Friday, February 1, 2008

KH A Wahid Hasyim dan Politik Kita

(Tanggapan tulisan Mahmudi Asy'ari)
Umaruddin Masdar
Penasihat Kaum Muda Nahdlatul Ulama (KMNU)


Tulisan Mahmudi Asy'ari berjudul Khittah NU dan Godaan Politik (Republika, 23 Januari 2008) menarik untuk ditanggapi. Soal kuatnya arus politisasi Nahdlatul Ulama (NU) saya kira tidak perlu ditanggapi karena asumsi seperti itu cenderung bisa dibenarkan.

Namun, soal sikap KH A Wahid Hasyim, saya kira ada yang perlu diluruskan. Dalam tulisan tersebut, Mahmudi Asy'ari menyatakan dalam suatu kesempatan dia (KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU) mengutuk jika ada orang NU yang berusaha memecah belah Masyumi. Namun, fatwa itu dihancurkan oleh anaknya sendiri, KH A Wahid Hasyim, yang memunculkan NU sebagai partai politik (parpol).

Pertama, saya belum pernah menemukan data tepercaya KH Hasyim Asy'ari pernah mengeluarkan fatwa itu. Kyai Hasyim sangat memegang teguh persatuan umat.

Kedua, pernyataan KH A Wahid Hasyim penggagas partai NU merupakan pernyataan yang ahistoris dan keliru. Fakta justru menunjukkan Wahid tokoh muda NU yang tidak setuju NU keluar dari Masyumi. Sebelum Muktamar NU di Palembang tahun 1952, KH A Wahid Hasyim mengingatkan bahaya-bahaya jika NU menjadi partai politik (Greg Fealy, 1998: 123). Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan KH A Wahab Chasbullah.

Tulisan ini berusaha memaparkan percikan pemikiran dan keagungan politik KH A Wahid Hasyim. Dia menelurkan pemikiran dan sikap yang dibutuhkan oleh masyarakat yang sedang berada dalam carut-marut sistem dan moral ini.

Keutamaan Islam pada hakikatnya adalah persaudaraan, keadilan, dan kebaikan budi pekerti. Demikian dikatakan KH A Wahid Hasyim dalam sebuah tulisannya di Mimbar Agama tahun 1951.

Suatu pesan singkat, tapi maknanya sangat dalam dan luas, terutama dalam suasana kehidupan bangsa dewasa ini yang sarat dengan konflik antarelite dan degradasi moral di kalangan para pemimpin. KH A Wahid Hasyim tokoh nasional yang pada zamannya berperan penting dalam proses pendirian bangsa dan sekaligus menjadi penjaga komunikasi di antara para pemimpin dari berbagai golongan.

Peran ini dimainkan dengan baik sehingga jika ada masalah krusial yang dihadapi bangsa, Wahid Hasyim selalu dilibatkan. Kemampuan diplomasi dan integritasnya diakui semua kalangan.

Ayahnya, KH Hasyim Asy'ari, kyai besar yang menjadi rujukan ulama Jawa dan sekitarnya. Ia memiliki kecerdasan dan kemampuan berorganisasi yang menurut ukuran orang-orang pesantren sangat luar biasa. Tidak heran dalam usia yang masih muda (26 tahun) ia sudah masuk dalam jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Dia kemudian terpilih sebagai ketua Dewan Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada kongres 1940. Pada 1944 dalam usia 30 tahun, Pemerintah Pendudukan Jepang menunjuknya sebagai pimpinan Kantor Urusan Agama di Jakarta.

Pertengahan 1945 ketika Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia didirikan, di antara 60 anggotanya, KH A Wahid Hasyim adalah salah satunya. Bahkan, ia masuk dalam Panitia Sembilan bersama Sukarno, M Hatta, M Yamin, A Subardjo, AA Maramis, A Kahar Muzakir, H Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosuyoso. Panitia ini menghasilkan dokumen berisikan tujuan dan maksud pendirian negara Indonesia merdeka yang dikenal dengan Piagam Jakarta.

Menurut Zamakhsyari Dhofier (1984), terpilihnya A Wahid Hasyim sebagai anggota panitia sembilan menunjukkan dia anggota BPKI yang berpengaruh. Kedua, ia memiliki potensi yang vital untuk menjembatani peradaban pesantren dan peradaban Indonesia modern yang hendak didirikan. Ketiga, ia pasti dinilai memiliki kemampuan berkompromi untuk dapat menyatukan pendapat kedua kelompok yang berbeda pandangan.

Setelah merdeka, KH A Wahid Hasyim dipercaya sebagai menteri negara dan pada 1949 menjadi menteri agama pertama pascapengakuan kedaulatan.

Setelah menjadi menteri agama selama tiga periode, yaitu pada masa Kabinet Hatta, Natsir, dan Sukiman, ia menolak dicalonkan sebagai menteri agama dan jabatan apa pun di kabinet. Kepada keluarganya, ia mengatakan ingin melanjutkan usaha bisnisnya dan minat-minatnya yang bersifat kebudayaan (Greg Fealy, 2003). Tapi, Tuhan berkehendak lain, pada 15 April 1953, ia meninggal dunia karena kecelakaan mobil dalam usia 38 tahun.

