Friday, February 1, 2008

Khittah NU dan Godaan Politik

Mahmudi Asyari
Kandidat Doktor UIN Jakarta

Jika kita melakukan perjalanan di Jawa Tengah pasti menemukan baliho yang memuat pasangan bakal atau sudah menjadi calon gubernur dan wakil gubernur Bambang Sadono dan Muhammad Adnan. Penjodohan Muhammad Adnan yang ketua NU Jawa Tengah dengan Bambang Sadono tidak lebih dari sebuah keinginan pragmatis calon gubernur dalam rangka menjadi orang nomor satu di Jawa Tengah.

Asumsinya sangat sederhana, yaitu sebagaimana pernah dilakukan Megawati Sukarnoputri ketika melamar KH Hasyim Muzadi sebagai calon presiden dan wakil presiden. Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi massa (ormas) Islam terbesar di Indonesia yang berarti pula mesti mempunyai pendukung yang besar terutama di kalangan umat Islam pedesaan.

Berdasarkan hal itu, dapat dimengerti penetapan Muhammad Adnan tidak lain dalam rangka mendulang suara umat Islam dari kalangan NU. Terlepas dari tujuan pragmatis itu untuk ke sekian kalinya NU meskipun sejumlah tokohnya akan melakukan pembelaan, terseret ke permainan politik praktis yang nota bene juga sebuah 'pengkhianatan' terhadap jargon yang sering diungkapkan, terutama ketika tidak mendapat 'jatah' atau tersisihkan, yaitu bahwa NU tidak berpolitik praktis sesuai tuntutan Khittah 1926.

Khittah 1926 biasanya santer dikemukakan ketika terjadi ketidaksepahaman antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan orang-orang NU yang tidak berada di dalam partai itu, baik karena pemikiran mereka tidak diakomodasi atau tidak diperhitungkan sebagai calon politisi dari partai politik (parpol) yang dibidani Gus Dur tersebut. Adanya sejumlah fakta berkaitan dengan hal itu menunjukkan Khittah 1926 sekadar sebuah jargon manakala 'jatah' politik tidak diperoleh khususnya ketika PKB tidak mengakomodasi kepentingan itu.

Khittah tidak lebih dari upaya menghindar dari keterkaitan dengan PKB dan untuk kemudian 'hijrah' pada partai politik lain yang memberikan janji posisi politik tertentu. Tujuan pragmatis itu terlihat sangat kental dari penerimaan Muhammad Adnan.

Tindakan ketua NU Jateng itu menunjukkan Khittah 1926 berjalan tak konsisten dengan garis keorganisasian yang telah digariskan KH Hasyim Asy'ari. Menurut dia, NU ormas dan tidak berpolitik. Penegasan itu dilontarkan karena dia sudah mantap bahwa jalur politik umat Islam Indonesia ketika itu adalah Masyumi dan NU didorong untuk bersatu mendukung partai itu.

Bahkan, dalam suatu kesempatan ia pernah menyatakan mengutuk jika ada orang NU yang berusaha memecah belah Masyumi. Namun, fatwa itu dihancurkan anaknya sendiri, KH Wahid Hasyim, yang memunculkan NU sebagai parpol akibat kekecewaan sejumlah besar tokoh NU terhadap perebutan jabatan menteri agama oleh orang-orang non-NU.

Padahal, NU hanya meminta jatah jabatan politik itu. Namun, dalam praktiknya itu 'dirampas' oleh kelompok yang merasa berpendidikan modern. Hal itu sangat merugikan umat Islam karena NU keluar dari Masyumi dan menjelma sebagai parpol.

Konsekuensinya, umat Islam terpecah secara politik yang diperparah dengan penambahan muatan khilafiah fiqhiyyah dalam setiap perdebatan antara orang NU dan non-NU. Setelah fusi, NU melebur ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, sekali lagi Nahdliyyin merasa kecewa karena di partai itu pun menjadi kelas dua dan beberapa kali selalu dihambat ketika orang NU ingin menjadi pimpinan partai.

Pada muktamar Situbondo Khittah 1926 dimantapkan kembali dengan menegaskan ketiadaan keterikatan dengan PPP sampai berakhirnya Rezim Soeharto. Setelah Orde Baru jatuh, NU kembali tergiur dalam politik dan membentuk PKB yang mengantarkan Gus Dur sebagai Presiden.

