Wednesday, February 6, 2008

Memaklumi Soeharto Versi Retnowati


Rabu, 6 Februari 2008 | 01:47 WIB

ARYA GUNAWAN

Kendati Soeharto telah berpulang hari Minggu, 27 Januari 2008, dan jasadnya telah dikuburkan sehari kemudian, kenangan tentang dirinya tidak akan pernah terkubur, karena dua alasan. Pertama, Soeharto seorang tokoh dengan pengaruh yang sangat besar dengan kontroversi yang juga besar di seputar dirinya. Kedua, karena begitu banyak catatan, termasuk buku yang telah ditulis orang tentang dirinya, sehingga namanya menjadi abadi (immortal).

Soeharto akan dikenang dengan cara yang berbeda, sebagaimana yang mewujud dalam buku-buku yang bercerita tentang dirinya. Buku yang kontra terhadapnya tentu akan mendedahkan diri Soeharto dengan cara yang kritis. Sedangkan buku yang pro terhadapnya tentu akan memberikan dukungan, mengglorifikasi, mencari pembenaran atas berbagai sepak terjangnya, ataupun membujuk para pembaca agar memberikan permaafan kepada sang jenderal bintang lima itu.

Buku Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia’s Second President (An Authorised Biography), yang ditulis Retnowati Abdulgani-Knapp, bisa dimasukkan ke dalam kelompok yang kedua tadi. Buku karangan putri mantan Menteri Luar Negeri di jaman Presiden Soekarno, Roeslan Abdulgani ini, menambah deretan buku tentang Soeharto yang hadir lebih dahulu, antara lain Anak Desa (karya OG Roeder, 1972), Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (karya Ramadhan KH dan G Dwipayana, 1989), serta yang dianggap cukup lengkap menyoroti sepak terjang politik almarhum sang jenderal bintang lima itu, yaitu Suharto, A Political Biography (RE Elson, 2001).

Pembelaan

Tampilan buku ini sudah menyiratkan dugaan bahwa isinya akan memberikan permakluman terhadap Soeharto. Di judul buku tercantum istilah ”an authorized”, menunjukkan sang penulis mendapatkan izin dari Soeharto. Ini membuat seorang pembaca kritis akan mengambil ancang-ancang untuk bersikap lebih kritis, sebab hampir mustahil biografi yang diotorisasi seperti ini bisa memuat kritik yang sangat tajam. Kutipan yang dicantumkan di kulit bagian dalam buku ini juga sudah bisa menjadi petunjuk awal ke mana kira-kira buku ini akan mengarah. Kutipan itu berasal dari ucapan Richard Webb, diplomat Inggris yang bertugas di Indonesia pada 1999-2001, berbunyi: ”...sadly, it was his children’s greed that precipitated his downfall, but he has left a tremendous legacy for Indonesia and his people”.

Ada lima bab di buku ini. Di bab pertama, penulis mengisahkan kehidupan Soeharto sejak dilahirkan, hingga meraih jabatan puncak. Di bab kedua, penulis memaparkan upaya pembangunan Soeharto, dengan strategi buka-pintu bagi bantuan, pinjaman, dan investasi asing, pembentukan tim ekonomi yang mendapat julukan ”mafia Berkeley”, penyusunan dan penerapan kebijakan ekonomi yang berpusat pada pertanian, pelaksanaan program-program sosial seperti Keluarga Berencana, pembentukan yayasan-yayasan yang—menurut sang penulis—dilandasi niat membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat namun menggunakan jalur yang nonnegara.

