Friday, February 1, 2008

NU, Ingin Melayani atau Dilayani?


Ahmad Tohari
Budayawan

Seorang teman meminta saya kali ini menulis tentang NU yang beberapa hari lagi mau berulang tahun ke-82. Sayang saya merasa kurang kompeten.

Tapi, saya punya catatan tentang pandangan kritis empat orang tokoh NU yang bisa menjadi pintu masuk bagi tulisan ini. Empat orang tersebut adalah Slamet Effendi Yusuf (SEY), KH Mustofa Bisri, Gus Dur, dan Masdar Farid Masudi. Semuanya orang dalam, tetapi kekritisan mereka patut direnungkan kembali bila NU mau belajar untuk kemajuan ke depan.

Pada 1980-an Slamet Effendi Yusuf yang kini menjadi tokoh Golkar mengatakan NU sedang mengalami proses menjadi fosil alias membeku menjadi batu. Saya menafsirkan ucapan dia begini. Sebagai sebuah organisasi NU hanya berjalan di tempat. Kondisi seperti ini bila dipandang dari posisi lain yang terus bergerak maju maka NU kelihatan sedang mundur dan terus tertinggal. Apakah benar demikian?

Jawabnya bisa langsung dilihat dari peran NU dalam kehidupan masyarakat dan negara saat ini. Di bidang sosial-ekonomi, politik, dan pemerintahan NU hanya berperan di sektor pinggiran. Juga di bidang pendidikan dan pengembangan SDM.

Beberapa tahun lalu di UGM dipaparkan suatu penelitian dan ternyata masyarakat pesantren (yang mayoritas NU) adalah kelompok yang tertinggal di bidang ekonomi. Fakta ini bisa menjadi pendukung yang memperkuat penilaian SEY bahwa NU sebagai sebuah organisasi sedang memfosil.

KH Mustofa Bisri dari Rembang terkenal dengan ucapannya: ''NU kuwi ora urip-urip, nanging ya ora mati-mati.'' (NU itu entah kapan bisa hidup, tapi tidak mati-mati juga). Pada beberapa kesempatan Gus Mus juga mengeluh karena puluhan tahun hidup sebagai organisasi NU belum juga mampu membangun diri sebagai sebuah sistem (jamiyyah), tapi tetap saja bertahan sebagai jamaah.

Saya menafsiri ucapan Gus Mus ini sebagai berikut. Sebelum NU berdiri pada 1926, di Indonesia berkembang masyarakat Islam ahlussunah tradisional yang mengakar sangat kuat. Para tokoh ulama seperti Kyai Saleh Darat di Semarang, Kyai Kholil do Bangkalan (Madura), Kyai Hasyim Asyari di Jombang, dan puluhan kyai besar lainnya telah berhasil mengembangkan paham Islam ahlussunah-tradisional yang sangat mengakar di masyarakat.

Demikian kuat tradisi mereka sehingga andaikata pada 1926 tidak ada proklamasi berdirinya NU, maka paham Islam ahlussunah-tradisional dipastikan akan tetap eksis dan berkembang. Keniscayaan ini menimbulkan pertanyaan, kok perlu-perlunya para ulama ahlussunah-tradisional itu membuat organisasi yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama?

Tentu ada perlunya! Apa itu? Menurut penafsiran saya, para ulama dulu mendirikan NU dengan tujuan membangun masyarakat ahlussunah wal jamaah yang mempunyai tiga ciri utama. Pertama, cerdas dan tidak tertinggal dalam hal ilmu, sains, maupun teknologi, bukan masyarakat ahlussunah yang jumud. Buktinya ulama dulu telah mendirikan lembaga Tasyfirul Afkar sebelum kelahiran NU.

Kedua, masyarakat ahlussunah yang maju di bidang perdagangan dan ekonomi, bukan masyarakat ahlussunah miskin. Keniscayaan ini dibuktikan dengan kelahiran lebih dahulu Nahdlatut Tujar. Saya berani bertaruh ulama ahlussunnah-tradisional lebih suka melihat umatnya maju di bidang perdagangan dan ekonomi daripada melihat umat yang mayoritas miskin seperti sekarang ini.

Ketiga, ulama terdahulu menghendaki umatnya punya rasa tanggung jawab terhadap maju mundurnya bangsa ini, punya rasa kebangsaan yang tinggi. Kalau tidak, para ulama tentu tidak merasa perlu mendirikan Nahdlatul Wathan jauh hari sebelum NU. Untuk mencapai tujuan mulia itu pasti diperlukan sebuah sarana yang bersifat jamiyyah dan sekali-kali tidak cukup hanya berupa jamaah. Artinya, NU wajib menjadi organisasi modern yang hidup.

NU harus taat asas dengan AD/ART, konsisten dengan program yang diputuskan dalam setiap muktamar, dan punya anggaran cukup yang ditarik dari anggota. NU harus diurus oleh yang kompeten dan punya dedikasi tinggi dari tingkat pusat sampai ke pengurus terbawah. Dalam pengertian lain, NU dituntut hadir dalam bentuk struktur dan sistem yang hidup. NU adalah struktural dan sekali-kali tidak ada tempat untuk istilah NU kultural.

NU kultural lebih tepat disebut jamaah Islam ahlussunah-tradisional. Artinya, sekali orang menyebut NU maka yang dimaksud sebuah lembaga struktural yang punya komitmen dan tindakan nyata membangun umat. Tahun 1990-an Gus Dur mengeluarkan ucapan yang cukup mengejutkan.

Katanya, bila NU tidak bisa memberi kemaslahatan kepada umat, dan hanya menguntungkan pemimpin, saya akan mengambil jarak dari kepengurusan NU. Saya menduga ucapan ini keluar karena Gus Dur melihat gejala yang ironis, banyak pemimpin NU tidak memikirkan kepentingan umat. Sebaliknya, umat malah terbebani oleh birahi politik pemimpin yang ikut berebut kekuasaan, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Dari empat tokoh NU tadi, Masdar bersuara lain. Dia bilang saat ini NU satu-satunya oraganisasi yang punya masa depan. Alasannya, hanya NU yang masih bisa menggerakkan massa dalam jumlah besar dan jaringannya menyebar dari ibu kota sampai ke pelosok desa. Juga wataknya yang moderat dan inklusif bisa menjadi bekal NU memasuki masa depan yang makin demokratis.

Saya setuju. Namun, untuk meraih kejayaan di masa depan kedua hal itu belum cukup. Masdar sendiri pasti yakin tanpa tata kelola yang bagus sebagai organisasi modern, NU akan tetap seperti sekarang, hidup enggan mati pun tak hendak.

Apalagi, jika para elitenya masih ingin terus dilayani, bukan melayani umat, NU akan tetap tertinggal. Kaum nahdliyin yang sebetulnya lebih tepat disebut kaum ahlussunah-tradisional, walaupun jumlahnya mayoritas, akan tetap tinggal di wilayah pinggiran.

No comments:

A r s i p