Saturday, February 2, 2008

Mengarungi Ekstremitas dan Tarikan Politik




Mohammad Bakir

Sering orang bertanya soal sikap para ulama Nahdlatul Ulama yang kadang membingungkan. Tak jarang orang kebanyakan melihat NU mirip gaya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dalam banyak hal sepertinya tidak konsisten. Lebih jauh lagi, mereka tidak paham mengapa jarang sekali kata sepakat dapat dicapai dalam tubuh NU, khususnya di kalangan ulama.

Sekadar contoh, sikap sebagian Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tidak mau menyebut Ahmadiyah sebagai sesat dan menyesatkan seperti telah diputuskan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Padahal, sebagian anggota MUI itu pun ulama dan anggota Syuriah PBNU. Rapat PBNU akhirnya memutuskan NU akan mengakomodasi semua komunitas agama di Indonesia.

Sejak awal NU didirikan, para ulama memang telah sepakat untuk mengembangkan NU dengan sikap tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), dan tawazun (berimbang). Meskipun dalam hal bermazhab mereka hanya membatasi pada empat mazhab: Maliki, Hanafi, Hambali, dan Syafii. Di Indonesia, mazhab Syafii yang memiliki paling banyak pengikut.

Sikap moderat inilah yang membuat NU sepertinya kenyal terhadap lingkungan zaman, atau mungkin tampak seperti tidak punya prinsip. Mungkin juga karena dalam banyak hal NU selalu berpegang pada ushul fiqih (filsafat hukum), yang memungkinkan munculnya penafsiran baru dari teks-teks suci seperti Al Quran dan hadis.

Munculnya penafsiran baru itu tentu tidak selamanya sejalan dengan apa yang ingin dicapai NU atau tepatnya para ulama NU. Apalagi, jika penafsiran itu hanya didasarkan pada logika tanpa merujuk pada kitab rujukan utama yang menjadi pedoman ulama generasi awal NU.

Tidak heran jika pada sebuah pertemuan informal di sela-sela Muktamar Pemikiran Islam NU di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus, Situbondo, akhir 2003, muncul kerisauan. Peserta muktamar yang sebagian adalah aktivis Jaringan Islam Liberal merisaukan pandangan sebagian ulama sepuh yang konservatif dalam melihat berbagai persoalan yang makin kompleks di masyarakat.

Para pemikir muda NU sadar, apa yang sering dilontarkannya memang kurang mendapat tempat di kitab rujukan utama itu sehingga agak sulit diterima ulama konservatif yang banyak memimpin pesantren.

Soal kepemimpinan perempuan, misalnya, para ulama konservatif masih tetap merujuk pada kitab rujukan utama atau kitab kuning yang tidak membolehkan perempuan menjadi presiden.

Dalam banyak hal, para pemikir muda lebih mengedepankan pendekatan hermeneutika (takwil) dalam memahami ajaran Islam, dan jarang mendasarkannya pada kitab kuning. Meski sebagian besar pemikir muda ini pernah tinggal dan belajar di pesantren, hanya sebagian kecil yang mendapat apresiasi di kalangan ulama pesantren terkait dengan penguasaan mereka terhadap kitab kuning.

Sejatinya, para ulama konservatif pun risau atas munculnya gejala liberalisme Islam di kalangan pemikir muda ini. Bahkan, ada yang mencap para pemikir muda ini tidak paham Islam. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir para pemikir muda ini memunculkan wacana tafsir ulang terhadap paham Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) yang selama ini menjadi pegangan utama ulama NU.

Kerisauan

Para ulama konservatif risau bahwa pendekatan hermeneutika, kalau dibiarkan, akan dapat mengguncang sikap-sikap dasar yang selama ini menjadi pegangan NU. Kitab kuning yang sudah menjadi semacam kitab suci di pesantren lambat tetapi pasti akan kehilangan pembacanya.

Prinsip mempertahankan sesuatu yang dianggap baik dan menerima sesuatu yang baru yang lebih baik bakal hambar oleh pendekatan hermeneutika yang cenderung meninggalkan hasil masa lalu.

Pemikiran liberal seperti itu sebetulnya sesuatu yang biasa di pesantren. Persoalannya menjadi lain ketika wacana keilmuan yang liberal di pesantren diangkat ke permukaan dan menjadi wacana publik. Ketika menjadi wacana publik, para ulama sepuh khawatir akan muncul persoalan keagamaan baru.

