Monday, February 25, 2008

Parlemen-MPR dan Parlemen-Legislatif




Senin, 25 Februari 2008 | 01:21 WIB

Mohammad Fajrul Falaakh

Kepada Pansus RUU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pimpinan MPR menyampaikan usulan resmi tentang pimpinan MPR permanen yang hanya terdiri atas seorang ketua dan dua wakil ketua (Kompas, 14/2/2008). Pimpinan MPR mengusung gagasan sendiri, bukan dari sidang MPR dan bukan wewenang MPR untuk mengusulkan perubahan legislasi.

UUD 1945 tidak cukup tegas menyamakan MPR dan DPR praamandemen konstitusi, maupun MPR, DPR, dan DPD pascaamandemen, sebagai parlemen dengan perbedaan kedudukan dan fungsi masing-masing. Keberadaan pimpinan MPR, pimpinan DPR, dan pimpinan DPD bahkan mengaburkan pemahaman tentang satu parlemen di Indonesia.

Tulisan ini menjernihkannya dengan membahas dua fungsi parlemen, parlemen bernama MPR (parliament-assembly) dan parlemen-legislatif (parliament-legislature) yang terdiri atas DPR dan DPD.

Parlemen-MPR

”MPR baru” merupakan pelembagaan fungsi khusus parlemen yang keanggotaannya bersumber ganda, yaitu utusan partai politik di DPR dan utusan daerah di DPD yang semuanya dipilih (amandemen konstitusi membersihkan anggota yang diangkat, yaitu utusan golongan, termasuk militer dan kepolisian). Parlemen-MPR merupakan representasi rakyat dan melaksanakan kedaulatan rakyat.

MPR melantik, tepatnya menyaksikan pelantikan, presiden-wapres yang sudah dipilih langsung oleh rakyat, melantik wapres sebagai presiden saat presiden berhalangan tetap, atau menetapkan mendagri, menhan, dan menlu sebagai pelaksana kepresidenan saat presiden-wapres berhalangan tetap secara bersamaan.

MPR berperan sebagai kelompok pemilih untuk mengisi lowongan jabatan kepresidenan karena presiden dan atau wapres berhalangan tetap.

MPR berfungsi sebagai majelis konstitusi karena berwenang mengubah dan menetapkan konstitusi. MPR juga merupakan majelis pemakzulan presiden/wapres (seperti Kongres Amerika Serikat), dalam hal diusulkan oleh DPR. Usul DPR bermakna undangan bersidang kepada semua anggota MPR untuk memberhentikan presiden/wapres.

Alasan pemakzulan telah mengubah fungsi MPR dalam pemerintahan parlementer menjadi MPR dalam sistem presidensial, yaitu jika presiden/wapres terbukti melanggar hukum, melakukan perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat jabatannya.

Meski terdiri atas anggota DPR dan DPD, ”MPR baru” bukan merupakan hubungan DPR-DPD, DPD-MPR, maupun DPR-MPR. UUD 1945 tidak mengatur kerja bersama MPR, DPR, dan DPD untuk menghasilkan produk hukum atau keputusan politik. Pelaksanaan fungsi parlemen-MPR merupakan persidangan khusus (special sessions) untuk tujuan tertentu (ad hoc), bukan fungsi rutin legislatif (ad interim).

Parlemen-MPR bersifat independen, berdiri sendiri, dan permanen. Namun, pelaksanaan fungsi MPR memberhentikan fungsi rutin lembaga legislatif karena persamaan keanggotaan MPR dengan DPR-DPD.

Parlemen-legislatif

Parlemen Indonesia juga terdiri atas DPR dan DPD. Anggota parlemen-legislatif bikameral ini berhubungan secara berkelompok dan melembaga. Parlemen ini berdiri sendiri, independen, permanen, dan ”sehari-hari” melaksanakan fungsinya (bukan ad interim maupun ad hoc). Namun, postur, wewenang, ranah kekuasaan masing-masing, dan pola hubungan keduanya amat timpang (asymmetric).

Anggota DPR dipilih melalui pemilu yang pesertanya adalah partai-partai politik (sistem proporsional). Anggota DPD dipilih di setiap provinsi melalui pemilu yang diikuti peserta perorangan (sistem distrik dengan keanggotaan majemuk).

UU Susduk mematok jumlah anggota DPD kurang dari sepertiga jumlah anggota DPR saat ini tidak tercapai sehingga kekompakannya tidak akan mendorong amandemen konstitusi.

DPD hanya membahas bersama DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

DPD hanya memberi pertimbangan kepada DPR atas Rancangan APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Peran DPD dalam fungsi penganggaran tampak sangat terbatas.

Ketimpangan makin mencolok karena presiden dilibatkan sebagai pembahas dan pengambil keputusan bersama DPR, sedangkan DPD dipinggirkan (Pasal 20 Ayat 2 UUD 1945).

Pola hubungan ini boleh disebut tipe hibrida, yaitu proses legislasi tiga kamar (three-chamber legislative process) yang pengambilan keputusannya di tangan DPR dan presiden (president-executive in parliament). Pola legislasi parlementer yang ganjil ini dimungkinkan karena amandemen konstitusi tidak menegaskan bahwa ”kekuasaan legislatif” dilaksanakan bersama oleh DPR dan DPD.

Bukan komandan

Jelas bahwa pelaksanaan fungsi parlemen-MPR memberhentikan fungsi rutin parlemen-legislatif, dan sebaliknya, sehingga semua fungsi parlemen dapat dilayani oleh sebuah birokrasi parlemen yang andal. Parlemen Indonesia tidak memerlukan tiga sekretariat jenderal (setjen) dan tiga kepemimpinan seperti sekarang.

Tiga kepemimpinan itu bahkan tidak diperlukan dalam tanggung jawab pengelolaan keuangan parlemen karena tanggung jawab pengelolaan keuangan negara sudah langsung (by law) dilaksanakan setjen. Anggota parlemen bukan bawahan presiden, kepala pemerintahan pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan negara.

Secara fungsional, kepemimpinan di parlemen dibutuhkan dalam sidang paripurna, komisi, dan lainnya, baik pada parlemen-MPR maupun parlemen-legislatif, yang ditundukkan kepada konfigurasi politik parlemen. Tetapi, kepemimpinan parlemen yang hierarkis bersitegang dengan prinsip kesetaraan suara anggota. Pendapat pimpinan tak menghapus pendapat anggota, apalagi hasil sidang paripurna.

Komandan parlemen dalam demokrasi bukanlah pimpinan parlemen, tetapi konsensus politik (hikmat kebijaksanaan) atau suara terbanyak dalam permusyawaratan/perwakilan.

Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas Hukum UGM

No comments:

A r s i p