Saturday, February 2, 2008

TAJUK UTAMA


Sabtu, 2 Februari 2008 | 07:48 WIB

Peduli Moral Bangsa

Wacana pemberian gelar untuk almarhum Soeharto terus bergulir. Sarat nuansa kepentingan politik. Ujian untuk bangsa ini!

Kepedulian pada moral bangsa diangkat oleh sejumlah tokoh agama-agama di Metro, Lampung, akhir pekan lalu. Di antaranya mereka menyerukan revolusi mental budaya, pencerahan dalam bernegara, bermasyarakat, beragama.

Seruan mereka relevan kita garis bawahi. Mengapa? Karena, seperti mereka nyatakan, seruan itu bebas dari kepentingan politik praktis, berangkat dari hati nurani bersih.

Dalam sejarah, agama pernah menjadi tiang penyangga pengembangan masyarakat warga. Tetapi, dalam masyarakat modern, agama dikembalikan pada spiritualisme yang sifatnya pribadi. Agama bahkan sering tampil, memosisikan diri sebagai pendukung kemapanan, bertahan dengan semangat dan gagasan-gagasannya yang paternalistik, beku, mapan.

Sebaliknya justru peranan agama diperlukan kembali ketika perhatian dan komitmen elite politik dan praktik pemerintahan tidak lagi berpijak pada jati diri kekuasaan, yakni untuk kemaslahatan masyarakat banyak.

Ketika kekuasaan dibina, dikembangkan demi kelanggengan dan kebesaran kekuasaan, di sana agama perlu (secara moral) tampil. Agama yang melembaga atau menurut istilah Dawam Rahardjo sebagai agama publik dalam keadaan negara-bangsa semacam itu diperlukan.

Seruan tokoh agama-agama yang disampaikan di Metro, dikenal kemudian sebagai Kesepakatan Metro, sebaiknya tidak selesai sebagai seruan atau ”gonggongan”. Melainkan ajakan serius kepedulian pada moralitas bangsa. Seruan mereka bukan teriakan kosong di padang gurun, sebaliknya seruan di tengah hiruk-pikuknya persoalan bangsa ini.

Kepergian mantan Presiden Soeharto, yang masih meninggalkan tanda tanya menyangkut kasus perdatanya, perlu dikembalikan pada moralitas bangsa-negara ini, kita. Yakni, setelah kasus perdatanya selesai, seberapa jauh dengan hati nurani bersih perlu diambil keputusan soal gelar pahlawan, misalnya.

Ketika Tap MPR XI/1998 memasukkan Soeharto dalam kategori korupsi, dan tugas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla menyelesaikannya, hati nurani yang jauh dari kepentingan politik praktis menjadi masalah ketika buru-buru digulirkan wacana pemberian gelar pahlawan. Jangan sampai kita terjebak dalam pro atau kontra.

Kita hanya mengingatkan perlunya perhatian pada moralitas bangsa. Utamanya dalam kasus wacana gelar pahlawan untuk almarhum Soeharto perlu dilandasi hati bersih; mempertimbangkan segala hal secara utuh, cerdas-bijak. Tujuannya agar tidak terjebak dalam keputusan yang kontroversial, hanya karena diwarnai kepentingan politik praktis-sempit-sesaat, apalagi nostalgis.

***

Tentang Sikap Barat terhadap Diktator

Menarik apa yang dikatakan oleh lembaga pengawasan masalah HAM (Human Rights Watch, HRW) dalam laporan tahunannya kali ini.

Laporan itu antara lain menyebutkan, penguasa otoritarian di seluruh dunia bisa enak melanggar HAM karena AS dan negara-negara demokrasi mapan lainnya sudah puas dengan laporan bahwa mereka sudah menjadi demokratis karena menyelenggarakan pemilu.

AS dianggap lalai menuntut mereka agar menghormati hak-hak sipil dan politik warga, juga melengkapi persyaratan-persyaratan lain agar menjadi negara demokrasi sejati. Dengan itu, AS dan negara-negara demokrasi Barat telah membiarkan terjadinya pelanggaran HAM di berbagai tempat.

Meski demikian, Direktur Eksekutif HRW Kenneth Roth masih melihat ada tanda-tanda yang memberi harapan. Kenneth Roth menulis, bahkan diktator pun kini percaya bahwa rute untuk legitimasi harus melalui cara-cara demokratis (AP/JP, 1/2). Dalam kaitan pelanggaran rute demokratik ini, HRW menyebut sejumlah negara, seperti Kenya, Pakistan, Thailand, dan Rusia.

Menyimak laporan yang dikeluarkan HRW, orang bisa berkesimpulan ganda. Pertama, laporan itu seperti menempatkan AS dan negara-negara Barat sebagai pihak yang punya privelese untuk mengawasi negara-negara lain, pandangan yang bisa mendorong mereka melakukan intervensi. Padahal, negara-negara lain punya kedaulatan dan sistem pemerintahan sendiri.

Tetapi, pada sisi lain, kecenderungan untuk ”tergelincir” dari rute demokrasi juga mudah terjadi, khususnya di negara-negara yang masih dalam masa transisi. Padahal, keluar dari rel demokrasi acap diasosiasikan dengan praktik pelanggaran HAM.

Boleh jadi, laporan HRW ini harus kita pandang sebagai pengingat. Pengingat bahwa faktanya memang dewasa ini ada negara yang mengaku demokrasi hanya karena telah menyelenggarakan pemilu. HRW menyebutnya dengan istilah demokrasi palsu.

Baik juga kita simak lebih jauh, apakah negara yang sudah menyelenggarakan pemilu kemudian melengkapi persyaratan lain, seperti kebebasan pers, majelis perwakilan yang damai, serta berfungsinya masyarakat madani yang bisa mengontrol kekuasaan.

Pada akhirnya, demokratisasi kita persepsikan sebagai satu proses yang harus ditekuni, bukan hal yang seketika jadi. Bangsa dan pemimpinnya perlu berkomitmen penuh dan dengan sabar mengelola prosesnya. Ini boleh jadi lebih natural dibandingkan dengan demokrasi yang dimotivasi oleh praksis Barat, dan selalu membutuhkan kontrol Barat.

No comments:

A r s i p