Friday, February 1, 2008

Dilema RUU Pemilu


Regulasi pemilu dalam segala aspeknya kini menggelinding bak bola salju. Ia terus direproduksi oleh media massa dan menjadi isu yang semakin menggelembung.

Masyarakat pun kini sedang menanti penggodokan Rancangan Undang-undang (RUU Pemilu). Salah satu poin pembahasan yang kini masih alot, di antaranya adalah daerah pilihan dan pola penghitungan sisa suara terkait dengan parliamentary threshold (PT).

Terkait hal itu, tanpa pemahaman yang benar dari masyarakat, niscaya UU Pemilu nanti akan bias, tidak akuntabel dan semakin membingungkan. Akhirnya, partisipasi masyarakat dalam pemilu yang lanngsung, umum bebas dan rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil) akan terciderai oleh kebingungan dan ketidaktahuan mereka.

Electoral Threshold dan Parliamentary Threshold

Electoral Threshold (ET) adalah ambang batas diperbolehkan atau tidaknya partai politik (parpol) yang pernah mengikuti pemilu sebelumnya untuk menjadi kontestan pemilu berikutnya. Sistem ini merupakan cara mengetahui kepercayaan publik (public trust) melalui instrumen pemilu. Pemberlakuan ET bagi parpol yang pernah ikut pemilu sebelumnya telah diatur dalam UU, yang kisarannya 3 persen dari seluruh jumlah suara yang sah. Jika tidak memenuhi kuota tersebut, maka partai tersebut tidak boleh ikut pemilu berikutnya.

ET menjadi salah satu mekanisme demokrasi yang lebih adil. Jika ada partai peserta pemilu sebelumnya tidak dapat ikut dalam pemilu selanjutnya, itu wajar, karena partai tertentu tidak mempunyai dukungan yang signifikan di masyarakat sesuai dengan standar ET. Bagaimana jika partai yang terkena ET ingin mengikuti pemilu mendatang? Mekanisme tersebut diatur dalam UU, yaitu koalisi antarpartai yang terkena ET, sehingga memenuhi kuota ambang batas 3 persen sebagai standar ET. Hal itu bisa dilakukan dengan pintu ganda.

Pintu pertama, memilih salah satu partai yang tergabung dalam koalisi. Bila ada dua partai atau lebih berkoalisi untuk memenuhi prasarat batasan minimal ET, maka bisa dilakukan dengan memilih salah satu nama partai saja. Suara partai lainnya dimasukkan ke satu partai tersebut. Pintu kedua, menggabungkan nama partai. Misalnya dua partai atau lebih berkoalisi untuk memenuhi standar ET, maka mereka menggabungkan kombinasi nama dua partai.

Selain ET, Parliamentary Threshold (PT) kini masih menjadi polemik dan perbincangan publik yang menghangat. PT adalah ambang batas anggota partai politik yang akan duduk di parlemen. Artinya, ia menjadi pembatasan jumlah kursi minimal yang harus dimiliki partai politik untuk mendelegasikan calon legislatifnya. Standar nominal PT kini sedang diusulkan antara 2-3 persen. Jika disetujui 3 persen, maka standar minimal PT berjumlah 17 kursi.

Dalam mekanisme seperti ini, partai yang lolos ET bisa jadi tidak lolos dalam PT. Sehingga, meski ia bisa mengikuti pemilu berikutnya, namun tidak punya kursi di DPR. Dengan kata lain, dari mekanisme PT, akan ada banyak kursi hangus jika dalam proses penghitungan suara, sebuah partai tidak mendapat jumlah kursi minimal tersebut di atas. Hal itu sekaligus mengurai problem akut alotnya kesepakatan di dalam tim perumus RUU pemilu.

Bisa dipetakan, partai menengah dan partai kecil akan sangat waspada karena merekalah yang akan dirugikan. Maka, merekalah yang berposisi kontra. Sebaliknya partai-partai besar merasa diuntungkan, karena mereka akan semakin survive karena akan menerima hibah (pelimpahan) dari kursi hangus yang ada. Merekalah yang setuju dengan konsep ini. Itulah gambaran sederhana kenapa hingga kini RUU Pemilu masih sangat alot, baik di tingkat lobi maupun dalam pembahasan di tingkat panitia kerja (panja) dantimperumus (timus).

Terlepas dari aspek politis di atas, pemberlakuan PT dalam sistem sistem perolehan kursi mempunyai signifikansi penting dalam menata iklim demokrasi di Indonesia. Setidaknya ada tiga hal penting, yaitu: Pertama, munculnya simple multy party system (sistem multi partai sederhana).

Konsekuensi dari tidak terwakilinya partai-partai di parlemen karena tidak memenuhi standar PT, hanya memunculkan beberapa nama partai saja. Kemungkinan hanya ada sekitar tujuh partai yang akan eksis di DPR RI. Hal itu jika mekanisme penghitungan sisa suaranya dibawa ke tingkat provinsi. Kedua, terciptanya hubungan yang jelas antara pemerintah dan parlemen.

Dengan mekanisme seperti ini, parlemen akan membelah menjadi dua kutub. Kutub yang satu menjadi pendukung pemerintah dan kutub lainnya akan menjai oposisi. Keseimbangan dua kutub inilah yang akan semakin mengefektifkan kinerja berimbang dan sinergi, baik antara parlemen dengan pemerintah, maupun di parlemen sendiri.

Ketiga, konsistensi mengemban amanat UUD 1945. Hal itu dilihat dari konsistensi memperkokoh sistem pemerintahan presidensiil sesuai dengan UUD. Jika saja tidak ada PT, maka dengan banyaknya wakil partai yang duduk di parlemen, pemerintah sangat sulit mengontrol kebijakan mereka. Bahkan akan terjadi pembiakan kekuasaan yang justru bermuara dari parlemen.

Dengan kata lain, meski secara de jure sistemnya presidensil, namun de facto yang beropreasi adalah parlementer. Namun demikian, ada banyak problem subtansial yang perlu dibahas lebih jauh, yaitu mengenai pola penghitungan sisa suara, karena hal itu berhubungan langsung dengan ET maupun PT. Lebih jauh, hal itu juga terkait erat dengan problem mendasar tentang proporsionalitas sistem pemilu.

Dengan mekanisme PT, tidak ada keraguan PKB pun merupakan parpol nasional, meski basis-basis dukungannya terkonsentrase pada beberapa wilayah. Syaratnya, bagaimana sistem yang lain seperti penghitungan sisa suara juga diatur secara jelas. Maka, dalam menganalisis sistem pemilu, kita mesti tidak mengurainya secara parsial, karena satu dan lainnya terkait langsung.

Kita buktikan hal itu pada pemilu 2009 sebagai the real election (pemilihan yang sesungguhnya). Di atas segalanya, kita berharap agar RUU pemilu anggota DPD, DPR dan DPRD akan segera terselesaikan dengan baik dan mengandung amanat demokrasi demi kepentingan rakyat. Wallahu a'lam. (*)

Dr Ali Masykur Musa
Wakil Ketua Umum DPP PKB dan Panja RUU Pemilu

No comments:

A r s i p