Tuesday, May 22, 2007

1.366 Perda Tidak Dilaporkan
DPR Mengusulkan Daerah yang Nakal Diberi Sanksi Lebih Keras

Jakarta, Kompas - Sedikitnya 1.366 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi diduga disembunyikan pemerintah daerah dan tidak dilaporkan ke Departemen Keuangan karena menghindari sanksi pembatalan terhadap perda tersebut. Kondisi itu memperlambat perbaikan iklim investasi karena menyebabkan ekonomi biaya tinggi.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo di Jakarta, Senin (21/5) menyebutkan, hingga 21 Mei 2007, perda tentang pajak dan retribusi yang telah dilaporkan kepada pemerintah pusat baru mencapai 9.634 peraturan. Padahal, potensi perda yang dapat diterbitkan adalah 11.000 peraturan.

"Dengan demikian, perda yang belum dilaporkan mencapai 10 persen (sekitar 1.366 perda) dari total potensi penerbitannya. Hal ini terjadi karena ketidaktahuan daerah bahwa ada kewajiban menyerahkan perda. Tidak ada penerbitan perda baru, atau ada penerbitan baru namun sengaja tidak melaporkannya kepada kami," katanya.

Daerah, ujar Mardiasmo, cenderung bersikap malas-malasan dalam menyerahkan perda pajak dan retribusi. Hal itu disebabkan tidak ada sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan perda.

Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menyebutkan, daerah bebas menerbitkan perda dan tidak mengatur sanksi apa pun.

"Atas dasar itu, kami mengusulkan agar sanksi bagi daerah yang tidak melaporkan perda dimasukan dalam Rancangan Undang-undang PDRD, yang masih dibahas di DPR," ujar Mardiasmo.

Departemen Keuangan telah menerbitkan surat permintaan penyerahan perda pajak dan retribusi paling lambat 15 hari setelah pengesahannya. Surat itu disampaikan kepada seluruh pemda pada 28 November 2006. Namun, hingga saat ini, masih ada 71 daerah yang belum menyerahkan perdanya.

Penangguhan DAU

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Budi Sitepu mengatakan, sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan perda diusulkan berupa penangguhan Dana Alokasi Umum (DAU). Adapun, beberapa fraksi di DPR mengusulkan sanksi yang lebih keras, berupa kewajiban pengembalian seluruh dana masyarakat yang dipungut. Hal itu dilakukan jika dasar pungutannya adalah perda yang membebani dunia usaha secara tidak wajar sehingga dibatalkan pemerintah.

"Itu diusulkan agar memberi efek jera kepada daerah agar tidak dengan mudah membuat perda pajak dan retribusi," katanya.

Sebelumnya, Depkeu menetapkan penangguhan pembayaran DAU bagi lima kabupaten yang tidak mampu menyelesaikan APBD hingga tenggat waktu 11 Mei 2007. Satu provinsi dan tiga kabupaten lainnya masih diberi kesempatan hingga akhir Mei, sebelum dikenakan sanksi yang sama.

Adapun total perda pajak dan retribusi yang dibatalkan pemerintah pusat hingga saat ini mencapai 963 peraturan atau 9,99 persen dari total perda yang telah dilaporkan. Pembatalan itu dilakukan karena terbukti menyebabkan iklim investasi di daerah tidak kondusif.

Jumlah itu belum memperhitungkan pungutan lain yang diterbitkan melalui Surat Keputusan Kepala Daerah (SKKDH). SKKDH diterbitkan secara sepihak oleh pemerintah daerah (pemda), tanpa pembahasan dengan DPRD-nya.

"Mereka ini daerah yang nakal. Kami sulit memantaunya karena pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengatur SKKDH," kata Mardiasmo.

Tak mampu bersaing

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menegaskan, perda pajak dan retribusi mengakibatkan dunia usaha tidak mampu bersaing di dalam dan di luar negeri.

"Untuk apa menambah perda, jika hasil pungutannya tidak banyak yang digunakan untuk pembangunan daerah, malah masuk ke Sertifikat Bank Indonesia," ujarnya.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Agung Pambudhi mengatakan, besarnya jumlah perda tentang pungutan itu disebabkan kecilnya basis pajak yang dimiliki pemda. Disamping itu, komitmen untuk membangun ekonomi dalam jangka panjang masih sangat lemah.

"Sangat ideal jika pemda daerah menerbitkan aturan tentang insentif," katanya.

Penasihat Asosiasi Pemerintah Kabupaten dan Kota, Alfitra Salamm menegaskan, Pendapatan Asli Daerah yang ideal untuk menyokong kebutuhan biaya pembangunan daerah adalah 40 persen dari total APBD. Hal itu menyebabkan daerah berupaya dengan segala cara mencari peluang menambah pungutan.

"Perlu kejujuran Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) agar penerimaan yang masuk itu riil. Selain itu perlu inovasi agar cara memungutnya tidak meresahkan pengusaha," katanya.

Sementara itu, Bank Indonesia melaporkan dana pemerintah daerah yang disimpan di perbankan hingga akhir April 2007 mencapai Rp 90 triliun. "Dana itu disimpan dalam bentuk tabungan, giro dan deposito. Ini suatu jumlah yang sangat besar," kata Gubernur BI Burhanuddin Abdullah.

Menurut Burhanddin, jika dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk pembangunan, maka roda perekonomian di daerah akan bergerak cepat. Pemanfaatan dana juga akan membuat perbankan mengurangi penempatan di Sertifikat Bank Indonesia, yang saat ini jumlahnya cukup besar. (OIN/FAJ)

No comments:

A r s i p