Wednesday, February 13, 2008

Menghentikan Konflik TNI-Polri


Rabu, 13 Februari 2008 | 01:53 WIB

Oleh: Adrianus Meliala

Konflik TNI-Polri bukannya mereda malah terus terjadi. Konflik yang baru saja terjadi di Masohi-Seram Barat menunjukkan tidak ada yang berubah terkait konflik antaraparat bersenjata.

Konflik umumnya diawali insiden kecil antaranggota TNI dan Polri, dilanjutkan beredarnya isu, diakhiri konflik yang hampir selalu dimulai dari pihak TNI.

Berbagai usaha, konon, telah dilakukan jajaran pimpinan (terutama dari) TNI AD sebagai elemen TNI yang paling sering bertikai dengan Polri. Mulai dari briefing pada saat jam komandan, penegasan dan sosialisasi tentang konstelasi TNI-Polri dewasa ini, hingga penghukuman bagi perusuh sudah dilakukan. Namun, dilihat dari dampak, berbagai usaha itu tampaknya kurang efektif atau sia-sia jika dilihat dari masih adanya konflik serupa dari waktu ke waktu.

Tulisan ini mengajukan beberapa solusi guna menghentikan konflik TNI-Polri tanpa harus mengubah platform dasar yang seharusnya kita terima, yakni pemisahan organisasi, struktur, dan fungsi di antara keduanya.

Menciptakan jarak

Dewasa ini, betapa pun keduanya berbeda secara organisasi, struktur, maupun fungsi, tetapi interaksi di antara keduanya masih tinggi. Banyak pihak masih menyebut TNI-Polri dalam satu napas; tidak afdol jika melihat TNI tanpa kehadiran Polri. Saat rapat kabinet atau dalam acara kenegaraan, Panglima TNI senantiasa disandingkan dengan Kepala Polri. Saat upacara pengambilan sumpah setia lulusan Akademi Militer juga diikuti lulusan Akademi Kepolisian. Di daerah, kepala koter TNI dan satwil Polri masih sama-sama menjadi anggota muspida/muspika.

Contoh lain, saat pemakaman mantan Presiden Soeharto, anggota pasukan elite Polri menjadi salah satu penjaga peti jenazah selain tiga personel mewakili tiga korps pasukan elite TNI.

Menurut saya, frekuensi interaksi yang tinggi ini jelas menyumbang latennya kecemburuan, khususnya di kalangan TNI. Jajaran bawah TNI bisa mudah terlupa bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya, termasuk perbedaan rezeki.

Terkait itu, berbagai pihak seharusnya konsisten membuat kedua lembaga itu berjarak, tidak hanya terkait hal-hal yang bersifat simbolik, tetapi juga fisik. Upaya memindahkan barak-barak TNI dari perkotaan seyogianya telah dimulai. Demikian pula jumlah personel TNI yang bertugas di komando-komando teritorial (mulai dari kodam sampai koramil) seyogianya mulai dikurangi.

Besar harapan, dengan berkurangnya jumlah kontak fisik di antara personel kedua kesatuan, kemungkinan terjadinya perselisihan yang berbuntut konflik bersenjata akan jauh berkurang.

Tujuan lebih tinggi

Dari sudut psikologi kelompok, kompetisi atau persaingan di antara dua kelompok yang berpotensi meruncing dan destruktif bisa dihindari apabila diciptakan suatu ”tujuan bersama” yang bersifat mengatasi atau lebih tinggi dari tujuan masing-masing kelompok semata. Adanya tujuan yang lebih tinggi (higher objectives) itu dapat menjadikan, entah kecemburuan atau persaingan, hilang, tertutupi, atau tergantikan. Inilah strategi kedua.

Jika strategi ini dipilih, upaya pencarian dan pembentukan tujuan bersama yang bisa menyatukan moril TNI dan Polri bukan pekerjaan mudah. Salah satu penyebabnya, kembali, terkait perbedaan tugas dan fungsi di antara keduanya. Ada ahli yang mengambil analogi air dan minyak, mana bisa disatukan?

