Friday, February 1, 2008

NU, Kekuasaan, dan Civil Society

Muhammadun AS
Kader Muda NU, Staf Peneliti Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

Nahdlatul Ulama (NU) akan berusia 82 tahun pada Kamis 31 Januari 2008. Sebagai organisasi yang dinaungi para ulama dari seluruh pelosok pedesaan di Jawa, khususnya, NU menjadi organisasi sosial keagamaan yang sangat potensial menghadirkan mobilitas sosial paling signifikan di masyarakat.

Tidak salah kalau sejak didirikan tahun 1926, NU selalu menjadi bagian penting dalam sejarah pembentukan dan pemberdayaan bangsa. Terlebih lagi pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an, oleh Martin van Bruinessan (2004), dinilai NU yang sebelumnya dikenal sebagai jamaah konservatif, mampu hadir mencengangkan masyarakat modern karena berbagai gerakan sosial kemasyarakatannya mampu menyamai, bahkan melampaui gerakan praktis maupun gerakan pemikiran kaum modern.

Semua itu, lanjut Bruinessan, tidak bisa dilepaskan dari sosok bernama Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mampu menghembuskan gerakan intelektual yang brilian-excellent, dan sosok KH Ahmad Siddiq yang mampu merumuskan secara matang hubungan NU, negara, dan Pancasila dalam makalahnya yang berjudul 'Khittah Nahdliyyah'.

Kedua sosok tersebut mampu membawa NU mengontribusi bangsa. Gus Dur malah mampu melambungkan nama NU sebagai organisasi moderat yang sangat diperhitungkan secara internasional. Hal ini dibuktikan dengan terlibat aktifnya dia dalam berbagai forum perdamaian internasional sehingga dalam empat tahun terakhir NU mampu mengumpulkan berbagai cendekiawan Muslim se-Dunia dalam forum International Conference Islamic Scholar (ICIS) untuk mencari solusi tepat membangun perdamaian dan peradaban global.

Namun, setelah Gus Dur bersinggungan dan menjadi pemimpin negeri ini, juga setelah mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998, gerakan kultural NU semakin terpinggirkan. Terlebih lagi hingga saat ini konflik kekuasaan antarelite NU belum menemukan benang merahnya. Repotnya, elite NU mempergunakan atribut-atribut NU untuk menopang kesuksesan kepentingan kuasa tersebut.

Walaupun dalam Munas dan Konbes NU di Surabaya, 27 Juli 2006, Rais Aam PBNU, KH MA Sahal Mahfudh, dalam khutbah iftitahnya telah mengimbau para politisi untuk menanggalkan atribut NU dalam kegiatan politik, ada juga sebagian kyai NU yang justru mengusulkan dibentuknya partai politik baru yang dibidani PBNU untuk menyelesaikan kemelut di tubuh PKB.

Kalau dianalisis, jelas usulan tersebut bertentangan dengan keputusan Muktamar NU di Donohudan, Solo, yang menegaskan bahwa NU sudah menyapih politik praktis, tidak akan ikut campur dalam urusan politik warganya. NU hanya memberikan tausyiah berupa etika berpolitik yang menjunjung tinggi bangsa dan negara menuju khairu ummah.

Dengan demikian, walaupun PKB awalnya didirikan oleh PBNU, pasca-muktamar di Donohudan, antara PKB dan NU tidak ada hubungan secara struktural. Konflik PKB merupakan persoalan internal elite PKB. PBNU tidak akan mencampuri keputusan apa pun yang dihasilkan dari PKB. Walaupun demikian, secara kultural para ulama NU tetap memberikan arahan positif untuk keberlangsungan partai yang didirikan kyai tersebut.

Untuk itu, hubungan kultural tersebut jangan sampai menyeret atribut NU masuk dalam kancah polemik PKB sehingga upaya menemukan kembali kepribadian NU (rediscovery of NU's personality) sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat tetap terjaga secara konsisten (istiqomah). Dalam momentum hari ulang tahun ke-84, NU dituntut mengembangkan kembali agenda pemberdayaannya terhadap masyarakat grass root menuju civil society. Dalam konteks ini, menarik apa yang telah dilakukan PBNU dalam munas dan konbes di Surabaya beberapa hari lalu.

PBNU menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Pertamina dalam menjalin kerja sama usaha. PBNU melalui berbagai pesantren sanggup menjadi mitra kerja sama Pertamina dalam memasarkan produknya, termasuk membuat SPBU di lingkungan pesantren. Langkah spektakuler ini selain mampu memaksimalkan posisi strategis pesantren, juga mampu memompa semangat berbisnis kaum santri. Karena sebetulnya, peluang bisnis di lingkungan pesantren jauh lebih strategis daripada di tempat lain.

Itu tidak lain karena budaya patriarki Jawa yang menempatkan kyai sebagai sumbu dan poros kehidupan masyarakat. Dengan demikian, apa yang dilakukan kyai akan menarik perhatian dari masyarakat. Gairah semangat bisnis sebenarnya sudah diwariskan para founding fathers NU. Sebelum berdirinya NU tahun 1926, KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Sansuri, sebenarnya pernah mendirikan organisasi bernama Nahdlatut Tujjar (NT: kebangkitan para pedagang).

NT bergerak di berbagai pesantren dengan memasarkan produk satu pesantren dengan pesantren lain. Untuk konteks sekarang, apa yang dilakukan KH Sahal Mahfudh dengan pemberdayaan kaum pedesaan di Kecamatan Margoyoso Pati, Pesantren Sidogiri Pasuruan dengan koperasinya yang sangat terkenal, dan pesantren Sunan Drajat Lamongan dengan berbagai macam produk yang sampai berlevel ekspor, patut kita kagumi.

Seharusnya, PBNU mampu memberikan contoh-contoh konkret dan riil dan nalar berbisnis yang profesional kepada berbagai pesantren untuk membangkitkan semangat pemberdayaan kaum mustadl'afin. Kemampuan NU untuk segera merealisasikan pemberdayaan warga akan sangat membantu bangsa menghadapi kuatnya arus pasar bebas dan arus globalisasi.

Sekali kita terlena di era globalisasi, maka semakin cepat terjadi pembantaian dan pemiskinan terhadap kaum mustadl'afin. PBNU harus cepat memutus hubungan kongkalikong dengan politik praktis dan cepat pula membangun relasi dengan berbagai pengamat ekonomi dan praktisi ekonomi dalam menggugah semangat enterpreneurship warga NU dan rakyat Indonesia agar ke depan bangsa ini setahap demi tahap mampu keluar dari kungkungan krisis multidimensional yang tak kunjung usai.

Ikhtisar:

- Sangat sulit bagi para politisi NU untuk menanggalkan atribut organisasi tersebut.
- Dalam momentum hari ulang tahun ke-84, NU dituntut mengembangkan kembali agenda pemberdayaannya terhadap masyarakat grass root menuju civil society.
- Pengembangan SDM kaum nahdliyyin sangat penting untuk menghadapi era mendatang.

No comments:

A r s i p