Wednesday, May 23, 2007

Reformasi Budaya Kekuasaan

Kita berpendapat itulah langkah strategis yang diperlukan: mereformasi budaya kekuasaan. Mereformasi sistem yang sedang berlangsung dan berjalan.

Seberapa jauh budaya kekuasaan juga ikut diubah, bahkan diubah secara drastis! Dari para perintis dan penggerak Kebangkitan Nasional sampai pergerakan dan perjuangan kemerdekaan kita ditinggali warisan, yakni betapa para pemimpin meninggalkan kemapanan hidup dan pekerjaan. Mereka memilih hidup lebih susah karena membela kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

Begitu Indonesia Merdeka dan kekuasaan politik berada di tangan putra bangsa, lambat laun budaya kekuasaan berubah. Budaya kekuasaan berubah ke kebudayaan feodal. Silih berganti sistem pemerintahan diubah. Dari demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin. Ganti lagi ke Orde Baru. Tampak esensi pergulatan itu, yakni bagaimana memahami dan melaksanakan kekuasaan bukan bagi kepentingan penguasa, tetapi bagi kepentingan rakyat. Ternyata tidak sederhana. Begitu kekuasaan di tangan, kembali budaya kekuasaan feodal. Kekuasaan bukan untuk melayani publik dan rakyat, tetapi justru untuk dilayani.

Reformasi sudah berjalan sembilan tahun. Sistem kekuasaan berubah dari otokrasi ke demokrasi. Seberapa jauh budaya kekuasaan ikut berubah? Baru kita saksikan dalam proses perombakan kabinet, betapa politikus dan partainya amat bertaut pada kekuasaan. Semangat dan gejala serupa dikeluhkan banyak orang perihal sikap, praktik, dan orientasi kaum politisi kita. Budaya kekuasaan feodal ternyata bertaut amat kuat. Barangkali diperlukan contoh konkret yang eksplisit dan ekstrem.

Misalnya mereka yang dekat dengan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan lain-lain, justru dibiarkan tidak memperoleh kelebihan apa pun dari kedekatannya, bahkan bisa dirugikan oleh kedekatan itu. Terasa hadirnya pengorbanan karena kedekatannya dengan kekuasaan. Tradisi asketisisme kekuasaan subur pada masa kebangkitan nasional dan pergerakan serta perjuangan kemerdekaan. Tradisi itu kemudian luntur meskipun tetap ada yang bertahan, misalnya Mohamad Hatta.

Pandangan dan sikap itu sesuai pula dengan faham bahwa apa lagi dalam demokrasi, politik, pilihan bekerja dan bergumul dalam politik bukan sekadar pekerjaan, bukan sekadar profesi yang karena itu beretika, tetapi suatu pilihan dan panggilan hidup. Kebanggaannya bukan dalam kemewahan dan kelebihan hidup, tetapi dalam dedikasi dan kesetiakawanannya dengan rakyat banyak. Memang dituntut pengorbanan, bahkan pengorbanan itu berat ketika dunia termasuk Indonesia juga masuk dalam pengaruh konsumsi tinggi dan mewah. Lebih berat lagi, jika politisi itu memiliki akses terhadap kekuasaan atau bahkan memegang kekuasaan.

Tampak, terdengar dan terasa lagi terutama hari-hari ini dalam kaitan sembilan tahun reformasi kontras antara tujuan, cita-cita, dan kehendak mulia dengan kenyataan. Untuk ikut menunjukkan jalan terjal ke berhasilnya reformasi, pikiran itu kita lontarkan. Kekuasaan dalam demokrasi adalah kekuasaan yang melayani rakyat, bukan kekuasaan yang minta dilayani.

No comments:

A r s i p