Tuesday, February 5, 2008

Rumah Terbelah


Selasa, 5 Februari 2008 | 01:53 WIB

SUKARDI RINAKIT

Tanggal 16 Juni 1858, ruang legislatif, Springfield. Pada siang yang panas itu Abraham Lincoln memperingatkan, ”A house devided cannot stand.” Sebuah kritik tajam untuk upaya menasionalisasi perbudakan ketika itu.

Indonesia, hampir 150 tahun kemudian. Sejauh ini masih sulit menemukan elite yang menyadari sepenuhnya tentang kebenaran kata-kata Lincoln bahwa rumah yang terbelah tidak akan bertahan. Banyak elite yang masih mengumbar egonya. Jika dikritik, balas mengkritik. Rumah Indonesia terancam pecah jika situasi seperti itu terus berlanjut di masa depan.

Cahaya moral

Sebaiknya para elite republik mampu menahan diri. Masing-masing silakan mengibarkan kebenaran subyektif saat kampanye nanti. Untuk sementara ini, biarlah kritik tentang realitas bangsa itu muncul dari orang-orang yang mempunyai cahaya moral, seperti Mochtar Pabottingi, Magnis Suseno, Daoed Joesoef, Kwik Kian Gie, Faisal Basri, Ikrar Nusa Bhakti, Syamsudin Haris, Yudi Latief, dan Usman Hamid.

Adalah benar dan cerdas kritik Megawati bahwa kondisi saat ini seperti tari poco-poco. Maju satu langkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah, mundur dua langkah. Namun, benar juga bantahan Jusuf Kalla bahwa praksis yang terjadi bukan sekadar dansa-dansi. Sekecil apa pun, pemerintah pasti ada prestasi.

Bantahan ini cukup. Idealnya, Presiden SBY tidak perlu ikut masuk pusaran arus berbalas kritik tersebut.

Menjadi presiden ibarat menjadi dirigen, yang dibutuhkan adalah spirit totalitas. Persatuan rasa, hati, dan tangan tanpa takut membelakangi orang-orang yang ingin dipuaskan. Jika semua itu sudah dilakukan, tidak perlu ada kegalauan sedikit pun. Rakyat pun tahu bahwa pemimpinnya sudah melakukan segalanya untuk mereka.

Sebaliknya, para politisi sebaiknya fokus pada konsolidasi internal partai sembari mengepakkan sayap rekrutmen dan kaderisasi. Dengan demikian, energi yang dipunyai menyatu dan partai akan menjadi lahan subur bagi lahirnya pemimpin-pemimpin sejati.

Langkah demikian penting untuk dilakukan masing-masing pihak. Sekali lagi, urusan kritik sementara ini biarlah menjadi urusan para pemanggul cahaya moral. Ini terkait dengan eskalasi politik yang akan memanas tahun ini. Jika hal itu tidak disikapi secara arif oleh para elite itu sendiri, kemiskinan, pengangguran, dan naiknya harga-harga kebutuhan pokok akan berubah menjadi gelombang ketidakstabilan masyarakat.

Empat titik

Ada empat titik puncak eskalasi politik yang harus diwaspadai tahun ini. Titik pertama akan datang pada bulan Mei. Partai-partai politik yang gagal verifikasi yang dimulai bulan Maret secara spekulatif akan bermanuver untuk menunjukkan kekecewaan. Kritik dan demonstrasi adalah ritual yang akan mereka jalankan.

Momentum peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, yang akan diperingati semua kelompok strategis, akan menjadi medan pergerakan bagi para oportunis. Mereka akan menelusup dalam aksi partai-partai politik yang tidak lolos verifikasi dan mendompleng hiruk-pikuknya peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional.

Jika gagal di titik puncak eskalasi pertama, para oportunis tersebut bergerak di titik kedua, yaitu bulan Agustus. Saat itu, semakin banyak jumlah partai yang tidak lolos verifikasi sehingga semakin banyak pula yang kecewa. Jika kelompok oportunis berhasil memengaruhi mereka dan kelompok lain, peringatan 63 tahun Kemerdekaan RI akan berubah menjadi ledakan politik.

Titik ketiga terjadi pada bulan Oktober. Saat ini masalah semakin kompleks. Di sini bergabung beberapa faktor, seperti verifikasi partai, politisi yang tidak lolos seleksi internal partai untuk calon legislatif, dan harga-harga yang menanjak karena Lebaran. Sekali lagi, semangat memperingati 80 tahun Sumpah Pemuda bisa berubah menjadi api sumpah serapah yang membara.

Titik eskalasi terakhir tahun ini terjadi pada akhir Desember. Selain kumulasi masalah-masalah di atas, menjelang akhir tahun akan ditandai oleh munculnya nama-nama kandidat presiden dan wakil presiden yang akan menjadi pesaing kandidat bertahan (incumbent).

Ini memanaskan suasana, terutama setelah aktivisme Presiden dan Wakil Presiden semakin meningkat—termasuk dalam hal merespons kritik—sehingga terkesan mereka sedang bersaing pengaruh.

Terbelah

Semua titik puncak eskalasi itu potensial untuk menjadikan rumah Indonesia terbelah. Terlebih lagi kemiskinan, pengangguran, bencana alam, dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tetap menjadi salah satu warna dominan dalam lanskap kehidupan rakyat Indonesia hingga sekarang—meskipun perbaikan sudah terjadi di sana-sini.

Menurut sahabat saya, Moeslim Abdurrahman, kondisi obyektif dari keadaan yang belum membaik itu sebenarnya sudah memberikan kontribusi 50 persen bagi sebuah kemenangan. Para politisi tinggal berusaha menggapai sisanya saja.

Berbalas kritik, dengan demikian, adalah tidak produktif. Salah-salah rumah kita yang sudah reot, yang sebenarnya butuh renovasi dan restorasi, akhirnya justru terbelah. Anda mau itu? Saya tidak!

No comments:

A r s i p