Friday, February 1, 2008

Harlah NU, Momentum Kemandirian Nahdliyin

H Bambang Adhyaksa
Wakil Bendahara PBNU

Dalam peringatan hari lahir (harlah) ke-82 Nahdlatul Ulama (NU) kali ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengusung tema besar 'Selamatkan Bangsa Melalui Gerakan Rahmatan Lil Alamin'. Sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di wilayah Indonesia, NU berperan sangat penting untuk mempertahankan eksistensi Ahlussunah Waljamaah (Aswaja) dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kini muncul beragam aliran dan paham dari luar. Padahal, berbagai aliran itu belum tentu sepaham dengan Aswaja dan sesuai dengan kultur Islam di Indonesia. Gerakan ini semakin massif setelah nuansa kepentingan yang mengarah pada politik dan kekuasaan turut menyertainya.

Dengan mengatasnamakan kepentingan agama serta dukungan keuangan yang kuat, kelompok tersebut makin aktif sosialisasi ide-idenya, bahkan dengan pola radikal dan ekstrim. Ini dapat dilihat ketika isu khilafah Islamiyah untuk mengganti sistem ketatanegaraan dan pemerintahan sering disampaikan dalam setiap kesempatan.

Ada juga ideologi transnasional yang dapat mengancam keutuhan NKRI, antara lain liberalisme, neoliberalisme, ekstrimisme, dan fundamentalisme. Kelompok itu lebih mengedepankan pahamnya daripada mementingkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.

Tidak mengherankan wajah Islam kelompok ini Islam yang terkesan radikal dan ekstrim, serta mengesampingkan nilai-nilai perdamaian dan pembelaan terhadap hak-hak minoritas. Ini sesuai dengan pernyataan Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi bahwa gebyar harlah NU kali ini bagian dari upaya memelihara pemikiran keagamaan yang domestik Indonesia.

Menurut Hasyim, banyak pengaruh dari luar masuk ke Indonesia dan berpotensi merusak pemikiran keagamaan khas Nusantara. Dalam konteks inilah setidaknya PBNU berkepentingan menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin guna menyelamatkan bangsa.

Secara internal organisasi, harlah NU ke-82 diharapkan mampu menjadi momentum mempersatukan Nahdliyyin setelah sejak reformasi warga NU terpecah. Untuk itu diperlukan pandangan politik kebangsaan, kenegarawanan bagi warga Nahdliyyin untuk menjadi pengayom dan penyejuk setiap insan sehingga Nahdliyyin dapat bergaul dan diterima di berbagai kelompok yang dapat merupakan alat perekat bagi persatuan bangsa dan sebagai alat perjuangan bagi kesejahteraan umat.

Prioritas pemberdayaan ekonomi
Hal penting yang menjadi agenda utama organisasi, khususnya dalam rangka peringatan itu adalah penguatan (empowering) warga Nahdliyyin dalam peningkatan kesejahteraan melalui berbagai kegiatan yang diharapkan dapat mempercepat kemandirian ekonomi santri dan kemandirian pondok pesantren sebagai basis utama komunitas Nahdliyyin. Realitas menunjukkan, angka kemiskinan masih tinggi, 37,17 juta (16,58 persen) dari penduduk Indonesia per Maret 2007 (Data BPS 2007).

Sebagian besar mereka ada di perdesaan (63,52 persen) yang berarti pula warga NU. Jumlah penduduk miskin ibarat fenomena gunus es. Ini berarti data matematik yang ditampilkan BPS hanyalah di permukaannya. Namun, realitas sesungguhnya bisa jadi jauh lebih besar. Yang lebih ekstrim lagi, menurut data Bank Dunia yang menggunakan standar kemiskinan PBB pada akhir 2007, jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih besar lagi.

Wacana pemberdayaan ekonomi warga Nahdliyyin sebenarnya sudah terdengar sejak dulu. Namun, belum bisa maksimal dalam implementasinya mengingat setelah reformasi fokus tokoh NU masih pada isu politik praktis dan pemikiran teologis keagamaan Aswaja.

