Friday, February 1, 2008

Soeharto, Jawa, Santrinisasi


Oleh :M Bambang Pranowo

Guru Besar UIN Jakarta

Wafatnya Soeharto, mantan presiden kedua RI, Ahad (27/1) lalu, meninggalkan pelbagai kontroversi pendapat. Sebagian besar rakyat Indonesia, menurut jajak pendapat sejumlah media massa, menyatakan rela memaafkan semua kesalahan Pak Harto.

Amien Rais, tokoh reformasi yang paling depan dalam menjatuhkan Pak Harto dari Istana Merdeka, juga telah memaafkan Pak Harto. Amien bahkan minta rakyat Indonesia memaafkan dosa-dosa Pak Harto. Pernyataan Amien sempat menuai kecaman para aktivis yang pernah diculik dan disiksa rezim Orde Baru. Namun, sikap Amien merupakan refleksi seorang Muslim sejati. Apa yang dilakukan Amien semata-mata meniru Sunah Rasulullah.

Ketika Nabi Muhammad memenangkan peperangan dengan kaum kafir Quraisy dan masuk ke Makkah (Fathu Makkah), beberapa sahabat Rasul yang ingat akan kekejaman kaum Quraisy terhadap mereka menyatakan, ''Inilah hari pembantaian (al-yauma yaumul malhamah).'' Mendengar hal itu, Rasul Muhammad langsung mengoreksinya. Hari ini adalah hari kasih sayang (al-yauma yaumul marhamah).

Pada hari kasih sayang itu Rasulullah tidak hanya membebaskan anak-anak, perempuan, dan orang tua di Kota Makkah, tapi juga membebaskan orang-orang yang dulu pernah menghujat dan memeranginya. Keluarga Abu Jahal, misalnya, yang terkenal amat memusuhi Rasul, juga dibebaskan. Kaum Quraisy yang ketakutan dengan kedatangan pasukan Islam di Makkah akhirnya menyambut gembira kedatangan Rasul.

Dengan melihat sejarah Rasul, apa yang dinyatakan Pak Amien sebetulnya tak perlu diperdebatkan. Amien seorang Muslim sejati, niscaya akan mengikuti Sunah Rasul dan karena itu akan memaafkan Pak Harto. Terlepas dari persoalan itu, Soeharto dengan berbagai kesalahannya juga harus diakui sebagai orang yang amat berjasa membangun Indonesia. Soeharto, pinjam pernyataan ekonom Didiek J Rachbini, adalah ahli strategi yang paling hebat di Indonesia.

Pada awal Pak Harto menjadi presiden, kondisi ekonomi dan sosial Indonesia sangat kacau. Kemiskinan dan pergolakan sosial terjadi di mana-mana. Namun, Pak Harto bisa menyederhanakan berbagai persoalan hanya dengan satu kalimat: Penuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia.

Pak Harto berhasil. Itulah prestasi luar biasa Pak Harto pada awal-awal pemerintahannya yang kemudian menjadi landasan untuk menata dan membangun Indonesia. Soeharto mempunyai pribadi unik. Satu sisi seorang militer yang keras dan disiplin, tapi di sisi lain seorang Jawa yang lembut dan penuh unggah-ungguh. Paduan sikap Soeharto ini sangat mewarnai pemerintahannya.

Usaha keras Soeharto untuk mewujudkan kestabilan pemerintahan dalam batas-batas tertentu merupakan refleksi sikap kejawaannya yang tidak menyukai konflik terbuka. Sikapnya sebagai orang Jawa yang akomodatif dan menyukai keselarasan hidup menjadikan pemerintahannya stabil dan Indonesia mampu merangkul tetangga-tetangganya, seperti Singapura dan Malaysia yang pernah dimusuhi Orde Lama.

Kedatangan Lee Kuan Yew dan Mahathir Mohammad ke Jakarta untuk menjenguk Pak Harto bukti bahwa kejawaan Pak Harto yang menomorsatukan hidup selaras dan damai masih mengesankan kedua tokoh tua yang berhasil membangun negaranya masing-masing.

Islam di awal Rezim Soeharto
Para pengamat sosial sering mempertentangkan antara Islam dan Jawa. Clifford Geertz, misalnya, memilah-milah orang Jawa menjadi tiga golongan, santri, abangan, dan priyayi.

Pak Harto dalam kategori Geertz berdasarkan masa kecilnya adalah orang abangan. Namun, karena status sosialnya yang tinggi, apalagi setelah menikah dengan Siti Hartinah, gadis keturunan priyayi Jawa, Pak Harto masuk kategori priyayi. Yang namanya priyayi, tulis Allan A Samson dalam artikelnya Army and Islam in Indonesia, sulit beradaptasi dengan Islam.

