Wednesday, February 6, 2008

Saatnya Kaum Perempuan Mengisi Peluang


Rabu, 6 Februari 2008 | 01:48 WIB

Revisi Undang-Undang Partai Politik yang disahkan Desember 2007 menjamin 30 persen perempuan harus disertakan dalam pendirian dan pembentukan partai politik dan kepengurusan parpol di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Dalam diskusi nasional Koalisi Perempuan Indonesia di Jakarta beberapa waktu lalu, anggota DPR dari PDI-P Eva Sundari mengajak perempuan terjun ke politik, jangan berhenti sampai memperjuangkan peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga politik, seperti di parpol dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu membuka peluang tindakan khusus sementara melalui Pasal 65 Ayat 1 yang menyebutkan parpol ”dapat” mencalonkan 30 persen perempuan.

Pasal itu meningkatkan jumlah perempuan yang dicalonkan parpol, tetapi hasilnya tidak menggembirakan. Dalam Pemilu 2004, harapan mendapat 30 persen perempuan di DPR hanya terpenuhi 11,27 persen.

Sistem Pemilu 2004 adalah proporsional terbuka terbatas, yaitu agar dapat terpilih, caleg harus mendapat suara sebesar atau lebih besar dari bilangan pembagi pemilih (BPP) yang telah ditetapkan di daerah masing-masing.

Pengalaman Pemilu 2004 memperlihatkan, sistem itu menyebabkan suara diberikan kepada caleg yang berada pada nomor urut atas. Dalam kenyataannya, banyak parpol hanya ”mengakali” perempuan, menempatkan banyak perempuan dalam daftar calon, bahkan ada yang sampai lebih dari 30 persen, tetapi ditempatkan pada urutan bawah.

Akibatnya, paling tidak ada 10 perempuan caleg yang mendapat suara lebih besar daripada caleg pada nomor urut atas harus memberikan suaranya kepada caleg di nomor urut atas itu sampai memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP) (Pusat Kajian Politik FISIP UI, 2007).

Situasi inilah yang ingin diubah kelompok perempuan melalui usulan mereka kepada fraksi-fraksi di DPR yang sedang menyusun revisi UU Pemilu.

Selang-seling

Kelompok perempuan mengajukan usulan untuk mengubah sistem penempatan caleg, yaitu dengan memberlakukan sistem silang dalam penempatan caleg.

Pengajar politik di FISIP UI dan di Program Kajian Wanita UI, Ani Soetjipto, mengatakan, usulan tersebut, dikenal sebagai sistem zipper, adalah dalam setiap empat calon ada satu calon perempuan.

Dengan cara ini, ada kepastian perempuan caleg akan berada pada urutan atas dalam daftar calon sehingga memperbesar peluang perempuan terpilih.

Dalam pembahasan revisi UU Pemilu, usulan yang disuarakan Partai Golkar ini rontok sebab pada awal pembahasan suara terpecah mengenai sistem pemilu. Ada yang menginginkan sistem proporsional terbuka terbatas, ada yang menginginkan sistem terbuka murni.

Sistem terbuka murni memungkinkan rakyat memilih langsung calonnya, tetapi simulasi Pusat Kajian Politik FISIP UI memperlihatkan sistem ini belum menguntungkan perempuan sebab sebagian besar masyarakat belum terbiasa memilih calon secara langsung, selain masih kuatnya budaya patriarkhi yang masih mengunggulkan nilai-nilai laki-laki.

Sistem terbuka murni juga tidak memungkinkan diberlakukannya sistem zipper.

Selain itu, pembahasan revisi UU Pemilu saat ini juga belum sepakat dalam isu ukuran daerah pemilihan, pembagian sisa suara, electoral threshold, dan parliamentary threshold.

Menurut Ani, mengenai sistem pemilu, tampaknya pembahasan mulai mengerucut pada pilihan sistem proporsional terbuka terbatas, meskipun besaran BPP masih belum ada kesepakatan.

”Bila nantinya disepakati sistem proporsional terbuka terbatas, sebetulnya itu peluang emas untuk sistem zipper. Dengan kembali ke sistem nomor urut, peluang perempuan ditempatkan pada nomor jadi lebih terbuka,” papar Ani.

Peran pemerintah

Masalahnya, kini pembahasan sudah di tim perumus dan di dalam tim itu tidak ada anggota yang perempuan. Selain itu, harus diakui, energi dari kelompok-kelompok perempuan memperjuangkan usulan itu pun tampak menyurut.

”Bola sekarang ada di pemerintah, dalam hal ini Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, karena materi pembahasan ada di tim perumus. Menteri bisa bertemu Menteri Dalam Negeri sebab toh nanti revisi undang-undang itu akan dibicarakan bersama pemerintah,” usul Ani.

UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Hak Sipil dan Politik memandatkan kepada penyelenggara negara penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam bidang politik.

Sejumlah negara memberlakukan sistem zipper sehingga menjamin keterwakilan perempuan. Nepal, Belgia, Perancis, Macedonia, Spanyol, Kosta Rika, Timor Leste, dan Meksiko menetapkan aturan pencalonan bervariasi, mulai dari 5 persen (Nepal) hingga 50 persen (Perancis) bagi perempuan caleg.

Parpol di Swiss, India, Israel, Austria, Belgia, Ceko, Jerman, Brasil, dan Afrika Selatan menerapkan aturan di dalam parpol yang menjamin perempuan dicalonkan di lembaga legislatif, mulai dari 15 persen hingga 50 persen, beberapa dengan sistem zipper.

”Bila nanti sistem proporsional terbuka terbatas yang dipilih, KPU harus menjadi penjaga gawang, memastikan perempuan ditempatkan pada posisi jadi. Kalau daftarnya tak memenuhi syarat, dikembalikan ke parpol dan biarkan masyarakat yang menilai parpol mana yang memberi tempat pada perempuan,” kata Ani Soetjipto. (NMP/MH)

No comments:

A r s i p