Friday, February 1, 2008

Kebijakan Orde Baru Terhadap Masyumi dan Islam Politik (1)


Yusril Ihza Mahendra

Mantan Mensesneg.


Tidaklah mudah bagi saya untuk sepenuhnya bersikap netral dan objektif membahas kebijakan Orde Baru terhadap Islam, sebagaimana yang diminta oleh Republika, apalagi waktu yang diberikan untuk menulisnya sangatlah terbatas. Sedikit-banyak saya terlibat dalam proses itu, baik langsung maupun tidak langsung.

Ketika saya berumur hampir lima tahun, saya menyaksikan ayah saya dan sejumlah tokoh Masyumi lokal, menurunkan papan nama partai itu, karena mereka dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Sukarno, pada akhir tahun 1960. Sukarno menerbitkan Keppres Nomor 200/1960 yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Namun, pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan oleh Masyumi sendiri. Jika dalam tempo seratus hari partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah, Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, dan Sekjen, Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.

Apa yang ada di kepala orang Masyumi waktu itu ialah Sukarno mulai menjadi diktator dan negara makin bergerak ke arah kiri. Dalam perhitungan mereka, tanpa Masyumi, maka kekuatan PKI akan semakin besar. PNI sebagai representasi kelompok nasionalis, mulai diintrik dan diintervensi oleh kekuatan kiri. Politisi NU takkan kuat menghadapi mereka sendirian. Apalagi, makin tampak kecenderungan akomodatif NU untuk berada di dalam poros Nasakom, suatu hal yang ditentang keras oleh Masyumi.

Tokoh-tokoh Masyumi memang dihadapkan pada dilema dengan Keppres 200/1960 itu. Menolak melaksanakan pembubaran diri, berarti secara hukum, partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Karena itu, memilih alternatif yang juga tidak menyenangkan yakni membubarkan diri, dengan harapan suatu ketika partai itu akan hidup kembali, jika situasi politik telah berubah. Prawoto mengatakan, Keppres 200/1960 itu ibarat vonis mati dengan hukuman gantung dan pelaksanaannya dilakukan oleh orang itu sendiri. Memang terasa menyakitkan.

Meskipun Masyumi telah membubarkan diri, dan tokoh-tokohnya yang terlibat dalam PRRI telah memenuhi amnesti umum dan mereka menyerah, namun perlakuan terhadap mereka tetap saja jauh dari hukum dan keadilan. Tokoh-tokoh Masyumi yang menyerah itu, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Boerhanoeddin Harahap ditangkap. Bahkan, mereka yang tidak terlibat PRRI seperti Prawoto, Yunan Nasution, Isa Anshary, dan Kasman Singodimedjo, juga ditangkapi tanpa alasan yang jelas.

Bertahun-tahun mereka mendekam dalam tahanan tanpa proses hukum. Tokoh utama PSI, Sutan Sjahrir, bahkan mendekam dalam penjara di sebuah pulau di Lautan Hindia, di sebelah selatan daerah Banten. Dalam kondisi tahanan yang buruk, Sjahrir sakit, sampai akhirnya wafat walau mendapat perawatan di Swiss. Perlakuan terhadap anak-anak dan keluarga orang Masyumi di masa itu hampir sama saja dengan perlakuan keluarga PKI di masa Orde Baru.

Ketika Orde Lama runtuh pasca-Gerakan 30 September 1965, ada secercah harapan di kalangan keluarga besar Masyumi agar mereka hidup dan berkiprah kembali. Presiden Sukarno yang dianggap berbuat semena-mena kepada Masyumi dengan dukungan PKI, dicabut kekuasaannya oleh MPRS pada 1967. MPRS bahkan mengamanatkan kepada Pejabat Presiden Soeharto untuk mengambil langkah hukum yang tegas kepada mantan Presiden Sukarno. Namun, langkah itu tak pernah dilaksanakan sampai akhir hayat Bung Karno.

Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto mendapat dukungan luas dari umat Islam, dan kedua sayap politik Islam, baik kubu eks Masyumi maupun kubu NU. Dukungan mereka berikan karena sikap tegas Soeharto kepada Komunisme, upaya perbaikan sosial ekonomi yang ketika itu sangat morat-marit dan rakyat hidup mulai kelaparan dan compang-camping akibat inflasi yang tak terkendali.

Kebanyakan orang-orang Masyumi berpikir strukturalis dan bahkan cenderung formalis. Tak lama sesudah tokoh-tokoh Masyumi dikeluarkan dari tahanan, mereka mulai bergerak untuk merehabilitasi partai itu. Partai adalah alat untuk mencapai tujuan. Karena itu, keberadaan Masyumi adalah keharusan. Dukungan untuk merehabilitasi Masyumi juga datang dari Persahi. Para ahli hukum mengeluarkan statemen yang ditandatangani Dr Wirjono Prodjokiduro, agar Masyumi direhabilitasi, karena partai itu adalah korban kesemena-menaan Orde Lama. Padahal Wirjono pula, yang ketika menjadi Ketua Mahkamah Agung, memberikan fatwa kepada Sukarno tentang keabsahan alasan hukum untuk membubarkan Masyumi berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959.