Namun, wadah politik itu tidak membuat sejumlah tokoh NU untuk tidak berpetualang di luar PKB yang dalam beberapa kasus sama dengan Masyumi sebagai wadah politik kaum Nahdliyyin yang ditandai dengan maraknya sejumlah tokoh dan kyai NU untuk mencari jabatan politik melalui partai lain. Untuk petualangan itu mereka berdalih dengan Khittah 1926 yang ditafsirkan, PKB meskipun dilahirkan NU tidak ada keterikatan yang bersifat firm (kuat).

Ini berarti pula ulama NU tidak sepenuhnya rela melaksanakan Khittah 1926. Dari segi tuntutan pragmatis teoritis, tokoh NU memang menggiurkan politisi yang ingin meraih jabatan politik. Alasannya sederhana, karena ormas Islam itu terbesar. Bahkan, dalam sebuah kesempatan seorang pakar di sela-sela International Conference on Islamic Scholars (ICIS) II 2006 menyatakan bahwa secara amaliah di Indonesia semuanya NU.

Berdasarkan hal itu, wajar tokoh NU menjadi incaran pasangan dalam kompetensi politik dan dalam beberapa kasus berhasil. Meskipun demikian, asumsi semacam itu bukan jaminan karena untuk mendapatkan dukungan politik dari warga NU tidak semudah yang dibayangkan dan diasumsikan.

Berbeda dengan Muhammadiyah yang jalur organisasinya relatif lebih solid ke bawah. Rantai organisasi NU jauh lebih kompleks. Sebagai contoh, meskipun tidak bisa dijadikan dasar generalisasi, keputusan tanggal 1 Syawal 1428 H PBNU tidak sepenuhnya diamalkan oleh semua pesantren, paling tidak di Jawa Timur. Itu bukti kecil rantai organisasi tidak terlalu efektif.

Kyai kharismatik
Di NU banyak faktor yang mesti diperhitungkan dengan cermat, antara lain kyai kharismatik dan Gus Dur. Berkaitan dengan kyai pada umumnya memang menyatakan afiliasinya pada NU. Namun, belum tentu ia menyatakan subordinasinya di bawah PBNU atau cabang-cabang di bawahnya.

Dengan demikian, afiliasi itu hanya bisa diartikan secara kultural dalam arti kesepahaman sejumlah praktik keagamaan yang berbeda, khususnya dengan Muhammadiyah. Tidak mengherankan pimpinan NU memutuskan sesuatu, tapi sejumlah ulama yang berafiliasi memutuskan lain.

Hal ini bisa terjadi karena dalam NU kyai, terutama pimpinan (pemilik) pesantren, sangat otonom dan dalam banyak hal ketertundukan dengan PBNU jika menyangkut kepentingan menguntungkan. Jika tidak, mereka akan menentukan sendiri yang dianggap mendatangkan keuntungan.

Berdasarkan sifat otonom itu, dapat dikatakan NU tidak lebih dari sebuah wadah untuk berdiskusi, bukan penentu perintah yang bersifat top down. Menyikapi karakteristik organisasi NU itu, penempatan Muhammad Adnan sebagai bakal calon gubernur tidak menjadi jaminan karena harus berhadapan dengan hegemoni kyai, di samping ada ketentuan tokoh NU yang ingin mengejar jabatan politik harus melepaskan atribut NU.

Faktor selanjutnya adalah Gus Dur. Biasanya Gus Dur sangat kuat prinsipnya. Jika orang yang dikehendaki itu dihambat, dia akan menjadi drunken master (dewa mabuk) guna menggembosi orang NU yang dianggap tidak sejalan dengan garis politik PKB sebagai representasi kaum Nahdliyyin.

Dua faktor itu masalah yang mesti diantisipasi. Jika tidak, Muhammad Adnan sekalipun sebagai ketua PWNU, tidak akan banyak memberikan 'syafaat' politik bagi Bambang Sadono. Memperhatikan ambisi sejumlah politisi menggaet tokoh NU, saya harap orang yang berafiliasi itu menyadari kekuatannya.

Ikhtisar:
- Jargon negatif akan muncul jika prinsip ormas dikesampingkan.
- Pemunculan calon pemimpin dari tokoh utama ormas Islam tak selalu menjamin keberhasilan.
- NU harus menjaga diri agar tak diplesetkan menjadi nunut urip (numpang hidup).

No comments:

A r s i p