Monday, February 11, 2008

Menerobos Kebuntuan Aturan Pilkada


Senin, 11 Februari 2008 | 03:24 WIB

Amir Syamsuddin

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono mengecam para hakim agung yang memutuskan sengketa Pemilihan Kepala Daerah Maluku Utara. Demikian juga anggota DPR Ferry Mursyidan Baldan menyatakan seharusnya Mahkamah Agung memutuskan siapa yang menjadi pemenang dalam Pilkada Maluku Utara, bukannya membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum. Oleh karena itu, mereka mendukung langkah KPU melakukan upaya hukum peninjauan kembali.

Di Indonesia, saat ini langkah hukum apa saja bisa dilakukan. Sejak sengketa Pilkada Depok, orang mulai beramai-ramai melakukan upaya hukum PK dalam menyikapi putusan MA berkaitan dengan sengketa pilkada, padahal dalam peraturan perundang-udangan pilkada tidak diatur upaya hukum PK. Bahkan, filosofinya, upaya hukum PK tidak berlaku untuk sengketa pilkada. Namun apa mau dikata, urusan kepentingan kekuasaan ternyata lebih besar dari urusan penegakan dan kepastian hukum.

Sengketa pilkada adalah sengketa penghitungan suara sehingga yang ada dalam permasalahan pilkada adalah sengketa jumlah suara. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan pilkada telah menyediakan upaya hukum ”keberatan” yang terbilang singkat dan cepat bagi sengketa jumlah suara tersebut. Sengketa pilkada harus dibedakan dengan kasus dugaan kecurangan, penggelembungan, pengambilalihan yang tidak sah; ataupun sengketa mengenai kewenangan dan sebagainya.

Oleh karena itu, putusan upaya hukum ”keberatan” dalam sengketa pilkada adalah putusan mengenai penghitungan suara yang benar dan penetapan pemenang pilkada. Hal ini dikarenakan majelis hakim dalam perkara ”keberatan” pada sengketa pilkada hanya memeriksa dan mengadili kebenaran penghitungan suara belaka, bukan memeriksa dan mengadili masalah keabsahan sebuah keputusan penyelenggara pilkada ataupun proses penyelenggaraan pilkada.

Semua orang tahu bahwa sengketa pilkada sering dikacaukan dengan kepentingan pasangan calon, termasuk kepentingan-kepentingan lain yang memengaruhi dan merusak citra dan integritas para petugas pilkada dari tingkat bawah sampai ke tingkat atas. Oleh karena itu, dalam banyak sengketa pilkada orang tidak pernah akan bisa menerima apabila sengketa pilkada hanyalah dikatakan sebagai sengketa penghitungan suara.

Mereka yakin dan percaya kesalahan hitung sudah terjadi sejak awal proses berjalannya pilkada sebagai akibat dari kecurangan dan kesalahan prosedur yang diduga dilakukan oleh para petugas pilkada. Sementara peraturan pilkada kita tidak mengatur mekanisme ”keberatan” untuk penyelesaian kasus- kasus demikian, padahal masyarakat meyakini akibat kecerobohan dan kecurangan yang dilakukan oleh petugas pilkada, hasil penghitungan suara menjadi tidak benar atau diragukan.

Memang benar peraturan pilkada telah mengatur penyelesaian masalah kecurangan dan penggelembungan ke peradilan umum, tetapi penyelesaian di peradilan umum membutuhkan waktu yang sangat lama yang bisa menyebabkan kevakuman kekuasaan. Untuk menghadapi hal ini, perlu ada terobosan. Salah satunya adalah memberi kewenangan kepada MA dan PT untuk memeriksa dan mengadili semua masalah-masalah yang terkait pilkada dalam satu pintu, yaitu upaya hukum ”keberatan”.

Sulawesi Selatan

Putusan dalam sengketa Pilkada Sulawesi Selatan adalah tidak benar, tetapi dapat dianggap sebagai sebuah terobosan. Para hakim dan juga masyarakat memaklumi, dugaan rekayasa dan kecurangan tidak dapat dibiarkan begitu saja di dalam sengketa pilkada karena hal tersebut secara tidak langsung akan memengaruhi hasil penghitungan suara.

