Tuesday, February 5, 2008

Demokrasi Burung Unta

enin, 4 Februari 2008 - 07:13 wib
Pola pengisian jabatan publik melalui proses pemilihan langsung belakangan ini semakin lantang digugat, meskipun demokrasi tetap didambakan.Yang paling santer disoroti adalah pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung.

Salah satu eksponen yang mengadvokasikan skema pilkada langsung adalah Nahdlatul Ulama (SINDO, 25 Januari 2008). Terhadap hal ini ada dua pertanyaan. Pertama, ada persoalan apa di balik pilkada langsung? Kedua, bagaimana kita menyikapinya?

Ada Apa dengan Pilkada Langsung?

Pilkada langsung diberlakukan sebagai upaya mendemokratiskan setiap sendi pemerintahan. Mengingat begitu banyaknya unit pemerintah daerah di negeri ini, upaya tersebut bersifat masif. Kalau ada mudarat di balik skema itu, sifatnya masif. Namun, kalau upaya ini berhasil,menembus titik-titik strategis demokrasi, yakni penentuan pejabat pembuat kebijakan publik, Indonesia akan cepat mendemokrasikan diri.

Masalahnya, ambisi memasifkan pemberlakuan demokrasi tidak berjalan beriring dengan peningkatan komitmen etis untuk berdemokrasi. Terjadi salah kaprah dalam proses demokratisasi di negeri ini. Pertama, demokrasi dipahami secara sangat simplistis, direduksi sekadar sebagai pemberlakuan prosedur, khususnya prosedur pengisian jabatan publik.

Ada yang mencibir: kalau jabatan sudah terisi, selesailah demokrasi. Demokrasi cukup dilakukan di bilik suara, tidak demokrasi sebelum dan sesudahnya. Karena wajah yang dikenal adalah wajah yang prosedural-mekanistis, penyelenggaraan pilkada langsung tidak menyentuh (Jawa: kalis) moralitas publik. Padanannya dalam kehidupan beragama, salat bagi muslim yang lemah imannya tidaklah lebih dari prosedur untuk membebaskan diri dari kewajiban.

Salat tidak membuat muslim yang bersangkutan semakin kuat keimanannya manakala prosedur salat hanya diperlakukan sebagai prosedur atau mekanisme beribadah. Problema berpilkada sebetulnya lebih buruk dari itu. Bukannya pilkada menjadi ajang peningkatan kadar demokrasi, pilkada justru menjadi medium mekanisme pembusukan politik. Pilkada langsung menjadikan ajang jor-joran semata untuk memastikan kontestan memenangi persaingan.

Praktik vote-buying yang populer dengan istilah money politics justru menjadi standar, bukan menjadi aib. Kalau toh disederhanakan sebagai acuan prosedural, pilkada langsung adalah prosedur memasuki rumah demokrasi. Kalaulah pilkada langsung adalah arena, ia haruslah dimasuki. Bagaimana perjalanan kita dalam berdemokrasi? Kita tersesat dalam demokratisasi karena hanya sanggup membaca satu sisi dan lupa (kalau sempat paham) terhadap sisi lainnya.

Sisi yang kita kenal adalah sisi aktor. Dari sisi ini, demokrasi adalah kesempatan untuk menggunakan hak untuk menduduki jabatan publik strategis. Sisi lain yang tidak kita hiraukan adalah sisi publik. Pilkada langsung adalah cara publik mengelola konflik. Demokrasi adalah pengelolaan konflik itu sendiri. Dengan kepiawaian kolektif dalam mengelola konflik ini, siapa pun yang terpilih adalah orang yang bisa diterima semua pihak.

Justru pendidikan politik untuk mengelola konflik kolektif inilah yang tidak kita asah. Persoalan dasarnya, sebagian besar dari kita hanya mau sisi enak dari pemilu, tidak ada cukup banyak yang bersedia repot-repot menanggung "biaya" pencegahan atau penanggulangan mudarat. Kita tidak punya infrastruktur pencegahan mudarat politik yang sekaligus mengefisienkan penggalangan kemaslahatan ketika terlibat dalam kontestasi politik.

