Friday, February 1, 2008

Kepastian pada Dua Pemimpin


Oleh : Asro Kamal Rokan

Jakarta seolah berhenti berdenyut saat pemakaman Pak Harto, Senin (28/01). Sebagian besar pejabat tinggi negara menghadiri prosesi pemakaman mantan presiden itu di Giribangun, Jawa Tengah. Seluruh stasiun televisi menghabiskan waktu lebih dari setengah hari menayangkan detik demi detik acara ini. Media cetak utama juga demikian. Perhatian masyarakat tertumpu pada prosesi itu dan tidak sedikit yang meneteskan air mata.

Pak Harto --yang memimpin Indonesia selama 32 tahun-- betapapun adalah tokoh besar bangsa ini. Di tengah berbagai kontroversi, mantan orang kuat Orde Baru itu tetaplah sebagai tokoh besar. Sebagai tokoh besar, rakyat melihatnya dari sisi positif dan negatif. Dipuja dan dicerca. Pandangan dua sisi itu jamak saja.

Pak Harto pergi selamanya di tengah status hukum yang tak jelas. Tidak dinyatakan bersalah, tapi juga tidak dinyatakan benar. Sepuluh tahun setelah kejatuhannya, Pak Harto seperti pengembara, pergi tanpa kepastian. Ini persis masa kecil kehidupannya. Kesulitan hidup membawa Soeharto --dalam sepuluh tahun pertama usianya-- enam kali pindah dari rumah ke rumah, dari pengasuh satu ke pengasuh yang lain.

Profesor Robert Edward Elson melukiskan nestapa Soeharto kecil itu dalam bukunya Suharto, a Political Biography terbitan Cambridge University Pers (2001). Dalam kesepiannya mengembara dari rumah ke rumah, tulis Edison, "Soeharto merasa tidak pernah diterima dengan sungguh-sungguh oleh setiap rumah yang ditempatinya." (Republika, 28/01).

Setelah turun dari kekuasaannya, Pak Harto tak sungguh-sungguh diterima. Ketetapan MPR Nomor XI/1998 telah menyeretnya sebagai terdakwa di pengadilan. Namun, prosesnya terhenti karena sakit permanen. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, 12 Mei 2006, telah pula menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan. Dengan wafatnya Pak Harto, segala tuntutan pidana otomatis gugur. Sedangkan perkara perdata Pak Harto dapat diteruskan dengan mengalihkan kepada ahli warisnya.

Setelah tuntutan pidana Pak Harto yang otomatis gugur itu, seperti juga Bung Karno --yang persoalan hukumnya berdasarkan Ketetapan MPR (S) Nomor XXXIII/MPRS/1967 otomatis gugur-- tidak ada salahnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan rehabilitasi kepada dua mantan presiden itu.

Dalam tulisannya di Republika (21-22/01), pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan, Presiden dapat saja memberikan rehabilitasi kepada kedua mantan presiden itu tanpa harus mencabut Ketetapan MPR dan MPRS. "Tidak ada yang harus disalahkan dan dituduh mengkhianati Ketetapan itu, kalau dilihat dari sudut hukum," tulis Yusril.

Bung Karno dan Pak Harto --dengan segala sisi positif dan negatifnya-- adalah pemimpin besar bangsa ini. Mereka berjasa pada bangsa ini, tapi mereka juga tak luput dari berbagai kesalahan. Terhadap kesalahan mereka --di antaranya berkuasa tanpa batas waktu sampai akhirnya jatuh-- bangsa ini telah mengambil hikmahnya dengan memperbaiki sistem dan konstitusi. Selalu ada pelajaran berharga dari kesalahan.

Kini, kita harus berbenah. Ketika harapan terhadap reformasi belum berjalan baik hingga tahun kesepuluh ini --korupsi belum juga berhenti, kesejahteraan belum terpenuhi, gangguan keamanan, dan konflik politik masih saja terjadi, termasuk beberapa pilkada yang berakhir rusuh-- maka masyarakat awam merindukan kembali masa Orde Baru, yang mereka nilai sebagai masa normal.

Mantan presiden itu telah pergi diiringi ditangis keluarga, orang-orang yang mencintainya, dan pulang membawa kontroversi. Pak Harto tidak lagi mengembara --seperti masa kecilnya-- tetapi berjalan ke tempat yang pasti, menemui Ilahi.

Kini tinggal kita, bangsa besar ini harus menghormati pemimpinnya, harus terus bekerja, memutus segala ketidakpastian. Bangsa dan rakyat ini harus tetap bergerak ke masa depan, tidak terikat masa lalu, tidak terus merenung dan merasa nyaman di bawah pohon kamboja.

No comments:

A r s i p