Friday, February 1, 2008

Ajakan Maaf dan Status Pak Harto


Yusril Ihza Mahendra
Mantan Menteri Sekretaris Negara

(Sambungan dari tulisan dengan judul yang sama)

Sampai hari-hari terakhir ini keadaan sakit mantan Presiden Soeharto itu tak kunjung sembuh untuk dapat dihadirkan di pengadilan. Tim dokter telah menyimpulkan sakit beliau itu bersifat permanen. Artinya, kecil kemungkinannya dapat disembuhkan seperti sediakala.

Atas dasar itulah maka Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 12 Mei 2006 menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan yang intinya menyatakan: 'Menghentikan penuntutan perkara pidana atas nama terdakwa H Muhammad Soeharto karena perkara ditutup demi hukum'. Surat ketetapan itu dapat dicabut apabila pada kemudian hari terdapat alasan baru yang diperoleh penuntut umum.

Namun, sampai hari-hari terakhir ini alasan baru itu belum juga ditemukan. Seandainya esok (lusa) mantan Presiden Soeharto dipanggil menghadap Allah SWT maka segala tuntutan pidana atas beliau juga otomatis gugur demi hukum. Sama halnya seperti tuntutan terhadap mantan Presiden Soekarno.

Berdasarkan uraian di atas, dapat saya katakan bahwa Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tidak dapat dilaksanakan dengan wafatnya mantan Presiden Soekarno. Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 sudah mulai dilaksanakan. Mantan Presiden Soeharto sudah dinyatakan sebagai terdakwa dalam perkara pidana. Tetapi, proses itu terhenti dengan sakitnya beliau.

Lantas apakah yang harus dilakukan oleh Presiden sekarang terhadap kedua mantan presiden itu? Itulah sebabnya pada pertengahan Mei 2006 ketika kondisi kesehatan mantan Presiden Soeharto sedang kritis ada rencana Presiden untuk memberikan rehabilitasi untuk memulihkan segala hak, harkat, dan martabat mantan Presiden Soeharto dan juga mantan Presiden Soekarno.

Rencana Presiden itu hemat saya dapat dilaksanakan tanpa harus mencabut Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tadi. Upaya melaksanakan ketetapan itu, seperti telah saya katakan, telah dilakukan walau kemudian terhenti akibat sakitnya mantan Presiden Soeharto. Tidak ada yang harus disalahkan dan dituduh mengkhianati ketetapan itu kalau dilihat dari sudut hukum.

Mahkamah Agung pada tanggal 11 Mei 2006 juga telah menyampaikan pertimbangan yang intinya tidak keberatan atas rencana Presiden yang akan memberikan rehabilitasi untuk memulihkan segala hak, harkat, dan martabat almarhum mantan Presiden RI Soekarno dan mantan Presiden RI Soeharto. Pertimbangan itu menyatakan bahwa sebagai manusia kedua mantan Presiden itu tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan.

Kesalahan dan kekeliruan itu tidak dapat meniadakan jasa keduanya dalam membangun bangsa dan negara. Meskipun sudah ada pertimbangan MA, kemudian ternyata Presiden SBY 'mengendapkan' rencana rehabilitasi itu. Kita tidak dapat pula menyalahkan beliau karena hal itu adalah hak Presiden.

Keputusan akhir ada di tangan beliau. Saya sendiri tidak mengetahui apa alasan Presiden SBY mengurungkan niatnya memberikan rehabilitasi kepada kedua mantan presiden tersebut pada tanggal 12 Mei 2006 itu. Dalam beberapa hari belakangan ini pembicaraan kemungkinan Presiden SBY menggunakan ketentuan Pasal 14 UUD 1945 kembali mencuat ke permukaan setelah gagasan memberi maaf yang dilontarkan Pak Amien Rais.

Anggota Wantimpres Adnan Buyung Nasution berpendapat Presiden tidak bisa memberi maaf kepada mantan Presiden Soeharto sebelum status hukumnya jelas. Kalau yang dimaksud maaf oleh Pak Buyung itu sama dengan grasi maka pendapat beliau itu benar adanya.

