Thursday, February 28, 2008

Korupsi dan Paradoks Demokrasi


Oleh Geger Riyanto


Selasa, 26 Februari 2007
Freedom House, sebuah lembaga internasional, berpandangan bahwa korupsi bertentangan dengan demokrasi. Dalam surveinya di 30 negara Afrika, Freedom House menemukan bahwa dengan akuntabilitas dan keterbukaan sektor publik, korupsi dapat diminimalisir. Fenomena tersebut dapat dilihat pada negara-negara Afrika Selatan dan Kenya. Sedangkan negara Zimbabwe yang menempati peringkat terendah dalam pemberantasan korupsi, memiliki sistem pemerintahan yang patrimonial dalam rezim Mugabe.
Namun, mirisnya, meski telah mencuat julukan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga, setelah India dan AS, di mata dunia Indonesia tetap dipandang sebagai negara yang korup, bahkan salah satu yang terkorup. Berbagai pemberitaan maupun penelitian yang telah diakukan hanya mengekalkan pandangan tentang Indonesia yang korup. Apa pasal?
Affan Gaffar (1993) membedakan dua dimensi tinjauan demokrasi dalam ilmu politik. Pertama, secara normatif, demokrasi diidentikkan dengan pemerintahan dari rakyat. Di Indonesia, aspek tersebut tercantum pada UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yang menegaskan, "Kedaulatan adalah di tangan rakyat". Nada-nada filsafat pencerahan ala Rosseauian memang sangat kental mewarnai perumusan demokrasi secara normatif.
Sedangkan secara prosedural, demokrasi merupakan mekanisme pemilihan pejabat publik yang akuntabel oleh rakyat melalui pemungutan suara. Perumusan ini bertitik tolak pada konsep demokrasi menurut Joseph Schumpeter (1942). Demokrasi bukanlah pemerintahan oleh rakyat, melainkan pemerintahan yang dijalankan oleh elite dengan bermodal dukungan dari rakyat. Bila disederhanakan, maka rakyatlah yang tampak memerintah. Nada realistik dalam perumusan Schumpeter ini, dielaborasi oleh Robert A Dahl (1971, 1989) dengan merumuskan demokrasi sebagai poliarki. Poliarki merupakan pemerintahan yang kekuatannya dipegang oleh beberapa orang, tetapi tentu tidak oleh semua rakyat.
Melalui perumusan tersebut, kita melihat bahwa dinamika antara demokrasi dengan korupsi tak terlepas dari peran nyata rakyat dalam ranah sosial-politik. Pada umumnya, semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, maka rakyatnya akan semakin sensitif dalam mempersepsikan bahwa korupsi bisa berdampak tidak baik bagi stabilitas politik jangka panjang di negaranya dan bagi dirinya sendiri. Dalam hal ini, hubungan demokratisasi dengan penurunan tingkat korupsi, tidak terlepas dari trend tuntutan rakyat di beberapa negara terhadap pemberantasan korupsi dalam sektor publik.
Oleh karena itulah, dalam beberapa literatur ilmu politik, seperti yang ditulis Seymour Martin Lipset (1959, 1960), Karl W Deutsch (1968) dan Bingham Powell (1984), variabel-variabel seperti pendapatan perkapita masyarakat, tinggi-rendahnya kemampuan baca-tulis, urbanisasi, dan besar-kecilnya masyarakat yang terekspose di media massa, merupakan fondasi yang penting untuk kualitas dan berlangsungnya demokrasi.
Tetapi ada trend lain pada hubungan antara demokrasi dan korupsi. Sebagaimana pernah diwacanakan oleh George Soros, bahwa kalangan bisnis lebih memilih untuk berinvestasi dalam negara yang bersih, ketimbang demokratis. Sebagai seorang usahawan, dapat diduga Soros mendasari pernyataannya kepada kenyataan bahwa negara demokratis belum tentu bersih dari korupsi.
Dalam hal ini, Singapura dapat menjadi contohnya. Dalam penelitian Freedom House, Negeri Singa tersebut ditempatkan sebagai negara yang semi-otoriter. Di sisi lain, negara tersebut menempati posisi negara ke-5 negara terbersih dari korupsi dalam CPI. Bagaimana menjelaskan fenomena ini?
Teori tentang sistem politik yang dirumuskan oleh David Easton (1953) sangat relevan untuk menjelaskannya. Dalam kerangka analisisnya, kita dapat melihat bahwa kecenderungan aksiomatik dari sistem politik adalah bersifat artikulatif, bahkan pada pemerintahan yang otoriter. Asumsinya, rakyat awam merupakan subjek yang menginginkan keteraturan dalam hidupnya, maka untuk memenuhi hukum permintaan, pemerintah muncul dari tubuh masyarakat itu sendiri sebagai penyedianya.
Dalam negara yang otoriter, pemerintah dapat menarik aspirasi rakyatnya tanpa prosedur-prosedur yang demokratis. Bandingkan fenomena ini, dengan fenomena kerajaan tradisional yang belum memiliki sistem demokrasi yang prosedural. Tindakan kolektif simbolik, seperti mogok bertani, merupakan sarana bagi rakyat untuk mengomunikasikan aspirasinya. Tanpa artikulasi yang baik, sistem politik tersebut akan hancur, entah melalui revolusi ataupun karena keruntuhan fondasi ekonominya.
Dalam proses modernisasi, pola-pola artikulasi terus diperbaharui menjadi lebih baik dan rasional melalui penetapan prosedur formal atau pembentukan institusi untuk menjalankannya. Tetapi sebagai eksponen dalam proses ini, rakyat memiliki peran yang signifikan. Misalnya dengan mengorganisasi diri sehingga memiliki kekuatan politik untuk bertindak menuntut perubahan dalam sistem.
Untuk konteks Indonesia saya kira sistem demokrasi prosedural memiliki potensi lebih baik untuk memajukan pemberantasan korupsi. Pasalnya dalam sejarah, sistem yang otoriter atau semi-otoriter membuka peluang korupsi. Sedangkan dalam periode demokrasi parlementer yang relatif singkat, mekanisme kontrol politik dapat dilakukan dengan baik, meski pemerintahan terasa kurang stabil karena perbedaan ideologis yang tajam.
Sedangkan dalam konteks Singapura, anatomi sosiologis untuk mempertimbangkan hal ini tentu berbeda. Singapura merupakan negara yang secara geografis seukuran kota, sehingga lebih mudah bagi pemerintah untuk memantau dan mengembangkan kehidupan warganya. Artikulasi politik yang baik lebih dimungkinkan tanpa perlu memenuhi prosedur demokrasi.
Untuk itu, saya kira pengukuran lain terhadap demokrasi yang dilakukan The Economist lebih relevan dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam penelitiannya, Litbang majalah tersebut menemukan bahwa Indonesia merupakan negara yang demokrasinya cacat (flawed democracy). Perhitungan tersebut ditinjau dari beberapa indikator, seperti proses elektoral, berjalannya pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.***
Penulis adalah penekun Sosiologi Pengetahuan Universitas Indonesia

No comments:

A r s i p