Saturday, February 2, 2008

Politik NU dan Pragmatisme Parpol


Sabtu, 2 Februari 2008 | 07:48 WIB

Ali Masykur Musa

Dalam menggambarkan gugusan pranata sosial dan kultural masyarakat Indonesia, Nahdlatul Ulama adalah representasi paling otentik.

NU tidak pernah menyertakan simbol Islam untuk diusung sebagai fondasi kebangsaan. Sebaliknya, NU adalah entitas yang setia mengawal dan menjaga dimensi pluralitas bangsa. Sejak perjuangan kemerdekaan, NU di garda depan mengusir penjajah. Para kiai dan santri adalah amunisi dan martir paling setia yang ditakuti penjajah.

Saat kemerdekaan Indonesia masih seumur jagung, NU ikut menyokong para pendiri bangsa melanjutkan kebijakan menyatukan bangsa melalui resolusi jihad dari Kiai Hasyim Asy’ari. NU pula yang hingga kini konsisten mengedepankan platform kebangsaan negara Pancasila.

Pada saat sama, nilai kultur, adat, dan corak budaya nusantara seolah tak pernah bersitegang dengan cara pandang keagamaan NU. Justru NU-lah yang mampu membuat garis dialogis antara kultur lokal dan nilai Islam hingga jadilah ijtihad dalam manhaj (metode) mainstream pemahaman Islam Indonesia.

Politik kebangsaan NU

Di usia ke-82, NU telah mengalami serangkaian fluktuasi. Sumbangsih NU di berbagai bidang kemasyarakatan belum mampu memosisikannya sebagai bagian terpenting pusaran regulasi bangsa. Posisi ini tidak menjadikan NU melemah. Sebaliknya, ia mampu bersinergi dengan kekuasaan sebagai oposan, kritis atas kebijakan yang dianggap tidak menguntungkan rakyat.

Corak politik NU adalah kebangsaan yang rahmatan lil alamin, tidak berambisi berkontestasi meraih kekuasaan, tetapi secara arif bersenyawa dengan ”wong cilik”dan memberi pelajaran politik moral kebangsaan. Itulah pesan politik NU ”kembali ke khitah 1926”. Maka, NU selalu memosisikan diri sebagai pembela kaum lemah, melampaui demarkasi agama. Mengapa NU konsisten di garis ini?

Pertama, NU meyakini adanya persaudaraan (al ukhwah) universal. Sebagaimana sunnah rasul, ada tiga kategori persaudaraan yang hingga kini menjadi nadi perjalanan NU, yaitu ukhwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia), ukhwah wathaniyah (persaudaraan antarbangsa), dan ukhwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim).

Kedua, adanya semangat tasamuh (toleransi). Sistem sosial dan kultur bangsa Indonesia sebenarnya masih rapuh. Disintegrasi bangsa sering menyedot perhatian. Pertikaian antarsuku, perselisihan pusat-daerah mencuat di tengah jargon persatuan. Dalam kondisi seperti ini, NU menjadi pelopor kembalinya bangsa kepada NKRI.

Ketiga, tawasuth (jalan tengah) yang merupakan kelanjutan semangat toleransi dan berperan sebagai mediasi. Bahwa serangkaian rekonsiliasi yang dilakukan di daerah konflik senantiasa diputuskan dengan jalan tengah.

NU mengakomodasi beragam kepentingan yang berselisih, lalu berikhtiar mencari resolusi paling sesuai. Aspek proporsionalitas menjadi bagian tak terpisahkan semangat ini dan sesuai perintah rasul, bahwa Islam harus bisa menjadi ummatan wasathan. Dengan sikap tawasuth, NU menghindari adanya ekstremitas (tathoruf) antarpaham yang serba kanan di mana melahirkan sikap fundamentalisme Islam dan dengan permisivitas kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran. Karena itu, NU menganjurkan kesalehan individual dan sosial.

Keempat, tawazun (seimbang). Dalam mengambil beragam keputusan, NU selalu mendasarkan pada syura (musyawarah). Konsep ini mempertimbangkan aspek-aspek keseimbangan dan kemaslahatan bersama (al mashalih al mursalah). Jika ada selisih pendapat, yang harus dikedepankan adalah al mujadalah bi allati hiya ahsan (perdebatan rasional yang diorientasikan untuk kebaikan). Maka, meski sering diguncang fitnah dan masalah, keutuhan dan solidaritas kultural maupun struktural NU amat terjaga.

Dilema NU dan PKB

Pada Pemilu 1999, muncul PKB sebagai kekuatan partai politik yang membawa aspirasi warga nahdliyyin. Ini membuktikan hubungan timbal balik NU dan PKB. Selain menjadi inisiatif demi tersalurkannya aspirasi warga nahdliyyin, PKB dianggap—menurut Gus Dur—”kembali ke rumah sendiri”.

Lalu, bagaimana posisi NU dan PKB? Pertama, kembalinya NU ke khitah tidak lantas dimaknai sebagai ”tidak berpolitik”. NU tetap berpolitik dengan karakternya sendiri, yaitu politik kebangsaan. Kehadiran PKB justru menambah ketajaman karakter kebangsaan di parlemen.

Kedua, perlu penataan wilayah pengabdian secara sinergi dan proporsional. PKB menyuarakan aspirasi warga NU ke wilayah kebijakan publik dan NU membenahi kultur masyarakat dan menyuarakan aspirasi mereka melalui PKB.

Ketiga, politik NU dan PKB tidak harus sama sebangun. NU bertugas mengemban amanat kebangsaan sekaligus melakukan kritik kepada birokrasi melalui PKB. Sementara PKB mengusung amanat itu menjadi kebijakan publik. Jadi, ada keterkaitan antara NU dan PKB, baik keterkaitan ideologis, historis, kultur, maupun aspiratif.

Dengan reposisi seperti itu, disadari atau tidak, PKB membutuhkan sentuhan tangan NU untuk memperkokoh pluralisme. Hal itu dilakukan agar tidak ada trial and error. Artinya, tidak lagi dimunculkan faksi baru di tengah fragmentasi warga NU.

Akhirnya, sinergi NU-PKB diharapkan akan melahirkan politik kebangsaan yang dibutuhkan oleh pluralitas bangsa.

Ali Masykur Musa Wakil Ketua Umum DPP PKB; Anggota DPR

No comments:

A r s i p