Konsentrasi pada tataran pemikiran dan teologis penting bagi NU dan masyarakat. Namun, melihat realitas di atas, saatnya pemberdayaan ekonomi Nahdliyyin segera menjadi prioritas utama. Pemberdayaan ekonomi bagi warga Nahdliyyin akan mengangkat harkat dan martabat warga NU pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Melalui kemandirian ekonomi kemandirian lainnya akan dapat dicapai, seperti kemandirian politik dan dalam mengembangkan serta menyebarkan pemahaman keagamaan. Dengan begitu, dampak negatif globalisasi dapat diantisipasi.

Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, saat ini sedang disusun model pengembangan yang cocok diterapkan di kalangan Nahdliyyin. Namun, beberapa kesuksesan pengembangan ekonomi umat dengan semangat kewirausahaan yang dilakukan Pondok Pesantren (Ponpes) Sidogiri Pasuruan dan Pondok Modern Gontor Jawa Timur dan berbagai ponpes lainnya dapat menjadi sumber pembelajaran dan inspirasi.

Dengan basis kultural, yaitu masyarakat tradisional pesantren, mereka mampu membuktikan kemandirian umat melalui kemandirian dan pemberdayaan ekonomi.

Semangat khittah dan berwirausaha
Peran NU tidak diragukan lagi dalam membangun bangsa. NU mengalami dinamika dan pasang surut sesuai dengan situasi dan tantangan yang muncul. NU pernah menjadi salah partai politik pada Orde Lama dan Orde Baru yang akhirnya berfusi menjadi PPP pada 1973.

Setelah bergabung di PPP dan merasa tidak banyak diuntungkan, NU menyatakan diri kembali ke Khittah 26 pada 1985 dalam muktamar di Situbondo, Jawa Timur. Ini berarti NU tidak lagi berpolitik praktis.

Bisa dikatakan NU tidak ke mana-mana, tetapi ada di mana-mana. Semangat Khittah 26 harus dimaknai untuk kembali pada cita-cita awal, yakni memerangi keterbelakangan, baik secara mental maupun ekonomi.

Kebangkitan NU tidak hanya kebangkitan ulama, yang berarti kelompok elite, tetapi dalam jangka panjang bagi umat NU. Dari sinilah semangat berwirausaha di kalangan Nahdliyyin perlu lebih digalakkan dan diprogramkan secara sistematis.

Berwirausaha adalah suatu cara dan metode yang perlu dibangun dalam rangka pemberdayaan ekonomi Nahdliyyin. Nilai-nilai kewirausahaan tidak datang begitu saja dan tidak diberikan oleh siapa pun. Namun, harus diupayakan, diciptakan, dan diperjuangkan.

Secara teoritis dan konseptual, berwirausaha biasanya didorong oleh beberapa kondisi. Misalnya, orang tersebut lahir dan atau dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi kuat di bidang usaha (confidence modalities), orang tersebut berada dalam kondisi yang menekan sehingga tidak ada pilihan lain baginya selain menjadi wirausaha (tension modalities), seseorang yang mempersiapkan diri menjadi wirausahawan (emotion modalities).

Penelitian Mc Slelland (1961) di Amerika Serikat menunjukkan 50 persen pengusaha berasal dari keluarga pengusaha. Penelitian lain menyimpulkan tumbuhnya jiwa wirausaha karena keterpaksaan keadaan ekonomi keluarga yang sulit.

Kalau dilihat dari kondisi yang mendorong seseorang untuk berwirausaha, tampaknya model emotian modalities dan tension modalities dapat menggambarkan kondisi warga NU saat ini. Kondisi tertekan akibat kemiskinan dan termarginalkan. Semangat juang wirausaha di kalangan santri sebenarnya sudah berkobar-kobar.

Apabila pengusaha muda lahir di kalangan pesantren, jamiah Nahdliyyin yang selama ini secara kultural menguasai ilmu keagamaan akan berperan pula sebagai pelaku usaha yang syariah dan akan tersebar di komunitas Nahdliyyin yang berdampak nasional sebagai penggerak dan pelaku pertumbuhan ekonomi riil di seluruh pelosok Tanah Air.

Ikhtisar:
- Masih banyak kelompok Islam yang mementingkan diri sendiri.
- Dengan kemandirian ekonomi, aspek politik dan keagamaan juga bisa tercapai.
- Kebangkitan NU tidak hanya kebangkitan ulama.

( H Bambang Adhyaksa )

No comments:

A r s i p