Thursday, February 21, 2008

Pemikiran dan Langkah Politik Gus Dur



Setiap disertasi memang harus mengemukakan temuan ilmiah, termasuk kritik-kritiknya. Kritik dan saran atau rekomendasi bahkan sudah dianggap bagian dari ritualitas penulisan sebuah disertasi sehingga harus selalu ada.

Itu jugalah yang dilakukan oleh Munawar Ahmad. Munawar mengemukakan tiga kritik atas Gus Dur. 1) Ahistoric in terminus( Gus Dur membangun terminologi sejarah tanpa rujukan bukti sejarah); 2) Contradictio in terminus (Gus Dur terjebak dalam kontradiksi antara spirit antikekerasan atau humanisme dengan penggunaan bahasa kekerasan); 3) Contradictio in actie (Gus Dur mengusung sekularisme bahwa tugas agama itu berbeda dengan tugas negara, namun pada kenyataannya selalu menggunakan pendekatan dan interpretasi agama). Menurut Munawar, kritik tersebut tidak mengurangi arti dan fungsi diskursus pemikiran politik Gus Dur yang cemerlang. Sebab, Gus Dur harus dilihat bukan hanya sebagai intelektual-pemikir tetapi juga agamawan, budayawan, dan pemain politik itu sendiri.

Langkah Taktis

Munawar benar. Saya banyak mengenal kiai yang menilai tak ada yang salah dengan pemikiran dan langkah-langkah Gus Dur. Kata kiai-kiai itu, setiap pembicaraan dan langkah Gus Dur selalu terkait dengan konteks dan situasinya sehingga tak dapat dipahami dari pernyataan harfiahnya semata.

Lagipula, harus dibedakan antara pemikiran politik dan langkah politik. Pemikiran politik Gus Dur sudah jelas dari lima traktatnya, tetapi langkah politiknya adakalanya memerlukan taktik dan strategi yang sekilas tampak kontradiksi dengan traktat itu. Untuk membangun demokrasi, adakalanya harus dilakukan dengan taktik yang tidak demokratis; karena atas nama demokrasi banyak orang yang berlaku curang, misalnya dengan money politics, pembunuhan karakter, atau rekayasa kotor lain.

Itu adalah kenyataan yang sehari-hari dapat kita lihat secara telanjang. Untuk membangun demokrasi yang kerap dikotori atas nama demokrasi itu, Gus Dur menyikapi dengan keras, kalau perlu tanpa prosedur yang demokratis, misalnya perintah pemecatan atau pembekuan tanpa prosedur yang bertele-tele. Di PKB, misalnya, dikembangkan semboyan "membangun demokrasi tanpa korupsi".

Gus Dur pernah diberi saran oleh Menlu Alwi Shihab agar sebagai presiden bersikap lebih lunak dan tidak sembarang menyerang orang. Saat itu Gus Dur menjawab agar Alwi mengurus dan terus membina para pejabat yang sudah baik, tetapi para preman dan koruptor akan diselesaikan dengan caranya sendiri. "Ente urus saja itu orang yang baik-baik agar tetap baik, yang preman-premen biar saya yang menyelesaikan. Preman harus dihadapi dengan cara preman," kata Gus Dur pada Alwi.

Dalam soal humanisme dan perkawanan secara pribadi, sikap-sikap Gus Dur tak diragukan oleh siapa pun. Dia bisa bersikap sama terhadap setiap orang tanpa membedakan jabatan atau kekayaannya. Ada contoh pengalaman pribadi tentang ini. Ketika terjadi kecelakaan pesawat Garuda pada 7 Maret 2007 kira-kira jam 10 pagi saya ditelepon oleh Munib Huda, sekretaris pribadi Gus Dur. Katanya, Gus Dur yang saat itu sedang dirawat di RSCM, ingin berbicara.

"Ya, Gus. Saya sedang di kantor; ada yang perlu saya kerjakan?" tanya saya mengawali pembicaraan. "Ini benar, suaranya Pak Mahfud?" tanya balik Gus Dur dengan nada ragu."Ya, Gus. Mengapa?" tanya saya. "Alhamdulillah. Ya sudah kalau ini suaranya Pak Mahfud, saya hanya mau tanya," jawab Gus Dur lagi. "Mengapa,Gus?" kejar saya penasaran.

"Ini lho, saya melihat di televisi pesawat Garuda kecelakaan di Yogya, ada korban namanya Mahfud, ternyata Mahfud lain.Ya, sudah alhamdulillah Pak Mahfud selamat," jawab Gus Dur lagi. Saya terharu karena dalam keadaan terbaring di rumah sakit Gus Dur menyempatkan diri menelepon saya hanya untuk bertanya dan memastikan mendengar suara saya. Saat itu saya memang mendapat banyak telepon dan SMS, seperti dari Ratu Hemas, Fadel Muhammad, Humas Pemda DIY, dan kolega-kolega di kampus, sampai sampai telepon saya hang.

Oleh sebab itu saya percaya berbagai contradictio antara pemikiran dan langkah politik Gus Dur sebagaimana dikemukakan oleh Munawar Ahmad dalam disertasinya sebagian besar adalah taktik atau strategi Gus Dur sebagai politikus. Yang penting informasi yang disampaikan kepada Gus Dur harus akurat, sebab dengan hambatan penglihatan seperti sekarang ini informasi yang diterima Gus Dur lebih banyak bergantung pada informasi lisan dari mereka yang selalu atau mau menemuinya.

Ethica Nechomochea

Tanpa mempersoalkan mutunya yang sudah dinyatakan lulus cum laude, disertasi Munawar dengan metode CDA-nya itu memang tak dapat sepenuhnya merekam apa yang sebenarnya terjadi dan memengaruhi Gus Dur sehingga tampil sebagai sosok pejuang demokrasi yang egaliter, pluralis, dan humanis.

Kesan tampilnya sosok Gus Dur yang seperti itu hanya diwarisi dari ulama-ulama NU, terutama dari kakeknya, Kiai Hasyim Asy'ari dan ayahnya Kiai Wahid Hasyim.Kesan yang seperti itu wajar karena metode disertasi ini hanya bertumpu pada tulisan-tulisan Gus Dur, tanpa mau mencari data primer seperti dengan wawancara. Gus Dur sendiri pernah bercerita kepada saya bahwa semua pandangan dan sikapnya yang seperti sekarang ini turut dibentuk oleh satu pengalaman tak terlupakan.

Pada tahun 1979, Gus Dur menghadiri seminar dan berkunjung ke perpustakaan di Maroko. Gus Dur berkesempatan membaca buku Ethica Nechomochea, karya Aristoteles yang hidup empat abad sebelum masehi atau 1.000 tahun sebelum datangnya agama Islam.

Kata Gus Dur, buku yang diterjemahkan oleh Ibn Rusyd menjadi Al- Kitaab al-Akhlaaq itu telah turut menuntunnya untuk memahami ajaran-ajaran Islam yang mulia tentang toleransi, egaliterianisme, dan masalah-masalah mendasar lain dalam berhubungan antarsesama manusia. "Setelah membaca buku itu saya menangis meraung-raung karena menemukan cara memahami kemuliaan ajaran Islam justru dari buku yang lahir jauh sebelum datangnya Islam. Kalau tidak membaca buku itu, mungkin saya menjadi seorang fundamentalis," kata Gus Dur. (habis)

Moh Mahfud MD
Guru Besar di UII, Ketua Dewan Pakar DPP PKB

No comments:

A r s i p