Grasi hanya diberikan Presiden kalau telah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Jubir Kepresidenan Andi Mallarangeng juga mengatakan bahwa konsep 'pardon' tanpa putusan pengadilan seperti di Amerika Serikat tidak dikenal di negeri kita. Mungkin yang dimaksud Pak Andi itu adalah grasi juga.

Seskab Sudi Silalahi bahkan tegas mengatakan bahwa keempat hak Presiden di dalam Pasal 14 UUD 1945 itu hanya bisa diberikan kalau sudah ada putusan. Penjelasan Pak Sudi itu menurut hemat saya keliru. Kalau grasi memang benar. Namun, kalau amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, dapat dilakukan Presiden dengan atau tanpa putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Rehabilitasi di sini berbeda dengan pengertian rehabilitasi yang ditetapkan pengadilan atas seseorang yang telah diadili, tetapi terbukti tidak bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 97 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Mahkamah Agung berpendapat sama dengan pendapat saya ketika lembaga itu memberikan pertimbangan kepada Presiden SBY, seperti telah saya uraikan di atas.

Rehabilitasi dapat diberikan kepada seseorang baik ada maupun tidak ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Saya belum tahu apa langkah yang akan ditempuh Presiden SBY dalam situasi mantan Presiden Soeharto yang kritis sekarang ini.

Berita terakhir yang saya dengar ialah upaya Jaksa Agung Hendarman untuk menyelesaikan gugatan perdata kepada mantan Presiden Soeharto dengan cara win-win solution yang kemudian menimbulkan saling bantah di kalangan petinggi negara, termasuk bantahan oleh Presiden sendiri dan para pengacara mantan Presiden Soeharto.

Harus kita sadari bahwa Jaksa bertindak dalam perkara perdata, bukanlah menjalankan tugas penuntutan seperti dalam perkara pidana. Jaksa dalam hal ini bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN). Sebagai JPN, jaksa bertindak sebagai kuasa hukum Presiden dalam suatu perkara perdata.

Jadi, Jaksa tidak mengambil inisiatif sendiri, melainkan segalanya tergantung kepada Presiden sebagai pemberi kuasa. Mengenai perkara perdata yang menempatkan mantan Presiden Soeharto sebagai tergugat yang harus membayar ganti rugi materiil maupun immateriil, semuanya tergantung negosiasi penggugat dan tergugat.

Saya hanya menyarankan, lebih baik kalau perdamaian dilakukan dengan meminta kerelaan mantan Presiden Soeharto dan seluruh pengurus yayasan, termasuk keluarga mantan Presiden Soeharto, agar dengan sukarela menyerahkan seluruh aset yayasan-yayasan itu kepada negara untuk dimiliki dan dikelola oleh negara. Selanjutnya, segala kewajiban kepada yayasan dan piutang kepada pihak mana saja, semuanya ditagih dan diselesaikan oleh yayasan, setelah yayasan diserahkan kepada negara.

Seluruh pendiri/pengurus yayasan dan keluarga mantan Presiden Soeharto tidak terbebani lagi dengan berbagai yayasan itu dan negara dapat mengelolanya untuk kepentingan rakyat. Kalau mantan Presiden Soeharto wafat, toh aset yayasan-yayasan itu juga tidak dapat diwarisi oleh anak-anaknya. Ini saran saja dari saya. Mau diikuti boleh, tidak diikuti juga tidak apa-apa.

Demikianlah tulisan saya ini. Mungkin ada kelemahan di sana sini. Namun, lebih baik semua ini saya ungkapkan untuk memperluas cakrawala pemikiran kita bersama dalam menyelesaikan masalah konkret yang dihadapi bangsa dan negara kita.

Kalau apa yang saya tuliskan ini benar, saya menganggap semuanya dari Allah. Namun, jika ternyata salah, maka semuanya berasal dari diri saya sendiri. Akhirnya, kepada Allah juga saya mengembalikan persoalan, sambil kita berikhtiar mencari penyelesaian yang terbaik bagi kepentingan bangsa dan negara kita. Wallahu 'alam bissawwab.

Ikhtisar: - Keputusan status hukum Soeharto ada di tangan Presiden SBY.
- Kesalahan mantan presiden tidak dapat meniadakan jasanya pada negara.
- Grasi hanya diberikan oleh Presiden bila sudah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

( )

No comments:

A r s i p