Jika di dua bab pertama tak banyak fakta baru yang disajikan penulis, pada tiga bab berikutnya penulis sebetulnya bisa menyuguhkan sebuah cakrawala yang belum banyak diketahui orang, terutama mengingat ”akses” yang baik terhadap subyeknya. Namun, peluang ini jadi mubazir karena posisi yang diambil penulis dalam memberikan pembenaran terhadap sejumlah hal yang selama ini menjadi sumber kontroversi di seputar diri Soeharto. Agaknya sikap penulis untuk tampil sebagai ”pembela” Soeharto antara lain dipicu oleh pesan sang ayah yang ingin agar penulis meletakkan posisi Soeharto selaku seorang bekas pemimpin bangsa ini pada konteks yang tepat, karena bagaimanapun Soeharto memiliki jasa yang tidak kecil. Di samping itu, ada pula ”motif pribadi” penulis, karena Soeharto sedikit banyak telah berjasa mempertemukan sang penulis dengan Hubert Knapp, pria Belanda yang kini menjadi suaminya. Kalau tidak karena Soeharto, Hubert mungkin tidak akan pernah berkunjung ke Indonesia dan karena itu tidak akan pernah berjumpa dengan sang penulis, sebagaimana tertera di bagian ucapan terima kasih di awal buku, ”...Hubert is right: without President Soeharto in the country’s driving seat, he might never have come to Indonesia for his work assignment and we would never have met” (Hubert benar: tanpa Presiden Soeharto duduk di kursi pengendali Indonesia, dia boleh jadi tak akan pernah datang ke Indonesia untuk pekerjaannya dan kami tidak akan pernah bertemu).

Sang penulis juga mengajukan permohonan agar berbagai kesalahan Soeharto dapat dimaafkan, misalnya saja yang terdapat dalam bab penutup, Reflections. Namun, di mata para pembaca yang obyektif dan kritis, upaya permohonan tadi terasa kurang dilengkapi argumentasi yang kuat dan masuk akal. Sang penulis juga melakukan seleksi lumayan ketat terhadap fakta. Hanya fakta yang bisa dijawab dengan memuaskan saja yang dihadirkan, dengan maksud untuk mengubah persepsi pembaca mengenai hal-hal kontroversial pada diri Soeharto. Misalnya, penulis menyajikan soal tuduhan korupsi berkaitan dengan penyelundupan gula yang dilakukan Soeharto saat menjabat sebagai Pangdam Diponegoro tahun 1959. Kejadian ini yang membuat Soeharto dicopot sebagai Pangdam oleh Nasution yang ketika itu menjabat sebagai KSAD. Soeharto kemudian dikirim ke Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung. Penulis kemudian menyediakan jawabannya: saat di Bandung itulah Gatot Soebroto (ketika itu menjabat sebagai Wakil Kasad) melakukan pemeriksaan ulang terhadap kasus ini, dan ternyata tuduhan korupsi yang ditimpakan kepada Soeharto itu tak terbukti sama sekali.

Pola yang mirip ini terlihat pula pada isu-isu lain, seperti kegiatan bisnis anak-anak Soeharto, yang menurut penulis bukanlah kesalahan Soeharto sepenuhnya, melainkan karena Soeharto tak mampu mengawasi dan mengendalikannya lantaran berbagai kesibukannya menjalankan tugas sebagai presiden, sedangkan di saat yang sama istrinya juga disibukkan dengan berbagai kegiatan sosial sehingga sama seperti Soeharto, tak dapat mengawasi sepak terjang anak-anak mereka.

Naif

Lalu mengenai kontroversi di seputar berbagai yayasan yang dibentuk Soeharto. Untuk menjawab ini, penulis menyediakan satu bab khusus. Namun, upayanya untuk membuktikan bahwa tak ada yang salah dengan yayasan-yayasan tersebut, terkesan naif. Penulis mendapatkan data bahwa yayasan-yayasan tersebut membayar pajak dan memiliki aliran dana yang tercatat jelas untuk kepentingan orang banyak, sehingga penulis menyimpulkan bahwa tiada yang salah dengan keberadaan dan praktik dari yayasan-yayasan tersebut. Salah satu temuan penulis adalah bahwa lebih dari 950 masjid sudah dibangun, ribuan anak yatim disantuni, dan ribuan mahasiswa menerima beasiswa dengan dana dari yayasan-yayasan tadi. Jawaban ini tentu tidak sejalan dengan fakta gugatan perdata dari pemerintah yang menuduh yayasan-yayasan tersebut menyalahgunakan dananya.

