Thursday, February 21, 2008

Pemilu dan Hegemoni



Meski pemilu masih 15 bulan lagi, suhu politik bangsa ini sudah naik-turun sangat cepat. Segala persiapan, baik teknis maupun nonteknis, mulai ditata. Hingga kini panitia kerja (panja) di DPR masih menggodok draf RUU Pemilu. Pada salah satu rapat panja beberapa waktu lalu ada hal menarik terkait pengaturan mengenai media massa dalam politik dan pemilu.

Perdebatan berasal dari pembahasan bahwa di luar agenda kampanye media massa dilarang memberitakan orang atau kelompok tertentu yang mengarah pada kampanye yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana membuat pembatasan dan kategorisasi: pemberitaan yang mengarah kepada kampanye dan menguntungkan atau merugikan peserta pemilu? Bagaimana mungkin membatasi media massa dengan perangkat aturan teknis,sementara media massa selama ini beroperasi pada wilayah nonteknis (kognisi pembaca).

Setidaknya dapat dikemukakan tiga alasan. Pertama, media massa mempunyai "mesin reproduksi kata" sangat canggih yang dipoles dalam berita. Ia tidak saja memengaruhi pembaca, tetapi mengarahkan mereka secara halus untuk selalu membenarkan apa yang dikatakan di dalam berita. Media menyediakan beragam makna dalam merepresentasi dan merekonstruksi fakta sekaligus tak terkatakan (unspeakable), yaitu beragam kepentingan politis dan finansial yang sengaja disembunyikan di balik berita.

Kedua,media mempunyai kekuatan hegemonik dalam menjalankan politik representasi. Ia juga sangat canggih menghadirkan kembali realitas yang dipermak secara dramatis. Dengan demikian,dunia perpolitikan hanya menjadi "realitas politik yang sudah dikemas (manufactured political realities)". Inilah era kekuasaan media (mediacracy)mencapai titik kulminasinya. Dengan kata lain,media secara sempurna mampu melakukan rekayasa terhadap realitas politik.

Lebih tepatnya media memiliki peran besar sebagai pendefinisi realitas politik (definer of political reality). Dengan pendekatan "hegemoni" ala Gramsci, ditemukan bahwa "kuasa media"berjalan dalam sistem dominasi dan berlangsung tidak dengan paksaan. Hubungan tersebut meminimalkan kontradiksi dan antagonisme, baik secara sosial maupun etis. Ketiga, media memiliki kemampuan "mengatur" masyarakat.

Media cenderung mengarahkan masyarakat memikirkan halhal yang tersaji dalam menunya, bukan apa yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakat itu sendiri. Saat media A berbicara tentang partai B, merembet pada media lain, masyarakat pun ikut terlena di dalamnya. Pada posisi ini,perhatian masyarakat cenderung lebih dipengaruhi gambaran media daripada situasi nyata dunia.

Media dan Politik Pencitraan

Menurut Jean Baudrillard, filosof dan pakar komunikasi Prancis,media massa merupakan agen simulasi yang mampu memproduksi realitas buatan yang bahkan tidak memiliki rujukan sama sekali dalam kehidupan kita.

Realitas buatan itu, ironisnya, lebih nyata dari kenyataan itu sendiri. Sebagai contoh konkret, kita dapat menyimak iklan-iklan politik yang bercerita tentang keagungan parpol dan kandidat presiden. Bukankah semua yang disajikan oleh advertensi semacam itu tidak lebih sebagai penampakan palsu (pseudo reality) yang penuh rayuan? Tentu saja bukan hanya pada kampanye yang dalam RUU Pemilu nyata-nyata diperbolehkan sebagai iklan.

Pemberitaan yang jelas-jelas berbasis fakta pun tak mampu lepas dari tangan dingin cengkeraman simulasi media sebagaimana gambaran beberapa poin yang telah saya sebut di atas. Pada titik ini,media massa tampak memiliki kekuatan atau efek simulacrum bagi khalayak yang cenderung bersikap pasif.Pembaca akan selalu berposisi dan diposisikan sebagai khalayak yang diam (silent majority).

Hal ini berarti masyarakat pembaca tidak mampu membedakan antara fakta (sesuatu yang asli) dengan fiksi (sesuatuyangsekadarbersifatrekaan). Pada saat bersamaan,mereka seolah tidak diberi ruang untuk mengambil jarak dan bersikap kritis atas reproduksi makna dalam pemberitaan. Silang sengkarut pemaknaan atas tanda yang didesain media itu menjadi ruang potensial bagi para politisi dan parpol peserta pemilu untuk membangun citra.

Pertarungan citra ini akan melahirkan liberalisasi politik yang menampakkan dua wajah dalam satu tubuh. Pada wajah pertama, penampakan luar (preface image)partai politik sengaja didesain secantik mungkin agar masyarakat tertarik memilihnya dan menjadi lebih populer, meski kadang berkebalikan dengan wajah aslinya. Hal ini yang memperlebar potensi pembohongan bagi publik yang pada akhirnya memunculkan ketidak percayaan publik (public distrust).

Wajah kedua, liberalisasi parpol menjadi bukti demokratisasi di masa transisi sedang bersemi. Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi menjadi wahana strategis dalam langkah sosialisasi visi dan misi calon dan parpol dalam ajang pemilu. Hal itu memotivasi mereka membenahi diri dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat.Perjumpaan antara kepentingan politik yang direpresentasikan para politisi dan kepentingan modal yang diwakili pemilik media akan menjelma menjadi kekuatan luar biasa yang mampu mendikte opini publik kepada satu muara common understanding.

Potensi ini tentu sudah terbaca dan dipersiapkan sepenuhnya olehparapolitisikita.Apalagi, politisi mempunyai kecenderungan bersembunyi di balik kalimatkalimat kabur,kata-kata yang berekor. Baudrillard dalam Simbolic Exchange and Death pernah menyindir, media tak pernah mampu lepas dari logika never ending circiut of capital accumulation (perputaran akumulasi kapital yang tak pernah putus).

Barangkali Baudrillard ingin mengatakan bahwa penguasa media adalah kepentingan modal dan pasar, baik pasar politik maupun lainnya. Di atas segalanya, media massa adalah replika dan miniatur demokrasi dengan latar belakang kebebasan di dalamnya.Kebebasan itu mengeksplorasi dan menembus segala lini kehidupan.

Anda tidak pernah menemukan demokrasi yang sebenarnya dalam politik, tapi dalam media anda akan menemukan bentuk terbaiknya.Tinggal bagaimana regulasi atasnya didesain sedemikian rupa agar bersinergi, antara aspek demokrasi dan kebebasan itu sendiri.(*)

Dr Ali Masykur Musa
Wakil Ketua Umum DPP PKB dan Anggota DPR

No comments:

A r s i p