Oleh karena itu, ketika upaya hukum ”keberatan” dilakukan oleh para calon yang kalah, maka substansi keberatan tidak hanya diisi dengan penghitungan suara yang benar menurut pemohon keberatan, tetapi juga diisi dengan paparan tentang dugaan kecurangan dan penggelembungan yang terjadi dalam penyelenggaraan pilkada. Dengan demikian, dalam tahap pembuktian pemohon keberatan juga menghadirkan bukti-bukti tersendiri, termasuk para saksi mereka di lapangan.

Namun, kita juga tak menutup mata dari fakta lain adanya rekayasa yang diciptakan atau dibentuk oleh pasangan calon yang kalah dengan menggunakan dugaan kecurangan dan penggelembungan sebagai alasan pembenar untuk tak menerima ”kekalahan”.

Karena itu, hakim tinggi ataupun hakim MA di dalam memeriksa perkara ”keberatan” harus benar-benar memerhatikan pembuktian yang dilakukan pemohon keberatan. Walaupun pembuktian dalam upaya keberatan menurut aturan pilkada hanyalah menyangkut dokumen- dokumen resmi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pilkada, tetapi sebagai sebuah terobosan, hakim bolehlah memeriksa dan meneliti dokumen-dokumen yang dibuat oleh pihak pemohon keberatan, pihak-pihak yang terlibat dalam pilkada, kepolisian, Panwas/Panwasda, pemantau pilkada, dan sebagainya.

Pembuktian semacam ini setidak-tidaknya akan dapat memeriksa indikasi adanya rekayasa ataupun pemalsuan dokumen ataupun pencurian angka yang dilakukan baik oleh pasangan calon maupun petugas pilkada. Dengan pembuktian semacam ini, maka hakim tak saja mendapatkan kebenaran angka yang diinginkan oleh aturan pilkada, tapi juga mendapatkan kebenaran yang dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

Berbeda dengan sengketa Pilkada Sulsel, sengketa Pilkada Maluku Utara lain lagi masalahnya. Putusan MA yang membatalkan keputusan KPU dalam sengketa Pilkada Malut justru menimbulkan kontroversi. Aturan pilkada mengharuskan MA hanya memeriksa dan memutus mengenai kebenaran dari hasil penghitungan suara KPU dan menetapkan pemenangnya. Sementara putusan mengenai penghitungan ulang, semestinya MA membuatnya dalam bentuk putusan sela dengan pengawasan MA sebagai bagian dari proses pembuktian perkara ”keberatan” dan tidak membiarkan dihitung ulang tanpa kontrol.

Tapi apa mau dikata, putusan MA sudah dibuat dan kami menganggapnya sebagai sebuah terobosan juga, walaupun secara yuridis menimbulkan problema tersendiri. Kenapa terobosan karena MA telah mengambil jalan pintas dengan membatalkan keputusan KPU melalui prosedur dan tata cara upaya hukum ”keberatan” seakan-akan memutuskan perkara judicial review terhadap keputusan KPU, sedangkan putusan yang memerintahkan penghitungan suara ulang dapat dianggap sebagai putusan dalam upaya hukum ”keberatan” dalam sengketa pilkada.

Hanya problemnya, masalah dalam Pilkada Malut sebenarnya tidak sampai dengan pembatalan keputusan KPU ataupun penghitungan ulang, karena masih ada persoalan tersisa, yaitu bagaimana dengan kebasahan pengambilalihan kewenangan KPU Provinsi oleh KPU; bagaimana dengan keabsahan keputusan KPU Provinsi dan bagaimana dengan keabsahan pemberhentian Ketua dan anggota KPU Provinsi oleh KPU. Hal-hal ini perlu diselesaikan pula dan sayangnya, masalah-masalah itu secara due process adalah kewenangan peradilan umum untuk memeriksanya, bukan MA. Melihat terobosan-terobosan yang dilakukan MA, di lain kesempatan sangatlah mungkin MA membuat terobosan lain dengan membuat putusan yang mencakup seluruh persoalan yang dihadapi dalam suatu pilkada.

AMIR SYAMSUDDIN Praktisi Hukum, Jakarta

No comments:

A r s i p