Friday, February 1, 2008

Ajakan Pak Amien dan Status Hukum Pak Harto


Yuzril Ihza Mahendra

Dua malam yang lalu di Metro TV, saya diajak berdialog dengan Pak Amien Rais tentang ajakan beliau memberi maaf kepada mantan Presiden Soeharto dan status hukumnya. Sebelumnya saya memang telah membaca keterangan Pak Amien di media massa tentang ajakannya kepada rakyat dan kepada Presiden untuk memaafkan mantan Presiden Soeharto itu.

Landasan pemikiran Pak Amien kali ini adalah moralitas keagamaan. Sudah lewat empat Presiden, tetapi hingga sekarang langkah hukum menangani kasus mantan presiden itu tak kunjung tuntas. Kini mantan presiden itu terbaring di rumah sakit dalam keadaan kritis menghadapi sakaratul maut.

Karena upaya hukum tak pernah berhasil, Pak Amien berijtihad dengan memetik teladan dari para nabi. Kesimpulannya: Sudahlah kita maafkan saja Pak Harto agar beliau dapat meninggalkan dunia fana ini tanpa beban batin lagi. Beban batin Pak Harto sejak berhenti dari jabatannya yang berupa hujatan, kecaman, dan sanksi sosial lainnya, menurut Pak Amien, sudah cukup.

Saya mengamini saja pandangan Pak Amien karena pijakannya adalah moral keagamaan yang tentu tak relevan dibantah dari sudut pandang hukum tata negara. Memaafkan orang yang melakukan kesalahan adalah tindakan yang dianjurkan oleh agama.

Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Kepada saya juga ditanyakan: Bagaimana kalau yang memaafkan itu Presiden SBY atas nama rakyat Indonesia? Kalau saya harus menjawab dari sudut hukum tata negara, pertanyaan seperti itu memang tidak ada jawabannya.

Kalau secara pribadi dan secara lisan, Presiden SBY melakukan itu, tentu semuanya kita pulangkan kepada beliau. Pak Amien mengatakan Presiden itu dipilih rakyat. Karena itu, dia mendapat amanat rakyat. Maka, Presiden berhak mengemukakan sesuatu atas nama rakyat yang memilihnya.

Pendapat Pak Amien benar saja kalau dilihat dari sudut ilmu politik sesuai kepakaran beliau. Pertanyaan soal maaf-memaafkan ini terus berlanjut. Kepada saya ditanyakan pula apakah mantan Presiden Soeharto pernah minta maaf kepada rakyat. Apakah hal yang sama juga pernah dilakukan oleh keluarganya dan lebih khusus lagi oleh anak-anaknya.

Menjawab pertanyaan di atas, saya hanya merujuk kepada sebuah dokumen, yakni naskah 'Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia' yang ditandatangani dan dibacakan mantan Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998. Di samping naskah resmi yang disiapkan Sekretariat Negara, mantan Presiden Soeharto menambahkan dengan tulisan tangan pada halaman belakang teks itu yang antara lain berbunyi: ''Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin Negara dan Bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 45-nya''.

Tulisan tangan itu diberi paraf oleh beliau. Jadi, permintaan maaf itu telah diucapkan langsung oleh mantan Presiden Soeharto sendiri. Radio Trijaya bertanya kepada saya, bagaimana suasana hati mantan Presiden Soeharto ketika menyampaikan permintaan maaf itu. Apa beliau ikhlas atau karena ada tekanan politik. Saya menjawab, saya tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Saya bukan ahli nujum yang pandai membaca suasana hati seseorang, apalagi menilai ikhlas atau tidaknya.

Kalau permintaan maaf dari keluarga, khususnya anak-anaknya, saya belum pernah mendengar. Menurut pendapat saya, ketika mantan Presiden Soeharto kini dalam keadaan kritis maka jika keluarga beliau, khususnya anak-anaknya, menegaskan kembali permohonan maaf mantan Presiden Soeharto, atas segala kesalahan dan kekurangan selama beliau memimpin bangsa dan negara, pada hemat saya, hal itu baik juga jika dilakukan.

