Tuesday, February 5, 2008

Bongkar Pasang Konstitusi


Selasa, 5 Februari 2008 | 01:45 WIB

Emmanuel Subangun

Tindakan paling radikal Soeharto dalam politik adalah membongkar sistem multipartai menjadi sejenis partai tunggal di bawah Golkar (sebuah struktur). Golkar perlu 25 tahun untuk terbukti bahwa sistem itu menjadi ”disfungsional”. (Golkar adalah golongan fungsional.)

Sementara itu, tindak rezim reformasi paling fenomenal di bidang politik adalah bongkar pasang konstitusi, UUD ’45 [sebuah dokumen]. Nafsu di baliknya adalah desakralisasi naskah yang disakralkan Orde Baru. Nafsu itu kini dilanjutkan gagasan pemerintah/DPD untuk membongkar ulang konstitusi yang sudah terbongkar.

Tampaknya itu urusan sederhana. Pertama, agar perubahan tak diwarnai kepentingan sepihak, sebuah komisi dibentuk dan terdiri para ahli sehingga produk akan ”obyektif”. Kedua, karena pemerintah/DPD ada di bawah konstitusi, konstitusi macam apa yang akan lahir, akan diserahkan kepada MPR.

Sesederhana itukah bongkar pasang konstitusi?

50 tahun silam

Agar tidak tersandung dua kali, perlu diingat usaha kaum republiken seusai pemilu pertama 1955, yaitu meletakkan dasar konstitusi yang diterima semua pihak. Saat itu zaman ideologi nasakom. Jika disimak, perdebatan terkait tingkat ideologi dan akhirnya konstituante dibubarkan.

Jika dibandingkan sidang yang melahirkan Pancasila di mana arah sentripetal begitu dominan, sidang konstituante diwarnai gejolak sentrifugal! Pertanyaannya, apakah yang disebut para pakar itu murni dari ideologi? Karena, apa yang berlaku sebagai ”ideologi” zaman sekarang bukan lagi, misalnya, Islam versus komunis. Kini, ilmu dan teknologi pun sarat beban ideologi. Apa arti komisi yang terdiri dari pakar yang ahli di bidangnya? Jenis pakar macam apa yang terbebas dari ideologi dalam kancah politik?

Hal kedua, saat saya masih kuliah di Fakultas Hukum UI tahun 1970-an, mata kuliah ilmu tata negara—dosen Harmaily Ibrahim dan filsafat hukum, dosen Poernadi Purbotjaroko—adalah bidang yang tak banyak diminati. Saat itu adalah tahun Pancasila Sakti, UUD ’45 amat sakti, nyaris bersifat transenden. Kuliah yang diberikan amat berbeda dengan kuliah Djokosoetono pada dasawarsa sebelumnya yang sarat filsafat hukum kontinental.

Pertanyaannya, jika perdebatan seru dalam konstituante yang dilakukan para tokoh yang paham filsafat hukum, apa jadinya dengan para pakar zaman sekarang yang ahli di bidang legal, tetapi kurang siap bergerak di luar bidangnya?

Semua panitia bongkar pasang sadar, masalah konstitusi tak sekadar soal legal, tetapi sarat masalah ”teori” negara yang menyebar dalam banyak disiplin ilmu.

Kompleks

Persoalan konstitusi adalah tidak ringan, yang bukan saja soal legal, bikin undang-undang, dan legislasi, tetapi sepenuhnya memerlukan pemahaman konseptual memadai di bidang teori negara, sejarah politik, perbandingan sistem politik, filsafat hukum, dan seterusnya.

Di Indonesia, bidang multidimensional semacam ini tidak ada komunitas akademiknya sehingga apa pun hasil kerja komisi akan tetap compang-camping, kian jauh panggang dari api. Atau, kalaupun diandaikan kini ada sejumlah orang Indonesia yang berminat dan menguasai aneka masalah sekitar soal itu, bagaimana mereka akan dicomot?

Sepanjang bongkar pasang konstitusi hanya terbatas pada mencoret pasal tertentu dan mengganti dengan rumus baru, tentu tidak diperlukan keahlian khusus sepanjang orang itu pernah membuat AD/ART organisasi. Tetapi, jika konstitusi diterima sebagai fundamentum inconcusum (dasar pejal) sebuah ”negara”, ada dua masalah dasar yang harus dimengerti.

Pertama, masyarakat kita bersifat majemuk. Bagaimana kemajemukan itu didokumenkan secara legal sebagai kemajemukan kedaulatan?

Kedua, apa pun bunyi pasal-pasal konstitusi, dokumen itu harus memenuhi tiga syarat: keadilan, persamaan, dan kedaulatan terbatas dari pemerintah. Artinya, kita harus terlatih dalam politik ekonomi, teori negara, dan politik perbandingan.

Maka, soal bongkar pasang konstitusi bukan sekadar masalah legal, tetapi terkait pengetahuan jauh lebih luas daripada diduga orang.

Soal bikameral

Karena sistem hukum kita, warisan kolonial dan Belanda, mengimpor dari Perancis dan Napoleon, mendapat inspirasi dari hukum Roma, ada baiknya diingat bagaimana orang Roma memahami masalah hukum. Kaisar Justinianus (abad VI) membagi hukum menjadi ius civilis (untuk warga Roma), ius gentium (warga asing dalam imperium Roma), dan ius naturale (filsafat hukum).

Maka, karena jenis hukum macam ini terlalu rasional dan rumit, tidak semua negara perlu menuliskan konstitusinya dalam dokumen seperti orang Inggris atau Israel. Mereka tidak merasa perlu berkonstitusi dalam dokumen. Merangkum ketiga dimensi ”hukum” seperti kebiasaan orang Roma dalam sebuah dokumen konstitusi bukan urusan kaum juris saja!

Kini, bikameralisme sedang menjadi masalah untuk DPD. Tetapi, keruwetan yang terjadi kini tidak terbayangkan oleh panitia bongkar pasang yang dulu. Hal inilah yang dengan jelas menampilkan perlunya ”teori” negara. Ditambah lagi, jangan lupa, soal bikameral ini hanya bersentuh dengan pembatasan/pembagian wewenang kepemerintahan. Tetapi, bagaimana dengan dua kawasan lain dalam konstitusionalisme yang terkait keadilan dan persamaan bagi rakyat, yang tak lain adalah masalah politik ekonomi dan filsafat politik dalam alam demokrasi?

Dengan kata lain, bongkar pasang konstitusi akan selalu mengecewakan jika hanya dijalankan karena kebutuhan sesaat, entah dalam bidang apa saja.

Belajarlah dari Soeharto bahwa sebuah laboratorium politik selalu makan waktu lama karena masalah negara bukan soal selera baju atau sekadar teknik komposisi sebuah lagu.

EMMANUEL SUBANGUN Pemerhati Sosial dan Budaya; Menetap di Yogyakarta



No comments:

A r s i p