Thursday, May 24, 2007

Analisis Survei Nasional ( April 2007)

Lima Titik Rawan Dua Setengah Tahun SBY-JK

Setelah melewati separuh masa pemerintahannya selama dua setengah tahun, pemerintahan SBY-JK menghadapi persoalan yang lebih berat ditinjau dari sisi opini publik. Pemerintahan SBY-JK bukan saja menyaksikan menurunnya tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintahannya di berbagai bidang. Yang jauh lebih parah adalah sudah terbentuk pesimisme baru publik atas masa depan kapabilitas pemerintahan dalam menangani masalah ekonomi. SBY- JK harus menyegarkan kembali pemerintahannya dan mengambil kebijakan yang mempunyai efek massif untuk membangkitkan kembali harapan dan optimisme publik.

Demikianlah salah satu cuplikan temuan dan rekomendasi survei nasional Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Survei ini dikerjakan di 33 propinsi, dengan jumlah responden 1200, dan margin of error 2.9%. Data diambil di lapangan pada bulan Febuari 2007 dan dianalisis di bulan Maret- April 2007. Metode penelitian dilakukan menggunakan multi stage random sampling, dengan wawancara tatap muka.

Lima temuan menjadi titik kritis pemerintahan SBY-JK selama 2. 5 tahun mengendalikan negeri, ditinjau dari opini publik.

Pertama, rapor biru hanya di kinerja bidang keamanan saja. Rapor biru diberikan untuk tingkat kepuasan di atas 50%. Di bidang keamanan, SBY-JK memang mencatat sucsess story yang bahkan dicatat dunia internasional. Masalah Aceh selesai setelah lebih dari 30 tahun berada dalam konflik bersenjata.

Namun di luar bidang keamanan, semua bidang mendapatkan rapor merah (kepuasan di bawah 50%). Yang paling parah adalah kinerja di bidang ekonomi. Publik yang puas di bidang ekonomi hanya bawah 30%. Ini adalah titik terendah atas kepuasan kinerja bidang ekonomi selama dua setengah tahun pemerintah SBY-JK. Rendahnya tingkat kepuasaan ini terkait dengan masalah kemiskinan dan pengangguran yang tak kunjung terpecahkan.

Kedua, isu primodana pemerintahan SBY mengalami degradasi di mata publik. Sejak awal memerintah, isu korupsi sudah menjadi kartu truf yang membedakan pemerintahan SBY-JK dengan pemerintahan sebelumnya. Kepuasan publik di tahun pertama pemerintahan SBY atas penanganan isu korupsi sangat tinggi (di atas 65%). Kini di era dua setengah tahun berkuasa, kepuasan atas kinerja bidang korupsi merosot hanya di bawah 35% (tepatnya merosot dari 67.9% ke 33.3%).

Merosotnya penilaian publik ini terkait dengan meluasnya wacana tebang pilih. Terbentuk citra bahwa tokoh yang dikejar kasus korupsinya terutama pejabat dari kubu lawan politik. Sementara terbentuk citra seolah para mentri dan tokoh yang dekat dengan kekuasaan lenggang kangkung. Mereka hanya diributkan media, diperiksa seadanya dan kemudian kasusnya menghilang. Sekali lagi ini adalah citra yang terbentuk, terlepas apakah dalam kenyataannya memang seperti itu atau tidak.

Ketiga, yang jauh lebih parah sudah tumbuh pula pesimisme publik atas kemampuan pemerintahan SBY-JK dalam menangani masalah ekonomi di kemudian hari. Lebih dari 50% publik meyakini SBY-JK tak mampu menangani masalah kemiskinan dan pengangguran setahun ke depan.

Rasa pesimisme ini meluas di segmen pemilih kota ataupun desa. Pesimisme juga meluas di kalangan pemilih partai pendukung pemerintah, bahkan di kalangan pemilih Partai Demokrat sekalipun. Pesimisme ini dapat menjadi spirit negatif dan virus yang berbahaya bagi dukungan publik atas kebijakan ekomi SBY-JK kemudian hari, terutama kebijakan yang tak populer (yang kadang perlu).

