Tuesday, February 12, 2008

Memahlawankan Soeharto?



Soeharto pergi meninggalkan diskusi ramai tentang layak tidaknya gelar pahlawan nasional baginya. Layakkah gelar itu bagi Soeharto? Perlukah kepala negara menyematkan gelar itu kepadanya secara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya?

Alih-alih menjawab dua pertanyaan itu, saya ingin lebih menukik ke tema perdebatan lebih mendasar. Untuk apakah sebuah bangsa atau masyarakat membutuhkan pahlawan? Layakkah gelar pahlawan itu menjadi pemberian resmi negara, melalui keputusan kepala negara?

Setiap bangsa atau masyarakat jelas membutuhkan pahlawan. Mereka, para pahlawan itu, penting peranannya sebagai pembawa inspirasi dari masa lampau dan masa sekarang. Para pahlawan adalah setiap orang yang menyebarkan daya hidup yang mengagumkan. Mereka berlaku-lampah hidup dengan penuh kelayakan kemanusiaan.

Pahlawan semacam itu—seperti digarisbawahi Ignas Kleden (Tempo, 11-17/2/2008)—bukanlah orang-orang yang ”memberikan jasa khusus”, melainkan yang ”memberikan pengorbanan khusus”. Mereka tidak memberikan sesuatu, tetapi kehilangan sesuatu.

Mereka bisa datang dari masa lampau yang jauh atau dari hari-hari lalu dan kini yang dekat. Mereka bisa siapa saja dan datang dari profesi atau jenis aktivitas apa saja.

Para pahlawan semacam itulah yang dihadirkan Oprah Winfrey dalam beberapa episode khusus tayangan pamer cakap (talk show)-nya yang terkemuka.

Seorang korban peledakan bom kereta bawah tanah di London, misalnya, dihadirkan untuk menggambarkan betapa hebat daya hidupnya sekaligus betapa besar ruang permaafan yang dicadangkannya untuk para pelaku peledakan bom. Ia adalah pahlawan. Oprah menyebutnya ”shero” karena sang korban kebetulan seorang perempuan.

Melalui kehilangan besar (tubuh tak lagi sempurna dan nyawa yang nyaris terenggut) yang diberikannya, ia justru mengajari kita daya hidup dan penjagaan martabat.

Kita di Indonesia tak kekurangan para pahlawan semacam itu, laki-laki (hero) maupun perempuan (shero). Seorang pengayuh becak di Banjarmasin mengembalikan kupon bantuan langsung tunai karena merasa banyak orang lain di sekitarnya yang lebih membutuhkan, tapi tak mendapat kupon itu, adalah pahlawan. Seorang guru sekolah dasar di Papua yang bukan sekadar mewakafkan waktunya untuk mengajar, tapi kehilangan ”hidup nyaman” untuk membangunkan gairah maju anak-anak didiknya yang miskin, adalah pahlawan.

Celakanya, sejarah Indonesia sepanjang kemerdekaan justru alpa pada makna penting kehadiran para pahlawan itu. Narasi sejarah sebaliknya mengagung-agungkan orang besar yang berkutat di pusat kekuasaan politik dan ekonomi. Sejarah kemudian menjadi hikayat orang besar. Peradaban seolah-seolah dibangun dan dikendalikan oleh tokoh-tokoh sakti mandraguna seperti tokoh Wiranggaleng dalam novel Arus Balik-nya Pramoedya Ananta Toer.

Maka, sejak bersekolah dasar hingga sekolah menengah atas, yang senantiasa saya temukan di dinding sekeliling kelas adalah gambar-gambar para pahlawan. Sejarah Indonesia, dengan segenap darah, air mata, dan keringat orang-orang kebanyakan, pun disimplikasi seolah-olah kisah-kisah perjuangan satu orang besar ke orang besar lainnya.

Pahlawan selama ini telah didefinisikan secara keliru. Kekeliruan ini mesti dihentikan.

Kita mesti mulai menarasikan sejarah sebagai hasil kerja bersama semua orang tanpa kecuali dengan keterbatasan kapasitas dan peranannya masing-masing. Sejarah mesti memberi ruang bagi tiap orang untuk menjadi penentu.

Dalam perspektif lama, pemberian gelar pahlawan tak bisa lepas dari jerat pertimbangan politik yang kerap kali tak proporsional. Pemberian gelar pahlawan kerap kali dilakukan berdasarkan adagium lama: Sejarah disusun oleh mereka yang menang.

Maka, begitulah, ketika Orde Baru menjalani masa puncak kejayaannya, tokoh yang memiliki peranan penting dan menentukan dalam sejarah modern Indonesia tak disemati gelar pahlawan karena dipandang beroposisi terhadap kekuasaan Soeharto. Alih-alih dipahlawankan, tokoh semacam itu justru disingkirkan dan dibatasi aksesnya pada kemajuan. Dalam kasus Petisi 50, kekuasaan bahkan ”menghadiahi” mereka kematian perdata.

Menurut hemat saya, kita butuh perspektif baru. Negara tidak perlu memberikan gelar pahlawan. Pahlawan adalah identitas yang cukup diperlihara oleh para pengagum, pengikut, dan penerima inspirasinya. Negara hanya perlu memberikan tanda jasa dengan beragam bentuk atau derajatnya.

Walhasil, pertanyaan tentang kelayakan Soeharto sebagai pahlawan serta tentang kapan sebaiknya gelar pahlawan nasional itu diberikan kepala negara kepadanya menjadi tak lagi relevan.

EEP SAEFULLOH FATAH Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia

 

No comments:

A r s i p