukan inovasi jika tak mau surut dan mati. Masyarakat, rakyat banyak, kita ajak pula melakukan perubahan dan pembaruan sikap yang dituntut oleh perubahan alam dan yang memang merupakan kondisi yang harus ada untuk membangun bangsa yang maju dan sejahtera.

***

Mahalnya Ongkos Demokrasi

Gegap gempita pemungutan suara pada Selasa Utama, ”Super Tuesday”, di Amerika Serikat, telah memperlihatkan sisi biaya mahal kehidupan demokrasi.

Kandidat dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, misalnya dilaporkan harus meminjam 5 juta dollar AS atau sekitar Rp 45 miliar untuk tambahan dana kampanye. Sejauh dilaporkan, Hillary mengumpulkan dana kampanye 13,5 juta dollar AS bulan Januari lalu.

Posisi Hillary jauh di bawah Barack Obama, kandidat lain dari Partai Demokrat, yang mampu menghimpun 32 juta dollar AS. Angka jutaan dollar juga dikantongi para kandidat dari Partai Republik. Biaya diperkirakan akan terus bertambah. Semuanya memperlihatkan, demokrasi membutuhkan dana tidak sedikit.

Pemungutan suara pada Selasa Utama, ”Super Tuesday”, tentu saja memperlihatkan kegairahan besar kehidupan demokrasi. Delegasi Partai Demokrat dan Partai Republik di sejumlah negara bagian memberikan suara serempak pada hari Selasa sehingga hari itu dianggap super dan istimewa, untuk menentukan calon unggulan untuk pemilihan presiden mendatang.

Hasil pemungutan suara itu memperlihatkan Obama dan Hillary bersaing ketat. Sementara di kubu Partai Republik, kandidat John McCain dinyatakan unggul, menggalahkan calon lain.

Jalan menuju Gedung Putih masih jauh dan penuh tikungan bagi para calon presiden. Perjalanan itu membutuhkan topangan dana untuk transportasi dan rangkaian rapat. Jauh lebih besar lagi dana untuk iklan sebagai strategi menaikkan citra dan popularitas. Para calon ramai-ramai mengeluarkan dana untuk iklan di televisi, radio, dan media cetak.

Namun, pengeluaran uang dalam jumlah besar itu tetap dilakukan menurut aturan dan tuntutan transparansi untuk menghindari permainan kotor seperti politik uang. Asal-usul dan tujuan penggunaan uang diperlihatkan kepada publik.

Sekali lagi, kasus AS mempertegas bahwa demokrasi itu mahal. Bukan hanya para kandidat presiden yang mengeluarkan dana besar untuk kepentingan kampanye, tetapi juga negara sebagai penyelenggara dan penanggung jawab pemilu.

Biaya tinggi semacam itu dirasakan pula oleh Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang menggapai kehidupan demokrasi. Negara harus mengeluarkan triliunan rupiah untuk penyelenggaraan pemilu.

Hanya selalu menjadi pertanyaan, apakah biaya yang begitu tinggi akan memberikan hasil yang seimbang bagi pematangan kehidupan demokrasi dan perbaikan kehidupan secara keseluruhan, atau justru sebaliknya.

No comments:

A r s i p