Monday, February 11, 2008

Reposisi Politik PKS


Senin, 11 Februari 2008 | 02:52 WIB

M Alfan Alfian

Musyawarah Kerja Nasional Partai Keadilan Sejahtera di Denpasar, Bali, menghasilkan rekomendasi seputar membangkitkan semangat kebangsaan di tengah keterpurukan bangsa.

Keterpurukan di sektor ekonomi dan budaya terasa kian mengikis nasionalisme dan semangat kebangkitan bangsa (Kompas, 4/2/2008).

Terkesan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tiba-tiba merekomendasikan konteks kebangsaan. Mengapa? Apakah sekadar meyakinkan bahwa PKS bukan kekuatan politik antipluralitas? Sebagai partai berideologi Islam, tampaknya PKS tidak mau dicap eksklusif. Karena itu, Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS tidak sekadar mengakomodasi, tetapi juga mempromosikan isu-isu pluralitas dan ”semangat kebangsaan”.

Menurut aktivis PKS, Fahri Hamzah, Ketua Majelis Syuro PKS KH Hilmi Aminudin mengatakan, siapa yang tidak mengakui keberagaman akan hancur. PKS hendak mengesankan partainya tidak antipluralitas.

Dengan mengusung isu itu PKS menargetkan dukungan suara 20 persen pada Pemilu 2009. Meski target itu—dengan melihat pengalaman dan perkembangannya di lapangan—masuk kategori ”optimis”, PKS harus tetap hati-hati. Salah satu problem, kalau bukan justru dilema partai politik ”berlabel Islam” adalah kesalahan dalam positioning.

Guna meraih tambahan suara, adakalanya mereka perlu ijtihad dengan tema-tema pluralitas. Tetapi, risikonya bisa gagal meraih segmen ”pemilih sekuler”, padahal segmen pemilih Islam simbolik yang setia, telanjur enggan. Pertanyaannya, apakah PKS telah benar-benar memikirkan konsekuensi itu?

Hal penting lain yang perlu diikuti perkembangannya adalah merebaknya gagasan koalisi politik PKS dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Wacananya masih embrional, tetapi mungkin saja Mukernas Bali adalah sinyal awal dari perwujudannya. Tentu saja semua masih berproses sesuai perkembangan dan kalkulasi politik. Bagi PKS, agaknya tidak ada soal akan berkoalisi dengan kekuatan politik mana pun. Dalam berpolitik, pertimbangannya lebih banyak pragmatis ketimbang ideologis.

Mukernas Bali juga merupakan sinyal bahwa pertimbangan ideologis bisa dibelakangkan.

Dengan manuver politik demikian, lagi-lagi, apakah PKS akan diikuti konstituen setianya? Tampaknya, kalaupun ada yang keluar, persentasenya tidak signifikan. Alasannya, belum ada partai yang dianggap identik dengan tampilan PKS pra-Mukernas Bali. Maka, mereka yang patah arang akan cenderung memilih golput. Apakah ada aliran signifikan ke partai Islam lain di luar PKS kelak? Tampaknya juga tidak. PKS telanjur membesar, terstruktur, dan infrastrukturnya cukup kuat. Dari segi citra, meski ada sinisme, belum tampak ada penurunan drastis.

Wajah lain

Tetapi, lagi-lagi tantangannya tidak ringan. Kompetisi politik makin tajam. Saat PKS ”melonggarkan bajunya” tidak akan semudah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya. Di PKB ada faktor daya tarik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ”bapak pluralisme”. Kalangan nonsantri NU, tepatnya non-Muslim, dalam banyak hal merasa nyaman bersama Gus Dur.

Upaya PKS menggelindingkan isu pluralitas tampaknya dilakukan dengan mempelajari banyak hal, termasuk belajar pada Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP), partai yang sedang berkuasa di Turki. Partai itu digerakkan oleh aktivis Islam dalam menyiasati kungkungan ideologi negara sekuler. AKP tidak menentang sekulerisme secara terbuka, tetapi aktivisnya mencoba tampil amat Islami. Mengapa AKP sukses, antara lain karena dinilai dapat bekerja dan berprestasi. Citra Islam yang modern, maju, dan ”terbuka” amat penting untuk menepis bahwa Islam adalah ”biang keladi” banyak persoalan.

Dengan tidak risi menyuarakan isu pluralitas, PKS kian mengesankan dirinya sebagai kekuatan politik Islam ”substansial” ketimbang ”simbolik”. Kelak, pemilihlah yang akan menentukan, apakah PKS dinaikkan derajatnya sebagai partai besar atau tetap yang sedang-sedang saja.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

 

No comments:

A r s i p