Punya peran vital
KH A Wahid Hasyim pemimpin nasional yang mempunyai peran vital dan strategis dalam masa menjelang proklamasi dan tahun-tahun pertama kemerdekaan, terutama dalam menjaga komunikasi di antara para pemimpin bangsa dari berbagai golongan. Peran vital itu sangat terasa dalam dua hal.

Pertama, setelah ia meninggal hubungan NU dan Masyumi tidak lagi harmonis. Sejak Masyumi berdiri A Wahid Hasyim penjaga keharmonisan organisasi pendukung di dalamnya dan sekaligus jembatan berbagai kepentingan yang diterima semua pihak. Dia orang yang pandai menjaga hubungan baik. Ia selalu menganjurkan setiap orang membiasakan kunjung-mengunjungi dan mempererat persatuan (tazawaru ba'duhum ba'da).

Karena itu, ketika sejumlah pemimpin NU berusaha memutus total hubungan dengan Masyumi, setelah NU memisahkan diri dari Masyumi pada 1952, pada Muktamar NU di Palembang tahun 1952, Wahid Hasyim justru mengajak Masyumi bekerja sama dalam satu federasi. NU berpisah dengan Masyumi dalam arti organisatoris saja, tetapi tujuannya besarnya tetap sama.

Kedua, menguatnya kembali konflik elite pada sidang-sidang konstituante terutama setelah kelompok Islam mengusulkan kembali agar kata-kata 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dimasukkan kembali ke dalam Pembukaan UUD 1945. Pertentangan kuat antara kelompok Islam dan nasionalis mungkin tidak akan memuncak seandainya ada KH A Wahid Hasyim.

Pada pertentangan sebelumnya tahun 1945, dengan masalah yang sama, KH A Wahid Hasyim yang menjadai juru damai. Ayah KH Abdurrahman Wahid ini seorang ahli diplomasi dan mediasi yang ulung. Hal ini bukan karena ia mempunyai tujuan-tujuan politik praktis, tetapi keyakinan agamanya bahwa perjuangan bangsa hanya bisa berhasil jika seluruh komponen bangsa bersatu, meninggalkan egosentrisme yang mementingkan kepentingan golongan dan sektoral.

KH A Wahid Hasyim meyakini sepenuhnya bahwa dalam perjuangan besar, semua komponen bangsa harus saling melengkapi dan memerlukan. Komunikasi dan hubungan baik dengan semua golongan harus dipelihara (Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, 1977: 175).

Karena itu, tidak mengherankan KH A Wahid Hasyim mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi, PNI, dan kaum sosialis, bahkan mereka yang beraliran Marxis. Baginya, pengelompokan ideologi gerakan ke dalam kategori kanan dan kiri sebenarnya berasal dari pemikiran yang kurang tepat (Aboebakar Atjeh, 1957: 726).

Di samping itu, KH A Wahid Hasyim adalah pemimpin yang pandai membagi tugas kepada rekan dan anak didiknya. Pada masa penjajahan Jepang, misalnya, sebagai pemimpin NU, ia menugaskan Saifuddin Zuhri untuk mengurusi perjuangan lewat tulisan-tulisan di surat kabar. Saifuddin ditunjuknya sebagai pemimpin redaksi Suluh NU.

Ketika membentuk laskar-laskar (Hizbullah dan Sabilillah), KH A Wahid Hasyim memberikan tugas kepada Zainul Arifin sebagai panglimanya dengan markas tertinggi berkedudukan di Jakarta. Untuk menggarap perjuangan lewat dunia seni dan hiburan, ia memberikan kepercayaan kepada Djamaluddin Malik, pengusaha kaya dan produser film asal Sumatra Barat.

Itulah KH A Wahid Hasyim. Dia pembaharu di lingkungan NU, pemersatu di kalangan tokoh pergerakan dan perjuangan. Ia mempraktikkan suatu cara dan sikap politik yang santun, komunikatif, dan menghargai posisi serta pendapat kelompok lain. Hubungan baik dengan semua pihak selalu dijaga sehingga selalu ada kesempatan untuk memahami pendirian mereka dan menjelaskan posisi kita.

KH A Wahid Hasyim juga seorang pemimpin Islam yang matang. Ia bisa menyelipkan kepentingan umat Islam dalam perjuangan besar bangsa sehingga kebersamaan dengan kelompok lain tetap terpelihara. Pada saat yang sama, perjuangan bersama untuk menegakkan martabat bangsa tidak menghilangkan keyakinan dan identitasnya sebagai umat beragama.

Dewasa ini politik kita mengalami degradasi yang luar biasa. Setiap golongan cenderung merasa paling benar dan mementingkan kepentingan kelompoknya. Cita-cita nasional pun semakin tidak jelas. Sangat terasa bangsa ini memerlukan sosok pemimpin seperti KH A Wahid Hasyim.

Ikhtisar

- Hasyim Asy'ari sangat memegang teguh persatuan umat.
- Tokoh Islam selayaknya lihai berdiplomasi.
- Silarurahmi menjadi kunci persatuan umat Islam dan bangsa Indonesia.

No comments:

A r s i p