Monday, February 11, 2008

Jalan Panjang Reformasi TNI


Senin, 11 Februari 2008 | 02:53 WIB

Edy Prasetyono

Akhir-akhir ini beberapa kalangan menyoroti reformasi TNI yang dinilai kian melemah.

Salah satu argumen untuk mendukung penilaian ini adalah kasus penunjukan pejabat sementara gubernur Sulawesi Selatan yang berasal dari militer, pernyataan panglima bahwa bangsa ini tidak siap berdemokrasi, dan peradilan militer yang masih alot.

Dua aspek reformasi

Penilaian reformasi TNI harus dilihat dari dua aspek.

Pertama, aspek politik legal- kebijakan. Sejak pemisahan TNI dan Polri serta keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34/2004 tentang TNI, secara legal dan politik, kebijakan reformasi TNI telah menunjukkan kemajuan signifikan. TNI harus menjadi profesional, tidak berpolitik, tidak memegang jabatan publik, dan tidak boleh berbisnis. UU TNI juga menyatakan, dalam hal pelanggaran tindak pidana TNI tunduk pada peradilan umum. Bisnis-bisnis TNI juga akan diambil alih pemerintah dalam waktu lima tahun sejak berlakunya UU TNI tahun 2004. Bahkan gelar kekuatan TNI tidak sejajar birokrasi sipil dan difokuskan pada daerah rawan konflik, pulau terluar, dan perbatasan. TNI juga akan ditempatkan di bawah pengawasan dan tunduk pada Departemen Pertahanan. Pengerahan TNI harus diputuskan Presiden dengan persetujuan DPR. Jadi, instrumen legal telah meletakkan dasar kuat ke arah profesionalisme dan ketertundukan TNI pada otoritas politik, yaitu Departemen Pertahanan dan DPR.

Aspek kedua, aspek implementasi. Aspek ini mensyaratkan komitmen pemerintah untuk melaksanakan beberapa ketentuan UU TNI yang hingga kini masih menghadapi kendala. Pemerintah belum memberi kesejahteraan kepada prajurit TNI sebagai salah satu syarat tentara profesional. Demikian juga dengan pemenuhan kebutuhan alutsista yang masih amat kurang. Departemen Pertahanan juga harus diperkuat untuk dapat melaksanakan fungsi pembuat kebijakan pertahanan dan pengawasan eksekutif terhadap TNI. Juga masih menjadi pertanyaan bagaimana pemerintah akan melakukan pengalihan bisnis militer. Juga masih ironis, saat TNI tidak boleh menduduki jabatan publik (pembuat kebijakan) tiba-tiba dengan segala argumen, seorang TNI aktif secara cepat dipensiun untuk dijadikan pejabat sementara gubernur Sulawesi Selatan. Juga, tidak ada reaksi dari otoritas politik, eksekutif maupun legislatif saat Panglima TNI menyatakan bahwa bangsa ini tidak siap berdemokrasi. Di masa datang sebaiknya Panglima TNI atau anggota TNI tidak membuat pernyataan atau melontarkan sikap politik.

Tiga ”stakeholders”

Jadi, masalah keruwetan reformasi TNI sebenarnya terletak pada aspek implementasi yang melibatkan tiga pihak (stakeholders) yang saling terkait.

Apakah mereka yang duduk dalam legislatif dan eksekutif mempunyai kemampuan dan komitmen untuk melaksanakan dan melakukan konsolidasi reformasi sektor keamanan, khususnya militer? Apakah mereka tidak tergoda untuk mencari dukungan TNI untuk kepentingan politik?

Pihak kedua adalah TNI sendiri. Tiap reformasi militer harus mengarah pada profesionalisme militer yang ditandai kecukupan alutsista dan kesejahteraan mereka. Ini adalah kewajiban negara yang diwujudkan melalui aneka kebijakan pemerintah dengan dukungan legislatif. Kesejahteraan TNI yang masih rendah membuka celah untuk terlibat politik dan bisnis dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Jadi, reformasi TNI memerlukan dukungan dari dalam TNI sendiri.

Reformasi TNI juga tergantung dari stakeholder ketiga, yaitu masyarakat. Jika masyarakat merasa reformasi TNI bukan kepentingan utamanya, akan sulit menggalang dukungan masyarakat untuk memperkuat reformasi TNI. Akibatnya, partai-partai politik tidak merasa penting untuk mengedepankan isu reformasi TNI sebagai agenda untuk mencari dukungan publik. Intinya, kesadaran publik dan partai politik tentang pentingnya reformasi TNI masih rendah. Pada aspek ini memang benar, proses reformasi TNI masih panjang karena menyangkut kepentingan, mindset, dan budaya.

Jika reformasi TNI melemah, kita tidak bisa langsung menyalahkan TNI. Konsolidasi otoritas politik di legislatif, eksekutif, dukungan partai politik, dan masyarakat sipil untuk melaksanakan reformasi harus terus dilakukan. Jalan panjang reformasi TNI harus ditempuh untuk profesionalisme TNI dan kehidupan politik yang demokratis.

Edy Prasetyono Peneliti CSIS; Dosen Hubungan Internasional, FISIP UI

 

No comments:

A r s i p