Kesimpulan yang mirip naifnya terlihat juga saat Retnowati bercerita mengenai ajakan yang diterimanya dari Soeharto untuk berkunjung ke Istana Kalitan di Solo (hal 323). Penulis melukiskan rasa kecewanya karena apa yang dijumpainya di sana tak sesuai dengan kabar burung yang selama ini didengarnya, bahwa Kalitan mirip istana-istana di Eropa: memiliki pintu dan jendela dengan kusen bersepuh emas, lampu-lampu kristal yang diimpor dari Praha menggantung di langit-langit, dengan galeri yang menyimpan lukisan berharga jutaan dollar. Namun kenyataannya, istana tersebut jauh dari kemewahan versi kabar-burung tadi.

Pada halaman sesudahnya (hal 324), penulis menggambarkan bahwa dia tidur di kamar yang biasanya ditempati oleh Tommy Soeharto. Saat terbangun, Soeharto bertanya kepadanya apakah tidurnya nyenyak. Penulis menjawab, ”No, because I was busy looking for the gold hidden under Tommy's bed the whole night. We had a good laugh and I was, in fact, relieved that there was no proof of the gold…” (Tidak, karena sepanjang malam saya sibuk mencari-cari emas yang disembunyikan di bawah ranjang Tommy. Kami berdua tertawa renyah, dan saya merasa lega karena cerita mengenai emas itu ternyata tidak terbukti…).

Ada sejumlah kontroversi lain yang sebetulnya melingkupi sosok Soeharto, yang oleh penulis tidak disinggung sama sekali, atau hanya disinggung sambil lalu. Misalnya saja rincian Supersemar, tuduhan kaitan Soeharto dengan gerakan G30S/PKI (sang penulis hanya menyodorkan fakta yang sudah diketahui luas bahwa Soeharto pada malam terjadinya penculikan terhadap para jenderal tengah menjaga Tommy yang dirawat di rumah sakit karena tersiram air panas), bahkan juga soal yayasan yang tak ditelisik lebih jauh dan lebih kritis oleh si penulis. Tak ada juga rincian mengenai berbagai tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi saat Soeharto berkuasa, seperti di Aceh, Timor Timur, Kedungombo, Nipah, Talangsari, Tanjung Priok, hingga ke kebijakan penembak misterius (petrus), pengekangan terhadap gerakan Islam juga pengekangan media massa.

Perlu kejelasan lebih jauh

Ada beberapa hal yang perlu penjelasan lebih jauh di buku ini. Misalnya saja, bagaimana riwayat ditulisnya buku ini? Di halaman 241 disebutkan bahwa sang penulis mendapatkan persetujuan dari Soeharto, 8 Juni 2005, saat penulis berkunjung dengan ayahnya untuk mengucapkan selamat ulang tahun ke-84 kepada Soeharto. Pada saat itulah Soeharto setuju bahwa Retnowati perlu menulis buku ini, terutama untuk menjernihkan konsep di balik pendirian sejumlah yayasan yang dibangunnya. Tampaknya Soeharto berhasil diyakinkan oleh kata-kata terakhir Roeslan Abdulgani, ayah Retnowati, ”Mas Harto, biarlah anak saya menulis buku ini bagi generasi muda Indonesia sehingga mereka akan mamahami sejarah kita dari sudut pandang kita.”

Namun, kelihatannya penulis telah menyiapkan buku ini, sebelum mendapatkan persetujuan langsung dari Soeharto, seperti terlihat di halaman 275. Di halaman itu tertulis si penulis mengunjungi Museum Purna Bhakti Pertiwi pada Desember 2004, sebagai salah satu sumber risetnya untuk menyusun buku ini, enam bulan sebelum dia mendapatkan persetujuan dari Soeharto.