Keinginan tokoh-tokoh Masyumi untuk merehabilitasi partainya segera menghadapi tembok penghalang yang kukuh. Soeharto dan para jenderal pemegang kendali Orde Baru, ternyata cenderung bersikap antiideologi. Mereka bukan saja anti-Komunisme, tetapi juga anti-Islam yang ditransformasikan sebagai ideologi dan kekuatan politik. Slogan terkenal Orde Baru sejak kelahirannya ialah ''melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen''. Mereka mempunyai tafsir sendiri terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian menjadi pijakan ideologis Orde Baru.

Orientasi Orde Baru tampak seperti nonideologis. Mereka cenderung ''antipolitik'' dan mengedepankan langkah pragmatis untuk menyelesaikan persoalan sosial ekonomi yang amat berat. Kekuatan politik baru muncul di balik Orde Baru, yakni militer dan teknokrat pragmatis, sebagiannya berorientasi ideologis kepada PSI serta kalangan politisi dan teknokrat non-Muslim.

Meskipun menolak rehabilitasi Masyumi, namun Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto bersedia kompromi untuk mewadahi kelompok politik modernis, dengan memberi peluang kepada mereka mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Namun, penguasa Orde Baru menolak mengakui kepemimpinan tokoh-tokoh Masyumi dalam partai itu. Jangankan Natsir dan Prawoto, Mohamad Roem yang dikenal sangat moderat dan kompromis juga ditolak. Djarnawi Hadikusuma, tokoh Muhammadiyah yang dikukuhkan menjadi Ketua Parmusi juga terganjal, sampai akhirnya dengan dukungan penguasa, partai itu dikomandani oleh Jailani Naro yang tak begitu jelas akar keterlibatannya dalam gerakan politik Islam di masa lalu.

Inilah awal keterlibatan kekuasaan dalam mengintervensi suatu kekuatan politik. Sejak itu, hampir tidak ada partai yang sepenuhnya independen dan berdaulat. Intervensi kekuasaan, baik terang-terangan maupun secara terselubung melalui operasi intelijen, selalu membayangi setiap partai dan gerakan politik manapun juga. Bahkan lebih jauh dari itu, setiap organisasi, gerakan kampus, bahkan sampai ke masjid-masjid tidak sunyi dari pantauan intelijen.

Tokoh-tokoh inti Masyumi secara perlahan mulai tersingkir dari panggung politik. Mohammad Natsir dan rekan-rekannya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan mulai memusatkan perhatian mereka ke bidang dakwah, sambil tetap bersikap kritis kepada Pemerintah Orde Baru. Orde ini mulai merancang format politik dan pembangunan Indonesia ke depan. Buku Ali Moertopo yang berjudul Akselerasi Modernisasi 25 Tahun yang diterbitkan CSIS tampaknya berisi perencanaan itu.

Partai-partai akan dikelompokkan secara ideologis dengan patokan nasionalis dan Islam. Pancasila menjadi satu-satunya ideologi bagi semua kekuatan politik dan UUD 1945 menjadi landasan operasionalnya dengan tafsiran khas Orde Baru. Ketuhanan Yang Mahaesa sebagai sila pertama Pancasila, kata Ali Moertopo, bukanlah tuhan sebagaimana dipahami agama, melainkan tuhan dalam makna politik.

Proses sekularisasi Pancasila mulai dicanangkan. Konsepsi ideologis keagamaan mulai dipinggirkan. Namun pada saat bersamaan, secara bertahap konsepsi mistis-kejawaan mulai menguat, dan ini berujung dengan munculnya Eka Prasetya Pancakarsa sebagai pedoman pelaksanaan Pancasila. Sekularisme dan Javanisme seakan berkompromi. Kebatinan Jawa mendapat baju baru yang dinamai Aliran Kepercayaan, yang statusnya hampir-hampir mendapat perlakuan setara dengan agama.

Soeharto, Ali Moertopo, dan Sudjono Humardani berada di balik semua ini. Orang-orang eks Masyumi dan para pengikutnya sangat khawatir dengan semua ini. Di mata mereka, di balik semua ini ada grand-design untuk mengeliminasi Islam dengan berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan luar, dan kepentingan agama tertentu yang memanfaatkan kekuatan Soeharto dan Orde Baru. Kelompok ini bukan saja memegang posisi-posisi strategis militer, tetapi juga menguasai pos-pos penting di bidang perekonomian Orde Baru.

Orang-orang eks Masyumi berpikir bahwa jika Aliran Kepercayaan diformalkan, dan seluruh orang Jawa Abangan dikelompokkan sebagai penganut Aliran Kepercayaan dan bukan Muslim, maka Islam di Indonesia bukan saja akan menjadi minoritas dalam politik dan ekonomi, tetapi juga minoritas dalam jumlah. Indonesia tak dapat lagi menyatakan dirinya sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia.

Kekhwatiran ini terasa di mana-mana. Kegiatan dakwah makin gencar dilaksanakan, terutama di kampus-kampus dan kantor-kantor pemerintah untuk mengimbangi kecenderungan anti-Islam dalam kebijakan Orde Baru. Istilah ekstrem kanan (Islam ideologis) dan ekstrem kiri (Komunis) menjadi istilah umum yang selalu dikatakan sebagai bahaya laten yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Dakwah yang luar biasa gencarnya itu akhirnya mendorong pula suatu perubahan. Bersambung

( )

No comments:

A r s i p