Wednesday, February 20, 2008

Makin Banyak Pengurus NU Terjun ke Politik Praktis


Rabu, 20 Februari 2008 | 02:07 WIB

Jakarta, Kompas - Sejak pelaksanaan pemilihan kepala daerah, banyak tokoh Nahdlatul Ulama atau NU yang terjun ke politik praktis, baik dengan mencalonkan diri sebagai peserta pilkada maupun menjadi tim sukses dari calon tertentu. Kondisi ini dikhawatirkan membuat NU lupa akan gagasan dasar atau khittah- nya sebagai organisasi sosial keagamaan dan keumatan.

Hal itu diungkapkan Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar NU Masdar F Mas’udi di Jakarta, Senin (18/2). Kondisi ini menunjukkan ketidakberdayaan pengurus NU menahan diri dari godaan politik praktis yang sesungguhnya menjadi domain partai politik.

”Ini akan membuat publik semakin tidak percaya dengan ikrar NU untuk kembali ke khittah,” ingatnya lagi.

Beberapa pengurus NU yang turut dalam pilkada antara lain Ketua Pengurus Wilayah (PW) NU DKI Jakarta Fauzi Bowo yang kini menjadi gubernur, Ketua PWNU Jawa Timur Ali Maschan Moesa yang kini diperebutkan sejumlah parpol untuk dicalonkan dalam Pilkada Jatim, dan Ketua PWNU Jawa Tengah M Adnan yang dicalonkan sebagai calon wakil gubernur.

Pengurus badan otonom NU juga turut terjun dalam pilkada, seperti Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Saifullah Yusuf yang menjadi calon wakil gubernur dalam Pilkada Jatim Juli nanti.

Masdar mengakui, banyaknya figur utama NU yang ikut dalam pilkada membuat turun martabat organisasi. Padahal, mereka selama ini menjadi simbol dan representasi NU. Kondisi ini membuat NU dianggap sebagai alat politik elitenya saja.

”Para kiai yang mukhlis (orang yang ikhlas) dan arif di Dewan Syuriah NU sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap organisasi harus segera turun tangan menyelamatkan NU,” kata Masdar.

Tafsir ulang ”khittah”

Secara terpisah, pemerhati NU Zuhairi Misrawi mengatakan, jika dilihat dari deklarasi NU 1984 untuk kembali kepada khittah, keterlibatan pengurus NU dalam politik praktis memang menunjukkan kemunduran. Terlebih lagi, saat ini ada beberapa partai yang mengakomodasi suara warga NU.

Namun, dalam era pilkada dan desentralisasi saat ini, keterlibatan tokoh NU sulit dihindari. Potensi suara warga NU yang besar membuat banyak calon peserta pilkada ingin menjadikan NU sebagai kendaraan politiknya.

Namun, banyaknya kader NU yang ikut pilkada tidak seluruhnya membawa gagasan NU sebagai ormas yang memperjuangkan kesejahteraan lahir batin masyarakat. Mereka hanya mewakili NU secara politik, tetapi tidak membawa politik kemaslahatan NU dalam politik praktis.

”Tokoh NU yang ikut dalam pilkada justru terjebak dalam status quo yang tidak bisa mewujudkan perubahan. Bahkan, beberapa di antaranya justru terjebak dalam masalah,” ungkap Zuhairi lagi. (mzw)

No comments:

A r s i p