Keempat, sudah muncul pula kerinduan publik atas tokoh yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Jika tokoh itu ada, ia segera melampaui populeritas SBY sebagai presiden masa depan. Saat ini, SBY masih lebih populer dibandingkan tokoh manapun di Indonesia. Namun ini terjadi lebih karena belum ada tokoh alternatif yang dikemas. Kerinduan tokoh baru ini tak lain merupakan pengalihan kekecewaan atas situasi pemerintahan saat ini.

Kelima, PDIP selaku partai oposisi kini berada di rangking teratas pilihan publik atas partai. PDIP bukan saja melampaui Partai Demokrat, tapi juga Partai Golkar yang sejak tahun 2004 selalu berada di rangking pertama survei yang kredibel. Sebagian besar melonjaknya PDIP bukan karena prestasi PDIP sendiri, tapi ia mendapatkan bola muntahan dari publik yang kecewa dengan kerja pemerintahan. Kekecewaan itu dialihkan kepada partai oposisi. PDIP konsisten tampil sebagai oposisi, dan mendapatkan limpahan kekecewaaan itu.

Mengapa dua setengah tahun pemerintahan SBY-JK dipenuhi banyak kekecewaan, di samping banyak pula success storynya? Tentu ini gabungan banyak variabel. Di satu sisi, SBY-JK memang mewarisi krisis multi dimensi yang belum selesai di era transisi. Sistem lama Orde Baru sudah ambruk. Tapi sistem baru era reformasi belum kokoh berdiri. Residu masalah krisis ekonomi, politik yang terfragmentasi, kultur korupsi sudah menjadi beban sendiri bagi siapapun yang kini menjadi presiden.

Kondisi ini diperparah oleh bad luck. Sejak memerintah, bencana alam datang seolah tak henti. Media luar negeri memberikan gelar negeri kita sebagai the encyclopedia of disaster. Segala macam bentuk bencana alam ada di Indonesia sejak terpilihnya SBY-JK. Dengan sendirinya, bencana alam itu selalu berakhir dengan memburuknya ekonomi masyarakat yang terkena bencana dan penduduk sekitar.

Sebab lain yang juga penting adalah sistem politik baru yang sangat tidak kondusif bagi politik yang stabil. Kita mengkombinasikan dua hal yang tak harmonis: presiden dipilih langsung dalam sistem multi partai. Akibatnya terpilih presiden dari partai yang kecil. Mayoritas partai di parlemen bukanlah partai presiden. Agar dapat dukungan parlemen, presiden harus berkompromi dengan banyak partai.

Sejak awal, kabinet SBY menjadi kabinet yang penuh kompromi dengan kepentingan partai politik. Mereka yang duduk dalam kabinet akibatnya bukanlah (tak semuanya) putra-putri terbaik Indonesia. Banyak menteri diragukan kompetensinya teknisnya. Akibatnya kinerja menteri tidak maksimal. Yang lebih buruk lagi, jika menteri tersebut potensial bermasalah secara hukum, presiden menjadi ewuh pakewuh, serba tak enak, berhadapan dengan partai atau tokoh partai yang memback-up menteri itu.

Juga perlu mendapatkan perhatian adalah pilihan gaya kepemimpinan SBY sendiri. Karena keinginannya yang kuat untuk mengakomodasi banyak kepentingan, terbentuk citra karakter strong leader kadang tak sepenuhnya tampak pada leadership SBY. Padahal di era transisi yang serba ambigu, dibutuhkan strong leader yang berani mengambil resiko atas kebijakan yang tak populer. Untuk kasus yang tegangan politik dan resikonya tinggi, SBY terkesan kurang cepat mengambil keputusan. Banyak masalah kontroversial yang penting diendapkan, seperti kasus revisi UU perburuhan, kasus pidana korupsi Pak Harto.

Menghadapi dua setengah tahun ke depan, SBY-JK diharapkan menyegarkan kembali pemerintahannya, dengan mengambil kebijakan radikal untuk cepat megangkat kesejahteraan masyarakat. Menteri yang kini menjadi beban jangan ragu pula untuk diganti. Tahun 2007 adalah tahun yang paling kondusif untuk mengukir prestasi ekonomi, karena tahun 2008, apalagi 2009 sudah dipenuhi oleh intrik dan konflik menuju pilpres 2009.

No comments:

A r s i p