Friday, February 8, 2008

Oleh karena PKB Inginkan Nomor Tiga


Jumat, 8 Februari 2008 | 03:24 WIB

Sidik Pramono

Jika jumlah kursi mesti sebanding dengan jumlah suara yang diperoleh, urutan pemenang Pemilihan Umum 2004 harus bergeser. Posisi Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P sebagai dua besar memang tak akan tergoyahkan. Namun, urutan berikutnya tidak akan sama lagi.

Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR Effendy Choirie, misalnya, mempersoalkan perolehan kursi di DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN), yang bisa lebih banyak ketimbang PKB. Padahal, perolehan suara PKB jelas lebih besar. ”PKB mestinya nomor tiga. Suaranya terbanyak ketiga, tetapi kursinya nomor berapa?” ujarnya.

Ketidakadilan

Kondisi itu bisa terjadi bermula dari penentuan alokasi kursi DPR untuk setiap provinsi. Sejak awal pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu, ada ”kesepakatan” untuk ”menyeimbangkan” representasi Jawa dan luar Jawa. Alhasil, harga kursi DPR dari wilayah Jawa yang padat penduduk lebih ”mahal” ketimbang kursi dari wilayah lain.

Ketentuan itu, menurut Effendy, menjadikan DPR seperti ”Dewan Perwakilan Ruang” karena tidak merepresentasikan jumlah rakyat yang diwakilinya.

Berikutnya adalah cara penghitungan suara dan pembagian kursi. Ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyatakan dua tahap penghitungan. Pertama, kursi ditetapkan pada partai politik yang jumlah suara sahnya sama dengan atau lebih besar dari bilangan pembagi pemilihan (BPP). Angka BPP diperoleh dengan cara membagi jumlah suara sah seluruh parpol dengan jumlah kursi anggota DPR/DPRD yang diperebutkan di daerah pemilihan itu.

Penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan bila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi. Caranya, dengan membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi berturut-turut dimulai dari parpol yang mempunyai sisa suara terbanyak. Bagi parpol yang melampaui BPP, sisa suara diperhitungkan dari total suara dikurangi dengan jumlah suara yang terkonversi menjadi kursi pada penghitungan tahap pertama.

Jumlah suara sah suatu parpol yang lebih kecil dari BPP menjadi sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan tahap kedua. Beruntunglah partai kelas ”menengah” yang menerima limpahan kursi ”sisa”. Artinya, kursi didapat meski perolehan suara parpol itu tidak mencapai BPP.

Menurut Pipit R Kartawidjaja dari Watch Indonesia di Berlin, metode kuota varian Hare/Niemeyer/Hamilton-Largest Remainders seperti yang digunakan pada UU 12/2003 dengan daerah pemilihan terdiri dari 3-12 kursi, cenderung menyebabkan parpol ”terkuat” di sebuah daerah pemilihan ”tercuri” kursinya. Cara penghitungan suara itu hanya menguntungkan parpol kelas ”menengah”. Disproporsionalitas kerap terjadi saat metode itu diterapkan. Karena bias yang kerap timbul. Di Amerika Serikat, metode itu telah ditinggalkan seabad silam.

Dalam pembahasan RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, soal penghitungan suara disorot sejak awal. Juru Bicara Fraksi PDI-P Eka Santosa, saat rapat kerja awal di Panitia Khusus, menyebutkan, model pembagian kursi pada Pemilu 2004, terutama yang terkait dengan penghitungan kursi dari hasil sisa suara, menyebabkan beberapa parpol ”kehilangan” kursi. Parpol besar dirugikan dan keuntungan diperoleh parpol kecil. Akibatnya, parpol yang memperoleh jumlah suara lebih sedikit justru bisa mendapatkan kursi lebih banyak ketimbang parpol yang mendapatkan suara lebih besar.

Ketidakadilan muncul. Partai Damai Sejahtera (PDS) mendapatkan kursi lebih banyak ketimbang Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), sekalipun perolehan suaranya hampir sama. Perbandingan perolehan suara yang tidak simetris dengan perolehan kursi DPR itu bisa dilihat pula antara PKB dan PAN serta PPP dengan Partai Demokrat. Akibat lain, kursi terakhir di daerah pemilihan bisa diperoleh suatu parpol dengan perolehan suara ”minimal”.

Sebagai contoh, kursi DPR terakhir dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I, yang memperebutkan 12 kursi, bisa didapatkan parpol yang perolehan suaranya hanya 2,777 persen BPP! Tentu sangat kecil dibandingkan parpol lain yang meraih kursi itu dengan harus memenuhi BPP.

Untung-rugi

Dengan simulasi yang dilakukannya, PKB berjuang mengusulkan agar dalam Pemilu 2009 mendatang diterapkan threshold atau pembatasan raihan suara minimal 3 persen di setiap daerah pemilihan, dengan sisa suara ditarik dan diperhitungkan di level provinsi. Dengan cara itu, dengan asumsi suara sama dengan Pemilu 2004, PKB bisa berharap mendapatkan kursi di DPR lebih banyak, dari 52 kursi menjadi 61 kursi.

Lonjakan perolehan kursi juga bisa diterima Partai Golkar dari 127 kursi menjadi 141 kursi; PDI-P dari 109 kursi menjadi 118 kursi; PPP dari 58 kursi menjadi 61 kursi; atau PKS dari 45 kursi menjadi 50 kursi. Adapun parpol kelas ”menengah” tidak lagi bisa berharap penuh pada sisa suara karena perolehannya anjlok. Bahkan, kursi DPR milik Partai Bulan Bintang (PBB) dan PDS bisa hilang total!

Sebuah organisasi nonpemerintah memberi saran, jika usul PKB diakomodasi, Partai Golkar yang paling menikmati hasilnya. Sebaliknya, PAN paling menderita karena partai berlambang matahari ini memang banyak memperoleh kursi pada penghitungan tahap kedua. Gagasan PKB itu juga dinilai akan mengaburkan konsep daerah pemilihan dan keterwakilan karena akan lebih rumit pada gilirannya untuk mengembalikan kursi yang diperoleh pada tingkat provinsi ke tingkat daerah pemilihan.

Soal untung-rugi sistem penghitungan itu pun mengemuka kembali.

Materi ini termasuk salah satu yang alot dalam pembahasan RUU Pemilu. Forum lobi belum juga menemukan titik temu, tarik-ulur masing-masing fraksi masih terjadi. Apa pun, ketika semua terbuka, ketika semua elemen sudah mengeluarkan jurusnya masing-masing, mari kita tunggu saja apa keputusannya….

No comments:

A r s i p