Tuesday, February 26, 2008

Megawati, Sultan HB X, dan Wiranto


Sidang pembaca, ini survei sederhana dan bersifat pribadi. Mendekati Pemilu 2009 sekarang ini, teman-teman yang dekat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri mendorong saya untuk segera merapat ke kubu Mega. Alasannya, Soekarnois dan nasionalis. Yang dekat dengan Partai Hanura mendorong agar mendekat ke Pak Wiranto karena hubungan baik kami selama ini. Sementara itu, saya dihantui oleh waham ”Sentot” (Sentot syndrome).

Bapak (almarhum) dulu pernah berpesan. Jika suatu masa saya dihadapkan pada pilihan-pilihan, sebagai anak Madiun, sikap Sentot Prawirodirjo yang harus dipilih, yaitu mengabdi pada Pangeran Diponegoro sebagai panglima perang. Dalam konteks sekarang, itu berarti mengabdi kepada Orang Agung Mataram (Sultan Hamengku Buwono X). Tentu saja ini hanya berlaku jika Sultan maju sebagai kandidat presiden nantinya.

Betapa ribetnya pilihan-pilihan itu. Tidak tertutup kemungkinan, besok atau lusa, teman-teman yang dekat dengan Partai Kebangkitan Bangsa akan menyarankan penulis untuk menjadi salah satu sekrup kecil dalam tim sukses Gus Dur. Karena, meskipun jauh di pinggiran, saya tetap bagian dari nahdliyin. Siapa tokoh yang harus saya dukung?

Tak mungkin netral

Sejujurnya saya tidak bisa mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu nanti. Tidak ada hubungan emosional apa pun yang bisa dijadikan pijakan komitmen. Tidak ada getar-getar batin yang bersambung selama ini. Mungkin kebatinan publik (cara merasakan penderitaan rakyat) kami memang berbeda.

Kalau melihat kondisi republik saat ini, rasanya tidak pantas kalau kita hanya diam saja. Sehebat apa pun sikap netral seorang akademisi, kata sahabat saya, Ketua Umum Pemuda Ansor Saifullah Yusuf, bandul secara otomatis akan miring pada pilihan-pilihan kerakyatan.

Faktanya, kemiskinan dan pengangguran memang beringsut terlalu lambat untuk menuju perbaikan. Bahkan, kedelai dan daging sapi pun sempat langka di pasaran. Ini belum lagi kalau beberapa faktor, seperti pemadaman listrik, rencana pemotongan anggaran pertahanan, dan keputusan pemerintah untuk menyewakan lahan hutan dengan harga murah, ikut diperhitungkan. Pendeknya, situasinya memang patologis.

Dalam kondisi masyarakat yang secara umum sulit mesem (tersenyum) itu, pemihakan nurani untuk memilih figur yang bisa membangkitkan optimisme sulit dihindari. Ilmu ”langit” yang berpijak pada tatanan dan etika obyektif terpaksa harus diurai menjadi ilmu ”bumi”. Di sini subyektivitas jadi pilihan.

Idealnya, tentu seorang pemuda yang cerdas, berkarakter, dan didukung oleh massa rakyat tampil memimpin Indonesia guna mengatasi kurewetan bangsa. Tapi, riil politik bicara lain. Kentalnya budaya paternalistik dan oligarki partai tampaknya hanya akan mendorong munculnya tiga nama yang potensial menjadi lawan tangguh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri, Sultan Hamengku Buwono X, dan Wiranto.

Megawati Soekarnoputri, meskipun hanya tidur, misalnya, secara otomatis sudah mengantongi modal politik 17 persen pemilih. Mereka adalah para Soekarnois yang setia terhadap PDI-P. Terlepas dari kelemahan Megawati karena pernah menjadi presiden, jumlah itu pasti bertambah besar karena sikap partai yang beroposisi terhadap pemerintah.

Lawan kedua adalah Sultan Hamengku Buwono X. Sultan memang belum punya partai. Tapi, kalau popularitasnya menanjak terus, dan saya yakin itu, dia tidak akan terbendung. Akan banyak partai mendekati. Posisi Sultan yang belum mempunyai ”catatan” nasional justru menjadi kekuatan luar biasa. Ruang geraknya untuk melakukan manuver politik terbuka sangat luas, terlebih lagi dia tercatat sebagai salah satu tokoh reformasi.

Terakhir adalah Wiranto. Partainya, Hanura, mencoba membangun sistem organik berbasis inisiatif dari bawah. Infrastruktur partainya terbangun baik, menyebar hampir di pelosok republik. Di dunia militer, figur Wiranto dianggap sebagai ”atasan” Presiden SBY. Oleh sebab itu, dia dianggap sebuah antitesis. Jika Presiden SBY dicitrakan ”tak tegas”, Wiranto dicitrakan sebaliknya. Oleh sebab itu, ia juga lawan potensial dalam kontestasi politik 2009.

Salah satu dari ketiga nama tersebut sejujurnya diuntungkan keadaan, yaitu situasi patologis sekarang ini. Sebagai modal politik, kontribusi situasi bagi kemenangan kontestasi sekitar 50 persen. Sisanya, tinggal kerja keras dan komunikasi politik yang sensitif pada publik.

Sedangkan untuk nama-nama lain yang beredar selama ini, sejatinya ”setrum” mereka lemah di ranah publik. Namun, kalau mereka tetap memaksakan diri, ya, silakan.

SUKARDI RINAKIT Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

No comments:

A r s i p