Saturday, February 23, 2008

Kekerasan terhadap Fungsi Pers


Sabtu, 23 Februari 2008 | 02:12 WIB

Oleh Leo Batubara

Persoalan yang dihadapi wartawan dalam melaksanakan profesinya adalah kesenjangan antara apa yang diamanatkan dan apa yang terjadi dalam praktik.

Dalam acara puncak Hari Pers Nasional 2008 di kompleks kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang (9/2/2008), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, ”Terima kasih kepada insan pers yang telah memberi dukungan kritis terhadap pemerintah. Kalau saya harus memilih antara pers yang bebas dan pers yang dikontrol atau dipasung, saya pilih yang bebas.”

Baru delapan hari setelah amanat itu disiarkan, wartawan Pos Kupang, NTT—Yacobus Lewanmeru (Obby)—yang bertugas di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, dianiaya empat laki-laki (17/2). Bibir Obby luka parah, beberapa bagian tubuh dan kepala memar terkena pukulan. Keempat penganiaya ditahan untuk penyidikan.

Menurut Kepala Bagian Operasional Polres Manggarai Barat Ajun Komisaris Victor Jemada, kasus itu diduga dendam pribadi. Sementara dalam suratnya ke Kepala Polres Manggarai Barat, Pos Kupang meminta Polres mengungkap motif penganiayaan, termasuk pihak-pihak yang ”mungkin” menjadi otak penganiayaan dan pengeroyokan karena amat mungkin, peristiwa itu terkait kegiatan jurnalistik Obby.

Kemungkinan itu ada nalarnya karena berdasar dugaan beberapa pihak di Labuan Bajo, kasus penganiayaan terhadap Obby terkait pemberitaan dugaan korupsi proyek singkong senilai Rp 2,8 miliar. Sejak awal Februari, Pos Kupang gencar memberitakan proyek yang diduga fiktif itu. Dugaan penyimpangan proyek singkong itu dilaporkan oleh DPRD Manggarai Barat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta (Kompas, 18/2).

453 tindak kekerasan

Penganiayaan terhadap Obby mengingatkan kita akan nasib wartawan harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Ia tewas dianiaya orang tak dikenal (16/8/1996). Sebelumnya ia menulis terjadinya penyogokan dalam pemilihan Bupati Bantul. Tim Pencari Fakta PWI berpendapat, pembunuhan itu terkait kegiatan jurnalistik Udin. Namun, penegak hukum berkilah, kematian Udin tidak terkait pekerjaan pers.

Di era pemerintahan Orde Baru, saat tidak ada kebebasan pers, dapat dimengerti pengungkapan keterkaitan tewasnya Udin dengan pemberitaan tentang dugaan KKN dalam pemilihan Bupati Bantul sulit dilakukan. Namun, saat Presiden SBY menegaskan komitmennya tentang kebebasan pers dan apresiasinya terhadap kritik pers, tidakkah kebijakan itu menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum di NTT untuk fokus mengungkap siapa otak penganiayaan terhadap Obby?

Penderitaan wartawan dalam pekerjaan profesinya belum berakhir. UU Pers (No 40/1999) sebenarnya memberi perlindungan. Pasal 8 menyebutkan, ”Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.” Pasal 18 Ayat 1 mengamanatkan, ”Setiap orang yang menghambat pelaksanaan kegiatan jurnalistik dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.”

Kenyataannya, kekerasan terhadap pers dan wartawan terus berlanjut. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melaporkan, dari Mei 1999 sampai 2007 terdapat 453 tindak kekerasan terhadap pers dan wartawan. Pada tahun 2004 tercatat 27 kasus, 2005 (43), 2006 (53), dan 2007 (42). Pelaku kekerasan hingga 2005, 42,4 persen oleh polisi, aparat pemerintah, TNI, parlemen, jaksa, dan 39,7 persen oleh massa.

Banyaknya tindak kekerasan terhadap wartawan dan pers, selain puluhan diancam atau divonis masuk penjara atau diancam denda miliaran sampai triliunan rupiah. Ini memperburuk peringkat kemerdekaan pers Indonesia. (lihat tabel)

Sinar terang

Presiden SBY di Semarang lebih lanjut mengamanatkan, ”Ada pelajaran yang amat berharga, ketika di satu era di negeri ini, insan pers merasa sangat sakit karena kekuasaan politik pers dibredel, ditahan, dipenjarakan tanpa proses hukum. Penderitaan itu barangkali tidak terbayangkan. Menjadi catatan sejarah dan Tuhan Maha Besar, bangsa ini sadar itu tidak sepatutnya terus terjadi di negeri kita ini.”

Amanat itu adalah perintah Presiden kepada jajaran polisi dan kepala daerah di seluruh Indonesia, termasuk NTT, agar tindakan kekerasan terhadap pers dan wartawan tidak lagi terjadi dan polisi memberi perlindungan hukum terhadap pers.

Jika penegak hukum masih melakukan pembiaran tindak kekerasan terhadap wartawan dan pers, dan memberi perlindungan terhadap pejabat yang diberitakan pers sebagai bermasalah, fungsi kontrol sosial pers menjadi tidak efektif. Rakyat akan terus menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara.

Leo Batubara Wakil Ketua Dewan Pers

No comments:

A r s i p