Kita belum memiliki cara yang andal membagi beban-dan dengan demikian memudahkan dan memurahkan upaya meminimalkan mudarat. Ketika ormas-ormas Islam mendukung pilkada langsung, anjuran untuk melakukan perlombaan dalam kebaikan- sebagaimana dikenal dalam slogan fasta-biqul khairat- mudah terlupakan, dan tidak sedikit dari mereka terjebak dalam fastabiqul qabihat! Kalau gagasan demokrasi masih diterima oleh umat Islam, maka ada keniscayaan yang harus ditanggung, yakni mengondisikan agar mengikuti anjuran fastabiqul khairat lebih mudah dan lebih menyenangkan daripada terjebak dalam fastabiqul qabihat.

Sulitnya berdemokrasi melalui pilkada langsung adalah juga karena tidak tersedianya infrastruktur politik untuk itu. Kegagalan dalam menghentikan kecurangan, sebagai misal, memiliki akibat yang fatal.Kecurangan biasanya akan dibalas dengan kecurangan. Ancaman akan kalah karena dicurangi pihak lain- yang pada akhirnya menjadi alasan, kalau bukan insentif, untuk lebih gila-gilaan. Walhasil, kita terjebak pada suatu kehancuran sistemik.

So What?

Kita tersesat dalam proses demokratisasi melalui pintu pilkada langsung. Dalam situasi ini ada beberapa pilihan. Pertama, membatalkan agenda demokratisasi secara keseluruhan. Kita bisa berdalih demokrasi tidak sesuai dengan bangsa kita. Kedua, mengembangkan model rekrutmen yang demokratis, namun tidak melalui prosedur pemilihan langsung. Inilah yang dianjurkan oleh Nahdlatul Ulama.

Ketiga, meneruskan perjalanan demokrasi dengan memperbaiki kesalahan yang selama ini terjadi. Pilihan pertama, kalaupun disukai tentu tidak akan dikemukakan secara terbuka. Tidak ada pemimpin yang sanggup mengatakannya. Masyarakat juga tidak rela dikatakan tidak siap berdemokrasi. Artinya pilihannya tinggal dua, meneruskan pilkada langsung atau menghentikannya. Pilihan ketiga jelas sangat sulit, meski bukan hal yang mustahil.

Tetapi, justru itulah pokok persoalannya.Yang boleh keluar dari tantangan itu hanyalah burung unta. Burung raksasa ini memberi kita contoh buruk, "mengatasi" masalah dengan menenggelamkan mata (dan kepalanya) ke dalam pasir. Kalau itu pilihan kita, demokrasi kita adalah demokrasi burung unta.

Opsi kedua bukan saja tidak mengatasi pokok persoalan, melainkan hanya menunda persoalan. Pilkada langsung, dari kacamata ini, hadir sebagai beban, bukan event untuk mengukuhkan komitmen berdemokrasi. Bagaimana kalau kita membayangkan godaan dalam pilkada langsung sebagai ekuivalensi puasa. Bagi yang belum cukup penghayatan, puasa adalah beban.

Bagi orang yang beriman, puasa adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Tipisnya penghayatan demokrasi yang tumbuh dalam budaya pragmatis akan menggiring pilihan pragmatis: tidak usah repot-repot menyusahkan diri. Repotnya, demokrasi tidak bisa dilakui tanpa kerepotan dalam rekayasa sosial. Sangat disayangkan kalau usul penghentian pilkada langsung digiring motif menghindar keharusan memikul beban rekayasa sosial.

Sangat disayangkan kalau kesediaan membayar demokratisasi adalah dengan membayar secara cash yang menjebak kita dalam politik berbiaya tinggi, namun hasilnya adalah politik murahan. Usulan Nahdlatul Ulama sangat terhormat sekiranya berisikan usul sementara; dalam rangka mengejar ketertinggalan dalam pengembangan etika demokrasi, etika berpolitik secara beradab.

Pilkada langsung memang bukanlah keharusan mutlak, namun apa pun pilihannya ada syarat yang harus dipenuhi agar pilihannya meminimalkan mudarat. Syarat itu berlaku dan harus mengikat kita semua! (*)

DR. PURWO SANTOSO
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM

No comments:

A r s i p