Monday, February 11, 2008

Partai Politik Organik!


Senin, 11 Februari 2008 | 03:24 WIB

Oleh : Piet Hizbullah Khaidir

Dalam acara silaturahmi DPP Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) ke PP Muhammadiyah, Kamis (24/1), mengemuka ide format partai politik ke depan, yaitu parpol organik (the organic political party). Mungkinkah format parpol organik ini mampu menjadi alternatif?

Pertanyaan di atas penting dikemukakan karena parpol terkadang dihinggapi tiga virus penghancur, yakni, pertama, budaya politik koruptif dan oligarkis; kedua, aktor politik sering kali ”dibajak” tren pasar dalam menggerakkan discourse; dan ketiga, orientasi hanya untuk kekuasaan dan elitis.

Pascareformasi 1998 dan masih berlangsung hingga sekarang, bermunculan parpol baru serta metamorfosa parpol lama. Parpol-parpol tersebut meng-install platform, identitas, serta isu utama sebagai trade mark, dengan jargon utama: demokrasi dengan tajuk, di antaranya, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, kesejahteraan rakyat (baca, murahnya harga kebutuhan pokok pangan, sandang, dan papan). Di antara parpol tersebut adalah Partai Keadilan (Sejahtera), Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, PDI-P, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Golkar. Pada Pemilu 2004, Partai Demokrat dengan cukup mengejutkan berada di posisi tujuh besar dan memenangi pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung.

Banyak perubahan dalam kultur politik, instrumen ekonomi, dan produk hukum yang memungkinkan terjadinya kemajuan dalam pemenuhan realisasi jargon utama demokrasi. Hal ini patut diapresiasi sebagai sumbangsih anak-anak bangsa di atas dalam upaya membangun negara-bangsa ini lebih baik.

Seymour M Lipset menyatakan bahwa faktor pokok yang mendasari keharusadaan parpol (the indispensability of political parties) adalah fungsi sosial dan politiknya yang dimaksudkan mampu menjadi mekanisme yang memungkinkan masyarakat luas untuk memengaruhi keputusan-keputusan politik utama dalam sebuah periode pemerintahan (dalam Journal of Democracy–Volume 11, Nomor 1, Januari 2000, 48-55).

Kegagalan parpol-parpol terletak pada komitmen pelaksanaan kata-kata, misalnya, ketika dihadapkan dengan kenyataan yang dialami masyarakat luas. Maka, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa tidak terpenuhinya komitmen tersebut merupakan ironi manajemen pemerintahan (governance) produk Pemilu 1999 dan 2004.

Mengacu Lipset tentang mekanisme pengambilan keputusan politik, tampaknya hanya terjadi dalam situasi yang mensyaratkan parpol yang didukung secara luas, kepemimpinan kuat, serta komitmen untuk melaksanakan program-program bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Parpol organik

Dalam dunia politik, parpol ini dikenal dengan sebutan organic living party (OLP). Parpol ini dengan platform dan program advokasinya senantiasa hadir (bukan hanya sekadar sebagai kepentingan politik perolehan suara) dalam membela kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, ideologi parpol ini— meminjam istilah Antonio Gamsci—adalah hadir di tengah masyarakat sebagai respons cepat terhadap berbagai krisis organik (organic crisis), seperti kemiskinan, kelaparan, hegemoni kelompok dominan dalam mengatur hak hidup kelompok pinggiran, dan lain-lain.

Poros gerakan parpol ini adalah komunitas tercerahkan (organic intellectuals), yaitu sekelompok elite parpol berlatar belakang apa saja, yang menyadari sepenuh hati bahwa sedang terjadi hegemoni atas situasi politik, budaya, ekonomi, dan sosial yang diakibatkan oleh relasi antara negara dan masyarakat yang tidak berimbang. Agenda terpenting komunitas tercerahkan itu adalah membangkitkan kesadaran masyarakat untuk ”meminta” hak-haknya sebagai warga negara agar dipenuhi oleh negara.

Dalam konteks Indonesia, parpol organik dengan pengertian di atas mungkin bisa saja relevan sebagai alternatif, kendati harus dengan tambahan- tambahan model gerakan. Misalnya, mengubah strategi konsolidasi dengan kerja langsung dan nyata; bukan sekadar melalui media massa untuk memopulerkan aktor dan parpol.

Pemilu 2009 tinggal satu tahun. Masih ada waktu untuk berubah dan berkonsolidasi. Dalam hal ini, parpol-parpol mestinya berusaha mendemonstrasikan model-model parpol organik: yang berfungsi tidak sekadar sebagai mesin, melainkan lahir dari basis kesadaran dan gerakan masyarakat. Sementara itu, elite parpol bertugas memfasilitasi kehendak masyarakat agar terkelola menjadi kebijakan-kebijakan politik yang memihak kepentingan mereka. Akhirul kalam, semoga kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya kita menjadi semakin baik pada masa-masa mendatang.

Piet Hizbullah Khaidir Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Direktur Program Center for Dialogue and Cooperation Among Civilisations (CDCC)

 

No comments:

A r s i p