Sikap rendah hati yang dicerminkan dalam ucapan meminta maaf adalah sikap yang terpuji. Semuanya harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas. Bahwa kemungkinan ada sebagian rakyat yang sudi memaafkan, ada pula sebagian yang menolak, semua itu kita serahkan kepada pendirian dan keinginan masing-masing.

Apa yang penting, permohonan maaf sudah dilakukan. Kepada saya, banyak pula yang menanyakan, apakah pemberian maaf dapat dilakukan oleh Presiden SBY, dan apakah ada landasannya dalam hukum tata negara kita. Saya katakan, landasan hukum Presiden memberi maaf (dalam makna harfiah) tidak ada dalam hukum tata negara kita.

Namun, sebagai manusia, tentu boleh saja beliau memaafkan. Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 hanya mengatur hak Presiden untuk memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, di samping memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Di antara keempat hak Presiden ini, sampai sekarang baru grasi yang diatur dengan undang-undang.

Ketiga hak lainnya, belum ada undang-undang yang mengaturnya. Pelaksanaannya diserahkan kepada kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan. Kalau ditelaah keempat hak Presiden ini, yang paling mungkin dilakukan ialah memberikan rehabilitasi untuk memulihkan harkat, martabat, dan nama baik seseorang, yang oleh sesuatu sebab dianggap telah tercemarkan.

Masalah ini pernah dibahas serius oleh Presiden SBY mula-mula dengan melibatkan sejumlah menteri dan kemudian melibatkan para ketua lembaga-lembaga negara pada tanggal 10 sampai 12 Mei 2006. Kesimpulan pertemuan itu adalah semuanya sepakat kalau Presiden SBY memberikan rehabilitasi, bukan saja kepada mantan Presiden Soeharto, tetapi juga kepada mantan Presiden Soekarno.

Permasalahan hukum yang menyangkut mantan Presiden Soekarno di satu sisi ada unsur kesamaannya, tetapi tentu perbedaan latar belakangnya cukup besar. Sisi kesamaannya itu ialah adanya Ketetapan MPRS dan MPR.

Tentang mantan Presiden Soekarno Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 Pasal 6 yang menyatakan 'Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr Ir Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden. Sebagaimana kita maklum, sampai wafatnya mantan Presiden Soekarno, penyelesaian persoalan hukum itu tidak pernah dilakukan.

Masalah ini menjadi selesai dengan wafatnya mantan Presiden Soekarno. Dengan wafatnya beliau, maka maka segala tuntutan pidana otomatis gugur demi hukum. Terhadap mantan Presiden Soeharto, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Pasal 4 menyatakan: ''Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia''.

Langkah proses hukum pidana kepada mantan Presiden Soeharto telah dimulai dengan penyelidikan, penyidikan dan pelimpahan perkara ke pengadilan. Sidang pengadilan Jakarta Selatan yang dilaksanakan di Kantor Departemen Pertanian Jakarta Selatan telah dibuka oleh Ketua Majelis Hakim. Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat menghadirkan terdakwa dengan alasan sakit.

Sakit mantan Presiden Soeharto itu ternyata berlarut-larut dan berkepanjangan sehingga Pengadilan Jakarta Selatan kemudian menetapkan penuntutan perkara itu tidak dapat diterima dan menyatakan menghapusnya dari register perkara. Berkas perkara dikembalikan ke JPU.

Terhadap penetapan ini, JPU melakukan banding dan dilanjutkan dengan kasasi. Putusan Kasasi MA tanggal 28 September 2000 menyatakan penuntutan JPU terhadap terdakwa HM Soeharto tidak dapat diterima dan memerintahkan kepada JPU untuk melakukan pengobatan terdakwa sampai sembuh atas biaya negara, untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke pengadilan.

Ikhtisar:

- Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan.

- Ada tulisan tangan Pak Harto berisi permintaan maaf.

- Sepertinya belum ada permintaan maaf dari keluarga Soeharto, khususnya anak-anaknya

(Yusril Ihza Mahendra )

No comments:

A r s i p