Wednesday, February 6, 2008

Ancaman Defisit Demokrasi


Maria Hartiningsih dan Ninuk M Pambudy

Kalau perempuan yang berpihak pada kepentingan perempuan menolak berpolitik, dunia politik formal akan dimasuki petualang dan politisi hitam yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok.

Perjuangan untuk menggemakan kebutuhan perempuan dan kesejahteraan rakyat secara umum akan terhambat, defisit demokrasi akan semakin parah. Oleh karena itu, seperti dikemukakan anggota Komisi III DPR, Eva Sundari, ”Prinsip nonpartisan harus didefinisikan lagi”.

Anggota Komisi II DPR, Nursyahbani Katjasungkana, juga menekankan hal serupa. Ia menambahkan, ”Kalau tidak, kita akan mengalami defisit demokrasi besar sekali karena yang akan masuk orang dengan ambisi pribadi dan kelompok. Demokrasi yang dimaksudkan untuk kesejahteraan tidak akan tercapai dan suara perempuan tidak mendapat tempat,” ujar Nursyahbani.

Ia menjelaskan, politik perempuan sangat konkret karena lebih menyangkut kebutuhan sehari-hari dan kesejahteraan warga negara dalam arti luas, sesuatu yang sebenarnya merupakan dasar perjuangan politik dalam arti sebenarnya. Sayangnya hal itu tak banyak dipahami dalam arus besar pemahaman politik sebagai kekuasaan untuk menguasai.

Perdebatan apakah perempuan yang melek politik akan terus berada di luar partai menjadi inti dalam seminar nasional konsolidasi perempuan menjelang Pemilu 2009 yang diselenggarakan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) di Jakarta beberapa waktu lalu.

”Saya kira adalah hak politik bagi setiap anggota organisasi nonpemerintah masuk ke politik formal. Hak politik itu tak boleh direduksi organisasinya yang nonpartisan,” ujar Nursyahbani.

Menurut Eva, defisit demokrasi harus dijawab dengan keberanian perempuan yang berkomitmen memperjuangkan nasib perempuan dan kesejahteraan rakyat untuk terjun ke politik formal.

”Sekarang partai sedang mencari calon perempuan,” lanjut Eva. Karena itu, ”Tahun ini sangat krusial bagi advokasi 30 persen perempuan di parlemen.”

Undang-Undang Partai Politik yang disahkan pada 6 Desember 2007 mensyaratkan pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan. Kepengurusan parpol juga menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta diatur dalam AD/ART parpol.

Eva mengingatkan, perempuan yang akan masuk ke jalur politik formal harus memiliki portofolio jelas. ”Keahliannya apa untuk menyelesaikan suatu masalah. Ia juga harus feminis dan pluralis, rajin ke lapangan melihat situasi langsung masyarakat,” ujar Eva. Ia memberi contoh Zohra Andi Baso dari Makassar, misalnya, identik dengan isu kesehatan reproduksi.

Masalah dana kampanye yang menjadi hambatan bagi perempuan, menurut Eva, harus ditaklukkan. ”Kita bisa menggunakan jalur informal sebagai ruang negosiasi,” ujar Eva.

Hal itu diakui Endang Kuswardani dari KPI Jambi. Selama ini sosoknya sudah identik dengan isu kemiskinan karena ia cukup lama bekerja untuk program pengentasan rakyat dari kemiskinan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di wilayahnya. Endang yang sudah aktif di Partai Demokrat akan menjadi pengurus partai dalam waktu dekat. Zohra dari KPI Makassar mengingatkan, kalau sudah menjadi pengurus partai, jangan lagi menjadi pengurus KPI karena akan terjadi konflik kepentingan.

Harus bersama

Sekretaris Jenderal KPI Masruchah mempertanyakan pilihan antara orang dari luar partai yang didorong masuk atau memberdayakan perempuan yang sudah ada di dalam partai.

”Kalau orang dari luar tiba-tiba mendapat posisi bagus akan mengundang kecemburuan,” ujarnya. ”Lalu apa yang kita bayangkan tentang sisterhood jadi berantakan. Kita harus melakukan advokasi kepada yang di luar maupun di dalam.”

Meski sudah ada sedikitnya 10 undang-undang yang menjamin peluang politik perempuan, situasinya sunguh tak mudah. ”Kalau pada masa Orde Baru yang mengontrol negara, sekarang kontrol dilakukan pemerintah lokal melalui peraturan-peraturan daerah yang tak hanya membatasi gerak, tetapi juga menyingkirkan perempuan,” ujarnya.

Ia mengatakan, saat ini sedikitnya 100 perda dan peraturan lain, baik yang terkait agama maupun ketertiban umum, dikeluarkan di berbagai wilayah di Indonesia.

Zohra memaparkan kampanye hitam dan kecurangan politisi laki-laki dan perempuan di dalam partai terhadap perempuan yang hendak memasuki jalur politik formal. Karena itu, jargon ”perempuan pilih perempuan” harus diubah sebab justru bisa digunakan laki-laki maupun perempuan untuk memecah belah kekuatan perempuan.

Masruchah mengingatkan, salah satu tugas partai seperti tercantum dalam Undang-Undang Partai Politik yang baru adalah pendidikan politik. ”Selama ini perempuan yang jumlahnya 53 persen dari pemilih pada Pemilu 2004 malas masuk partai karena kesempatannya tidak diberikan,” ujar dia.

Konsolidasi nasional yang dilakukan aktivis telah dilakukan di tingkat lokal dengan membuat target-target advokasi untuk Pemilu 2009.

”Situasinya berbeda-beda,” ujar Masruchah. ”Pemilu 2004 jumlah perempuan di DPR pusat 11,27 persen, mungkin targetnya sekarang 20 persen. Di provinsi yang baru 9 persen, mungkin targetnya 15 persen, dan di kabupaten/kota yang baru 6 persen mungkin menjadi 10 persen.”

Seperti dikatakan Eva, ”Kerja besar menunggu. Waktunya sangat pendek. Kita harus bekerja keras.”

No comments:

A r s i p