Monday, February 11, 2008

Jalan Terjal Perempuan di Panggung Politik


Senin, 11 Februari 2008 | 03:23 WIB

Oleh : Sudirman H Nasir

Hiruk pikuk politik di Amerika Serikat (AS) saat ini bisa kita jadikan salah satu amsal betapa perempuan masih harus bergelut dengan kenyataan panggung politik yang maskulin dan tak ramah pada sosok perempuan.

Hillary Clinton, perempuan politisi yang tengah berusaha keras menjadi Presiden AS pertama yang berkelamin perempuan, menunjukkan betapa politik riil di negara maju seperti AS masih ”kejam” kepada perempuan.

Kekejaman panggung politik di AS terlihat dengan jelas ketika Hillary kalah pada kaukus Partai Demokrat di Iowa dan harus mengakui keunggulan Barack Obama dan John Edwards, dua sosok politisi laki-laki jagoan Partai Demokrat. Media massa tampak nyata menjadi cermin perpanjangan tangan budaya politik maskulin itu lewat liputannya yang sangat luas dan bias pada kekalahan Hillary.

Salah satu contoh adalah kecaman pada Hillary ketika ia tampak agak emosional (bahkan diberitakan menangis) ketika menghadapi kenyataan kalah di Iowa. Sejumlah politisi dan media massa bahkan mengeksploitasi ekspresi emosi Hillary itu dengan menyatakan Hillary memenangi pemilihan di New Hampshire akibat tangisan itu.

Dalam kasus Hillary, paling tidak ada dua standar ganda panggung politik dan liputan media massa. Pertama, ketika perempuan secara terbuka, serius, dan gigih merintis jalan meraih posisi puncak dalam dunia politik, ia dikecam sebagai sosok ambisius. Hillary banyak disorot bahkan dikritik (ironisnya, banyak di antara pengecam Hillary adalah perempuan) akibat ambisi politik dan keseriusannya mewujudkan ambisi itu.

Ideologi patriarki memang menerapkan standar ganda bahwa lelaki absah bahkan ”seharusnya” bersifat ambisius untuk meraih cita-cita sebagai bagian dari pengesahan dirinya sebagai sosok maskulin. Perempuan yang bersikap serupa dikecam dan dianggap menyeleweng dari ”kodrat” femininnya (betapa pun lemahnya pengertian ”kodrat” dalam kasus seperti ini).

Kedua, ketika perempuan politisi secara terbuka mengungkapkan emosinya, ia dianggap mengeksploitasi ”keperempuanan”-nya untuk mendapat simpati politik. Ekspresi emosi (yang oleh ideologi patriarki dilekatkan dengan identitas perempuan) itu juga dianggap sebagai tanda kelemahan dan secara salah kaprah dilihat sebagai tanda perempuan tak memiliki kekuatan memimpin.

Belakangan ini ada fenomena menarik di sejumlah negara, yaitu ungkapan atau ekspresi emosi pada politisi laki-laki mulai dianggap positif sebagai tanda dan ekspresi sisi humanitasnya, tetapi pada perempuan masih lebih banyak dianggap sebagai tanda kelemahan.

Sosok Margareth Thatcher yang kukuh dan dingin (hampir tak pernah menunjukkan emosi) masih sering dianggap sebagai norma, antara lain terlihat pada ungkapan yang pernah sangat terkenal bahwa Thatcher adalah ”satu-satunya lelaki dalam kabinet Inggris”.

Obyektif

Benar Hillary meraih suara besar dari kalangan perempuan pada pemilihan di New Hampshire yang ia menangkan, tetapi sulit menyebut kemenangan Hillary itu semata ditentukan oleh jenis kelaminnya. Jangan dilupakan Obama juga meraih banyak suara dari kalangan perempuan yang membuatnya menang di Iowa. Perbedaannya, tak ada politisi dan media massa di AS yang mengaitkan kemenangan Obama dengan jenis kelaminnya.

Michael Costello memberi pengamatan yang lebih berimbang dalam melihat kemenangan Hillary di New Hampshire dan kemenangan Obama di Iowa. Menurut dia, Obama menang di Iowa karena tim kampanyenya jauh lebih siap dan menguasai masalah secara rinci dibandingkan dengan tim Hillary. Di New Hampshire, giliran tim Hillary yang lebih siap yang membuatnya menang (The Australian, 11/1).

Lepas dari pengamatan yang berimbang dan berusaha lepas dari bias jender seperti yang dilakukan Costello, pengalaman Hillary (juga perempuan politisi lainnya) menunjukkan betapa masih terjalnya jalan perempuan di panggung politik.

Hillary, bukan yang pertama dan bukan satu-satunya politisi perempuan yang harus berhadapan dengan ”kekejaman” panggung politik yang maskulin itu. Megawati Soekarnoputri beberapa tahun lalu pasti merasakan betapa banyaknya pihak yang mengeksploitasi jenis kelaminnya yang perempuan ketika ia secara terbuka terjun di panggung politik di Indonesia.

Pengalaman Hillary di AS maupun Julia Gillard, Wakil Perdana Menteri (PM) Australia yang baru terpilih (bersama dengan PM Kevin Rudd) yang menghadapi eksploitasi, nyaris serupa, menunjukkan betapa di negara-negara maju kampiun demokrasi sekalipun, dunia politik masih sangat didominasi ideologi patriarki dan masih banyak menerapkan standar ganda bagi perempuan politisi.

Sudirman H Nasir Mahasiswa PhD pada Key Centre for Women’s Health dan Nossal Institute for Global Health, Universitas Melbourne, Australia

 

No comments:

A r s i p