Penyebab lain adalah berbedanya kondisi bangsa saat ini dibanding di era Soeharto, di mana isu atau fakta dapat direkayasa sedemikian rupa dalam rangka penciptaan kondisi tertentu. Kini, cipta kondisi dalam rangka pembentukan tujuan bersama yang baru dan dapat mengatasi perbedaan TNI dan Polri amat tidak mudah dilakukan.

Dalam amatan saya, TNI dan Polri hanya pernah terlihat amat padu dan bahu-membahu saat terjadi musibah Tsunami di Aceh, Desember 2004. Saat itu, personel baju hijau dan baju coklat menjadi pelopor yang tanpa kenal lelah mengangkuti mayat-mayat dan puing reruntuhan. Masalahnya, amat jarang ditemui peristiwa sehebat tsunami Aceh yang bisa membuat personel militer dan kepolisian melepas ego korps masing-masing dan lebur dalam satu peran sebagai tiang negara.

Mengharapkan, apalagi mendoakan, adanya musibah atau invasi negara lain (yang diprediksi dapat menjadi tujuan mengatasi ego korps) tentu tidak rasional.

Peran perbantuan

Strategi ketiga yang bisa diterapkan adalah menghilangkan wilayah abu-abu (grey area) antara TNI-Polri dan sebaliknya, menjadikan perihal siapa berbuat apa, berapa lama, untuk apa, dan seterusnya. Dengan melakukan hal ini, diharapkan dapat menghilangkan hal-hal yang ada di tataran persepsional (seperti cemburu dan iri) atau tataran formal (terkait kewenangan yang dirasakan sama-sama dimiliki pihak TNI dan Polri). Diharapkan, dengan penghilangan grey area itu, akses kepada ”kesejahteraan” dalam arti luas dapat dinikmati para personel TNI.

Dan wilayah abu-abu adalah sebutan yang menunjuk sejumlah aktivitas yang diklaim militer sebagai operasi militer nonperang (military operations other than war/MOOTW). Jumlahnya cukup banyak, mulai dari mengatasi penyelundupan hingga terorisme, yang merupakan jenis kriminalitas yang sebenarnya menjadi ranah kewenangan kepolisian untuk mengatasinya.

Mengingat UU Pertahanan maupun UU TNI tidak dengan tegas mengatur persoalan bilamana dan di mana aktivitas tadi bisa dilakukan pihak militer, padahal di pihak lain UU Kepolisian lebih rinci menjelaskannya, perlu ada konsensus agar MOOTW diletakkan sebagai kegiatan perbantuan militer kepada polisi (military assistance to the police). Selanjutnya, dapat dengan mudah diatur bilamana dan di mana TNI dapat berada di ranah sipil dan dapat ”menikmati” kesejahteraan yang dipersepsikan dinikmati Polri karena mengurusi illegal logging, penyelundupan, terorisme, dan lainnya.

Atas hal-hal itu terdengar kabar, pihak TNI masih keberatan. Kedudukan TNI yang ”membantu” Polri, kabarnya, secara psikologis belum bisa diterima berbagai kalangan di TNI. Hal inilah yang, jika terus dipelihara, menjadi kondisi laten bagi munculnya konflik fisik di tingkat bawah.

Apa pun strategi yang dipilih, satu atau beberapa strategi, disarankan agar pihak-pihak terkait melakukannya dengan konsisten. TNI bersama Dephan perlu seiya-sekata terkait strategi yang dipilih serta menyiapkan roadmap yang pasti dengan patokan waktu serta indikator capaian yang jelas. Di pihak lain, Polri juga perlu membantu menciptakan kondisi kondusif guna memuluskan reformasi hubungan di antara keduanya.

Adrianus Meliala Kriminolog UI

No comments:

A r s i p