Hal lain adalah mengenai seberapa dekat atau seberapa berjarak sebetulnya hubungan Roeslan Abdulgani dengan Soeharto. Pada halaman 293, di bawah subjudul Friendships, penulis seakan enggan jika sosok Roeslan dianggap dekat dengan sosok Soeharto. Menurut sang penulis, ayahnya tak bisa dekat dengan Soeharto karena ayahnya dianggap sebagai kroni dan loyalis Soekarno. Bahkan, saat Roeslan dipercaya Soeharto menjadi ketua tim yang menjadi penasihat Soeharto dalam penerapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Namun, anehnya, di kulit belakang bagian dalam dari buku ini pembaca bisa menemukan kalimat, ”Her father, Indonesian statesman Roeslan Abdulgani, had a close, personal dan professional relationship with President Soeharto”.

Kedekatan dengan sang ayah, yang juga berakibat pada kedekatan dengan Soeharto, membuat sang penulis memiliki posisi yang dilematis: di satu pihak dia kelihatan ingin dekat untuk meyakinkan bahwa dia mendapatkan bahan dan data kelas satu. Namun, di lain pihak, penulis ingin terlihat berjarak supaya bisa mengurangi kecurigaan pembaca mengenai motif penulisan buku ini. Di berbagai bagian buku ini, dan terutama sekali di bab terakhir Reflections, sang penulis memohon secara langsung, agar Soeharto bisa diterima dan diakui sumbangsihnya. Sebuah permohonan yang akan sulit diterima pembaca kritis, termasuk sejumlah pihak masih menyuarakan tuntutan agar Soeharto tidak dimaafkan secara otomatis, melainkan harus melewati proses pengadilan terlebih dulu. Kepergian Soeharto mungkin mengubah peta persoalan, dengan arah perkembangan yang ditunggu oleh banyak orang.

Serahkan pada sejarah

Sejarah mengajarkan sering kali seorang pemimpin akan menanggungkan beban dari apa yang ditorehkannya di masa akhir kekuasaannya. Misalnya saja, sumbangsih besar Soekarno tersaput bayang-bayang krisis kepemimpinan dan krisis politik yang harus dialami Indonesia di pengujung kekuasaannya. Contoh yang lebih mutakhir adalah Tonny Blair, mantan Perdana Menteri Inggris. Sepanjang satu dekade Blair menjalankan roda pemerintahan Inggris, Inggris mengalami kemajuan yang mengagumkan. Namun, di sepertiga bagian ujung kariernya, yakni sejak Inggris ikut terlibat dalam Perang Irak 2003, Blair harus menanggungkan akibat pilihan kebijakannya mendukung Presiden Bush. Dalam kaitan dengan biografi Soeharto ini, akan lebih bijak jika Retnowati selaku penulis menggunakan pendekatan yang tidak memohon, melainkan menyerahkan kepada pembaca untuk memberikan putusan. Cara ini dilakukan oleh, misalnya, Philip Short dalam Mao, A Life (1999), biografi mengenai pemimpin China, Mao Tse Tung (1893-1976). Pada bab terakhir yang berjudul Epilogue sang penulis terhindar dari kesan meminta pembaca untuk memahami sosok Mao. ”Mao ruled for twenty-seven years. If the past, as he believed, is indeed a mirror for the present, will the twenty-first century mark the start of a third Chinese golden age, for which Maoist dictatorship will have opened the way? Or will it be his fate to be remembered as a flawed colossus, who brought fundamental change on a scale that only a handful of others had managed in all the years of China's history, but then failed to follow through?” (hal 633). Di halaman berikutnya dia menulis, ”History is laid down slowly in China. A final verdict on Mao’s place in the annals of his country’s past is still a very long way off”.

Penilaian terhadap Soeharto seharusnyalah diserahkan kepada sejarah. Tentu saja sebuah sejarah yang ditorehkan oleh semua pihak, baik para pendukungnya maupun mereka yang kontra terhadapnya. Wacana ini agaknya akan terus bergulir, hingga jauh setelah jasad Soeharto dibaringkan di liang lahat. (Arya Gunawan Penulis)

No comments:

A r s i p