Ketika Soeharto menjadi presiden, umat Islam tidak pernah membayangkan akan terjadi islamisasi birokrasi. Ini karena birokrasi dalam kultur Jawa identik dengan priyayi. Kondisi itu tetap kuat karena adanya pengaruh Nasakom yang diusung Bung Karno. Dalam Nasakom Bung Karno membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga golongan, yaitu nasionalis, agama, dan komunis.

Ketiganya, menurut Bung Karno, harus bergandeng tangan mempersatukan dan membesarkan Indonesia. Dalam praktiknya, penggolongan tersebut justru memecah-belah kehidupan keagamaan orang Jawa. Ini karena Islam seolah-olah identik hanya dengan pendukung partai Islam, sedangkan golongan nasionalis dan komunis bukan Islam. Kondisi ini berdampak pada menjauhnya Islam dari birokrasi.

Pada tahun 1960 dan 1970-an, umat Islam memang terpinggirkan dalam birokrasi, termasuk militer. Soalnya, pada massa itu, tulis Samson, antara militer dan birokrasi menjalin simbiosis mutualistis. Pada zaman Pak Harto, misalnya, hampir semua kepala daerah dan menteri-menteri yang mengurusi masalah-masalah strategis selalu berasal dari militer.

Itulah sebabnya pada masa itu antara militerisasi dan birokratisasi seakan-akan identik. Keduanya dalam kategori budaya Jawa termasuk golongan priyayi. Mereka sulit beradaptasi dengan Islam. Pada era itu akan dianggap aneh kalau di kantor-kantor pemerintahan ada masjid atau ada jenderal yang naik haji. Golongan priyayi dan santri saat itu seperti minyak dan air.

Terjadi perubahan
Marginalisasi golongan Islam dari birokrasi berubah ketika pemerintah menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Pancasila menjadi dasar setiap kebijakan dan langkah pemerintah. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi salah satu ukuran sebuah desa atau daerah sudah menerapkan Pancasila atau tidak.

Dalam lomba lurah teladan, misalnya, desa yang tak mempunyai tempat ibadah, lurahnya tidak akan terpilih menjadi lurah teladan. Padahal, di desa-desa, meski di pedalaman Jawa sekalipun, yang tempat ibadah identik dengan masjid. Hal ini bisa dimaklumi karena baik golongan abangan maupun priyayi, mayoritas menganut Islam. Tempat ibadah umat Islam adalah masjid. Karena itulah, kemudian masjid-masjid banyak berdiri di desa-desa untuk mendapat pengakuan bahwa desa tersebut telah menjalankan asas Pancasila.

Di pihak lain, keputusan pemerintah menerapkan masa mengambang sejak daerah tingkat kedua ke bawah juga mulai mematahkan mitos birokrasi bukan habitat kaum santri. Akibat kebijakan itu, partai berkuasa saat itu (Golkar) mulai merangkul kyai untuk bisa menarik massa Islam di daerah santri.

Di Golkar berdiri MDI (Majelis Dakwah Islamiyah) yang bertugas menggolkarkan massa santri. MDI bagian dari organ Golkar sehingga kyai dapat berhubungan erat dengan politisi Golkar dan birokrat yang pada gilirannya mendorong santrinisasi birokrasi.

Perpaduan pancasilaisasi dan golkarisasi ini membuat kategorisasi dikotomis santri dan abangan rontok. Di desa-desa yang dalam kategori Geertz banyak dihuni kaum abangan bermunculan masjid. Apalagi, setelah Pak Harto membentuk Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang usaha utamanya membangun masjid di daerah.

Kepedulian Golkar pada Islam ini berakibat terbukanya akses bagi santri untuk masuk birokrasi. Kondisi ini berkembang dan makin kuat lagi setelah Soeharto mengizinkan Habibie dan kawan-kawannya membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Hasilnya tampak jelas saat ini. Pada setiap kantor pemerintah ada masjid. Umat Islam banyak menduduki jabatan penting. Uniknya, pengaruh Islamisasi birokrasi menembus pula ke kraton yang menjadi pusat kebudayaan Jawa.

Acara semakan Alquran pada upacara perayaan di Kraton Yogya, misalnya, sudah menjadi tradisi baru. Ternyata Soeharto melalui pandangan Jawanya menciptakan santrinisai birokrasi. Inilah sumbangan terbesar Pak Harto pada perkembangan Islam di Indonesia. Selamat Jalan Pak Harto!

Ikhtisar
- Rasulullah Muhammad SAW sering memberi contoh memberikan maaf BR>meski pada orang yang sering menyakitinya.
- Soeharto mempunyai pribadi yang unik.
- Pak Harto menciptakan Islamisasi birokrasi.

No comments:

A r s i p