Pengaruh global

Mengapa dua kecenderungan ini melingkupi NU? Pertanyaan ini seolah sejalan dengan adanya semacam ”inkonsistensi” dalam pemikiran keagamaan NU.

Memasuki awal tahun 1970-an, sebagian generasi muda NU, seperti Gus Dur, meninggalkan Indonesia untuk belajar di Timur Tengah. Mereka tersebar di beberapa negara, yang tentunya menganut beragam mazhab dan pandangan. Di samping itu, menjelang pertengahan 1970-an, sebagian generasi muda NU mulai bergaul dengan Barat untuk memperdalam ilmu.

Sebagian lulusan Timur Tengah pulang ke Indonesia dan mewarisi pesantren, sebagian yang lain berkiprah di pemerintahan. Sebagian dari mereka tetap berpegang teguh pada mazhab Syafii yang dominan di Tanah Air, tetapi sebagian lain beralih pandangan pada mazhab lain, yang kurang akrab dengan para ulama pendahulunya. Sebagian dari mereka lalu cenderung bergerak ke kanan, konservatif. Gejala ini tidak dapat dibendung mengingat tidak semua universitas di Timur Tengah berwawasan moderat.

Untuk sekadar menyebut beberapa negara, sebelum tragedi 11 September 2001, Arab Saudi masih sangat lekat menganut paham Wahabi, gerakan pemurnian Islam yang digagas Muhammad bin Abdul Wahab, yang sangat puritan. Atau Iran yang sejak Revolusi Islam terus mengembangkan konsep negara Islam.

Dua aliran pemikiran, konservatif dan liberal, sekarang ini sama-sama hidup dan berkembang di tubuh NU, bahkan bukan tidak mungkin sudah saling melirik dan mencari kesempatan untuk dapat memimpin NU.

Sejauh ini, para ulama sepuh masih dapat menjadi perekat di antara mereka sehingga jarang terlihat perdebatan terbuka. Tetapi, untuk ”mendamaikan” keduanya, rasanya agak sulit dilakukan di tengah kondisi politik yang karut-marut ini.

Para pemikir liberal selama ini lebih gampang menjual idenya ke luar karena mereka cenderung lebih toleran. Mereka dianggap mewakili kalangan anak muda NU yang terdidik dan berpola pikir modern. Karena itu, mereka dengan mudah mendapat tempat di antara umat agama lain.

Hanya saja, seperti telah dijelaskan, tidak semua anak muda liberal ini memiliki basis pengetahuan keagamaan tradisional (kitab kuning) yang dianggap memadai. Meski sebagian besar berasal dari pesantren, mereka dianggap masih kurang menguasai kitab kuning kecuali hanya beberapa orang. Dilihat dari aspek ini, mereka agak sulit mendapat tempat di pesantren salafiyah (tradisional).

Di sisi lain, anak muda NU yang cenderung konservatif lebih banyak tinggal dan mengajar di pesantren. Mereka jarang keluar sarang, kecuali dalam acara resmi yang diadakan NU.

Kehadiran anak muda di pesantren telah mengubah penampilan dan kecenderungan pesantren, bahkan sebagian kecil pesantren NU telah menjadi lebih konservatif.

Tarikan politik

Di tengah pertarungan ini, sebagai organisasi NU juga dihadapkan pada tarik-menarik politik yang tidak mungkin dihindari. Jumlah warga NU yang cukup banyak, khususnya di Pulau Jawa, membuat para politisi berlomba mencari dukungan dari orang-orang NU. Alhasil, sebagian pengasuh pesantren lalu aktif berpolitik sehingga sering kali terjadi gesekan di antara sesama pengasuh pesantren. Untuk itu, lalu muncullah istilah ulama kultural dan ulama struktural.

Ulama kultural menunjukkan ulama yang paham politik, tetapi tidak menginginkan jabatan apa pun karena mereka lebih mengedepankan kerja untuk umat. Ulama struktural adalah mereka yang memang mencari tempat di struktur NU atau partai politik yang berbasis NU.

Dikotomi seperti ini, persis seperti antara pemikiran liberal dan konservatif, juga menimbulkan persoalan yang harus segera ditangani.

Pada hari ulang tahun ke-82 ini, rasanya PBNU sudah harus mulai beranjak dan bergegas untuk mencari dan mengakomodasi kedua kecenderungan tersebut agar ke depan PBNU tidak hanya sekadar menjadi pemadam kebakaran tanpa meninggalkan prinsip bahwa pilihan itu harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selamat ulang tahun.

No comments:

A r s i p