Saturday, February 2, 2008

Ilusi Kekuatan Baru



Sabtu, 2 Februari 2008 | 07:47 WIB

Limas Sutanto

Menjelang konferensi internasional negara-negara penanda tangan konvensi antikorupsi PBB di Bali, 28 Januari-1 Februari 2008, Vedi R Haviz, ilmuwan National University of Singapore, menegaskan betapa kekuatan lama masih bercokol dalam kekuasaan nyata di Indonesia (di partai politik, DPR, eksekutif, dan lembaga peradilan).

Hal inilah yang menyebabkan republik ini tidak mampu keluar dari keterpurukan kendati sudah 10 tahun meninggalkan rezim Soeharto (Kompas, 25/1/2008).

Kekuatan lama dan baru

Pernyataan Haviz menjadi penting jika diletakkan pada perspektif psikodinamik, sekaligus pada perspektif interpretasi warga negeri terhadap fakta-fakta di seputar sepak terjang Pak Harto, yang mengerucut dalam seruan untuk memaafkan Pak Harto dan menghargai jasa-jasanya.

Penyebutan kekuatan lama mengandaikan adanya kekuatan baru. Tetapi, benarkah kekuatan baru ada di negeri ini? Jika kekuatan baru sungguh ada, kekuatan lama tidak akan mendapatkan tempat dalam kekuasaan pasca-Soeharto. Mestinya, baru dan lama itu ibarat minyak dan air, keduanya tidak akan bisa bercampur, mereka pasti memisahkan diri satu sama lain, dengan sendirinya.

Masih bercokolnya kekuatan lama dalam kekuasaan nyata mencerminkan, sesungguhnya tidak ada kekuatan baru di republik ini. Lucunya, kini berbagai pihak atau tokoh yang merasa sebagai bagian dari ”kekuatan baru” gemar mengeluh, republik ini tetap terpuruk karena kekuatan lama hanya berganti baju dan tetap bersarang dalam tampuk kekuasaan. Mereka yang merasa sebagai komponen ”kekuatan baru” hanya berilusi tentang diri sendiri, seolah mereka adalah kekuatan baru, padahal fakta menegaskan, mereka dapat bercampur dengan amat baik dengan kekuatan lama, dan ini menunjukkan, mereka adalah kekuatan lama, bukan kekuatan baru.

Tiadanya kekuatan baru juga tertandaskan oleh deret interpretasi membingungkan dari tokoh dan warga tentang fakta-fakta di seputar sepak terjang Pak Harto saat berkuasa. Rakyat dibingungkan oleh aneka pernyataan berbagai tokoh yang selama ini telanjur diilusikan sebagai bagian dari kekuatan baru. Berbagai tokoh itu berseru mengajak rakyat mengubur fakta dengan gundukan ”tindakan luhur” memaafkan Pak Harto. Perilaku mereka ini menegaskan betapa mereka pun sesungguhnya bukan komponen kekuatan baru.

Kejujuran

Bentangan perenungan itu mungkin mencukupi untuk mengentak kesadaran kita bahwa di republik ini tidak ada kekuatan baru dan betapa kita terkungkung dalam ilusi kekuatan baru. Dalam heningnya kesadaran, kita dapat merasakan betapa ilusi itu begitu meresap (pervasive).

Di tengah resapan ilusi yang mendalam itu kita merasa sah saja menjuluki babak kini pada republik ini sebagai ”era Reformasi”. Kita merasa benar ketika mengucapkan kalimat keliru yang bunyinya: ”Kita sudah mengarungi ’era Reformasi’ sejak tahun 1998”. Semua itu kita lafalkan dengan jiwa yang dikurung ilusi, yang menjadikan kita seperti tidak menyadari bahwa reformasi tidak bisa tidak bermaknakan duduknya kekuatan baru dalam kekuasaan nyata yang otomatis berarti tersingkirnya kekuatan lama dari kekuasaan.

Pada tataran paling substansial kita melihat di sana-sini rakyat sendirilah yang memilih orang-orang yang merupakan komponen kekuatan lama untuk menjadi pemimpin mereka.

Melalui proses pemilihan pemimpin secara langsung—dengan demikian proses itu sah disebut sebagai proses demokratis—rakyat memilih pemimpin di kabupaten, kota, provinsi, bahkan memilih pemimpin negara. Hasilnya, kini para penguasa menduduki kekuasaan nyata.

Apakah mayoritas dari para penguasa pilihan rakyat itu adalah orang-orang yang merupakan komponen kekuatan baru? Ataukah sebagian besar adalah orang-orang yang merupakan komponen kekuatan lama?

Tiada tumbuh-kembang yang dapat terjadi dalam kungkungan ilusi. Ketika kita terus berilusi tentang kekuatan baru di republik ini, kita tidak bertumbuh kembang alias terus terpuruk.

Kunci untuk keluar dari ilusi itu hanyalah kejujuran. Semua warga dan tokoh dituntut untuk jujur dan menumbuhkembangkan kejujuran, bukan untuk saling menghakimi, melainkan untuk keluar dari ilusi dan kembali ke realitas demi tumbuh-kembang bangsa dan negara ini.

Limas Sutanto Pengajar Psikoterapi dan Konseling di Universitas Negeri Malang

No comments:

A r s i p